Selasa, 03 Januari 2023

 "Panoptikum Tubuh Malam"

Selasa, 3 Januari 2023


Jika saja aku

Memakai satu kekuatan

Dalam sekejap kau akan kuhapus


Aku akan berteriak 

Jangaaaan!

Izinkan aku merindu dalam diam...

Serpihan rindu terkadang melukai. Namun, terasa sayang jika terobati.

Biar saja luka itu menganga.

Agar bulan tahu 

Apa arti rindu yang seutuhnya.

Tetapi bulan yang kita pandang kini berkerak potongan lempeng tangis, gemintang terus menyebar

 epitaf di mimpi-mimpi, begitu sunyi bergoncang menjalin tubuh-tubuh yang lain dariku; mencabut diri

 dan merasukiku sekali lagi.

Pantas saja,

Ruang jiwa kini makin sepi.

Detak pun gontai entah ikuti arus darah menuju ke labirin tak bernyawa. 

Jendela itu tutup rapat-rapat.

Lantai kamarku berbalik menghadap langit menirukan diriku yang becermin, kudengar ruh-ruh dinding

 terpanggil memudarkan ingatanku, sederet hitungan hitam bermilyar pendulum digemakan.

Gema itu makin lantang menusuk pilu

Perlahan derap darah berganti nada

Rindu makin biru

Biar saja, 

Melayang entah sampai benua mana

Senin, 20 Januari 2020

Memupuk Karakter bersama Serpihan Kalimat


Saat saya mengajarkan materi “Paragraf ” sempat bertanya-tanya. Media apa yang harus saya gunakan? Di kegiatan  ini murid akan menyusun beberapa kalimat yang nantinya akan menjadi sebuah paragraf padu. Selain itu murid akan mengetahui jenis- jenis paragraf.  Di akhir pembelajaran dituntut untuk bisa memproduksi paragraf yang baik. dan saya masih berangan-angan dengan apa yang harus saya persiapkan. Agar murid dengan mudah memahami materi tersebut.

Sekian lama memutar otak, maka ketemulah media yang harus kubuat, yaitu kalimat-kalimat lepas dari beberapa paragraf. Saya menyiapkan beberapa paragraf, menjadi banyak kalimat. Tampilan lumayan menarik, agar murid lebih termotivasi. Kalimat-kalimat tersebut saya cetak acak, pada kertas warna-warni. Hasilnya lumayan cantik juga.

Bagaimana teknis menggunakan potongan-potongan kalimat tersebut, hingga mewujudkan pembelajaran yang berhasil dan menyenangkan. Tidak hanya itu, namun juga bisa menyampaikan nilai-nilai karakter pada murid. Sebelum diterapkan pada pembelajaran di kelas, perlu dilakukan uji coba media yang sangat sederhana tersebut bersama kawan-kawan guru. Hal tersebut diperlukan agar ada masukan demi sempurnanya media yang saya buat.
Pembelajaran berlangsung di kelas, saatnya saya menggunakan media itu. Kunamai media itu “Serpihan Kalimat – kalimat Ajaib”. Potongan paragraf bentuk kalimat dengan warna-warni. Hingga akan dirangkai menjadi sebuah paragraf yang benar. Sesederhana itukah? Ada pesan yang terkandung di dalamnya, terutama saat media itu dimainkan. Meskipun bentuk media sangat sederhana, namun pada permainannya banyak pesan yang bermakna yang dapat diambil oleh murid.

Alur penggunaan media “Serpihan Kalimat-kalimat Ajaib” sebagai berikut. Di kelas, siswa berkelompok 4 – 5 murid. Masing-masing kelompok harus menentukan tugas masing-masing, di antaranya ketua, kurir, sekretaris, juru bicara. Guru membagikan serpihan kalimat-kalimat secara acak kepada masing-masing kelompok. Sebelum dimulai, ada peraturan yang harus disepakati. Di antaranya, setelah serpihan dibagikan ke masing-masing kelompok, mereka wajib menyusun hingga menjadi sebuah paragraf yang padu. Kesepatan berikutnya, adalah masing-masing kurir memberikan serpihan-serpihan kalimat yang dirasa tidak sesuai antara yang satu dengan yang lainnya. Yang paling penting di permainan ini masing-masing kelompok dilarang meminta serpihan-serpihan ke kelompok lain tapi hanya boleh memberi.

Dari kesepakatan tersebut, ada beberapa hal yang bisa diambil hikmanya. Selain kerjasama antar anggota, murid dilatih untuk lebih teliti dan percaya diri. Nilai-nilai lain yang bisa diperoleh adalah murid menerapkan empati dengan teman-temannya. Guru menekankan bahwa tangan diatas lebih mulia dari tangan di bawah, ini merupakan aplikasi dari masing-masing hanya boleh memberi tak boleh meminta serpihan-serpihan tersebut. Setelah mereka memainkan permainan tersebut, selama 10 menit masih belum bisa menggabungkan serpihan-serpihan menjadi sebuah paragraf yang padu. Mengapa?

Masing-masing kelompok sudah bersama – sama, untuk melakukan arahan dari guru sesuai kesepakatan. Namun belum bisa berjalan sesuai dengan kesepakatan. “Coba kita refleksi bersama”, tuturku pada mereka sembari mencari tahu mengapa belum mencapai tujuan. “Ini Bu! Si Rafi dari tadi memberi serpihan, padahal kalimatnya tidak sesuai”. Ungkap Bagus. Pernyataan itu disusul oleh ungkapan dari Salsa, “ Bu kelompok kami gak ada yang memberi serpihan”. Dari ungkapan mereka maka muncul kesepakatan baru yaitu serpihan diberikan pada kelompok yang membutuhkan, tidak asal saja. permainan diulang dan masing-masing kelompok mulai menerapkan kesepatan yang telah dibangun. Tidak sampai 5 menit, paragraf masing-masing kelompok terbentuk menjadi paragraf padu.

Nah, apa yang dapat kita ambil dari pembelajaran tersebut? Tentu menumbuhkan kerja sama antar murid, gotong-royong, dan selalu kompak untuk mencapai sebuah tujuan. Selain itu murid dibiasakan bersedekah. Namun bersedekah harus sesuai dengan keadaan penerimanya. Sebaiknya tidak sembarangan, jika salah sasaran memunculkan satu kata yaitu Mubazir.


Jumat, 06 Desember 2019

Empat Kata Ajaib Ubah Karakter Murid Lebih Baik




Oleh Alfi Faridian


Jam terakhir di kelas itu sangat tidak kondusif. Kelas bagai kapal pecah. Ada yang bernyanyi-nyanyi, mendengarkan musik, bahkan ada yang tidur lelap. Salamku saat memasuki kelas tersebut hanya beberapa murid yang membalasnya. Aku hampir tak bisa menahan emosi. Namun Aku segera kontrol diri, tarik napas panjang, teringat komitmenku bahwa aku tak boleh marah ke muridku. Empati harus tetap dimunculkan.

Sekali lagi kuucapkan salam dengan lebih lantang. Bergegas pandangan mata mereka tertuju padaku. Mereka saling menyalahkan, ada yang saling menertawakan, gegap gempita pun redah. Suara nada lagu pun senyap seketika. “Lho kok pada diam, kenapa?” ucapku dengan nada tenang. “Salam saya kedua kalinya kok tidak dijawab?” pintaku secara implisit. “Waalaikumsalaaaam” serentak tidak harus diberi aba-aba. Setelah itu mereka tertawa. Riuh lagi tanpa ada alasan. Di tengah riuhnya mereka ada satu siswa dengan sengaja melontarkan istilah “Cuk!”. Rupanya dia sudah terbiasa dengan kata-kata itu. Demikian juga kata-kata tersebut juga memancing emosiku.

“Siapa yang mengeluarkan kata-kata tersebut?” aku mulai beraksi untuk menenangkan keriuhan di kelas tersebut. Dengan tanggung jawab, salah satu siswa mengakui dan langsung minta maaf padaku. Dan segera kujelaskan kata-kata tersebut makna dan akibatnya. Sering kali fenomena seperti itu terjadi di lingkungan sekolah kita.

Saat aku mengikuti TPN, ada beberapa kelas pilihan yang harus diikuti. Ada kelas kemerdekaan, ada kelas kompetensi, ada kelas karier. Ketika saya masuk di kelas kemerdekaan, saya belajar tentang empat kata ajaib. Apa saja kata ajaib tersebut, “tolong, terima kasih, permisi, dan maaf”. Empat kata tersebut jarang kita dengarkan pada murid kita, ketika mereka bergaul dengan sesamanya. Yang sering muncul justru kata-kata negative, walau mereka terkadang hanya dalam gurauan.

Yang membuat naluriku terusik, ketika pemateri menjelaskan bahwa sebuah penelitian mengungkapkan tentang nasi dan kata negatif.  Bagaimana bentuk penelitiannya? Nasi sesendok dimasukkan pada dua wadah yang sama bentuk dan besarnya. Kemudian, pada wadah tersebut ditempel dengan kata yang berbeda. Wadah pertama diberi tulisan “Cinta”, dan nasi di wadah ke dua diberi tulisan negative. Sehari dua hari keadaan nasi dalam wadah tersebut mulai Nampak perubahan. Wadah yang ditempeli kata cinta Nampak nasi masih tetap putih. Sebaliknya, di wadah ke dua, nasi mulai ada beberapa bintik hitam. Hingga hari ke lima Nampak jelas perbedaan kedua nasi tersebut. Pada wadah bertuliskan kata cinta, masih tetap putih, sedangkan pada wadah yang bertuliskan kata negative, semakin jelas muncul jamur dan menghitam.

Bagaimana hubungan dengan murid kita? Kujelaskan hal tersebut pada mereka, dan mereka diam tak bergeming. Artinya jika murid kita sering mengeluarkan kata-kata kotor, kata-kata negative, maka akan terserap dalam otak mereka, dalam hati mereka. Jika sehari-hari banyak kata negative yang mereka dengarkan, tidak bisa dibayangkan bagaimana hati mereka, pikiran mereka? Oleh karena itu, kita harus menghentikan kata-kata negative tidak dipakai lagi di lingkungan murid kita. Masih banyak kata positif sebagai bahan gurauan maupun komunikasi.

Pada jam yang sama, masing-masing siswa kuminta untuk menuliskan kata-kata negative yang sering diucapkan di papan tulis. Secara bergantian mereka antusias menuliskannya. Mengalir tanpa henti. Ternyata di pikiran mereka cukup banyak juga kata-kata negative yang dia simpan. Terhitung sampai lima puluh istilah negative yang mereka ungkapkan di papan tulis. “Coba dibaca,” pintaku. Setelah mereka membaca, salah satu murid saya suruh menghapus, dengan catatan bahwa kata-kata negative sudah tidak ada lagi dalam pikiran kita, itu pesanku buat mereka. Dan mereka menyetujuinya. Setelah itu, secara bergantian mereka kuminta untuk menuliskan kata-kata positif. Tiba di urutan siswa ke lima belas, mereka berpikir, mereka kesulitan menemukan kata-kata positif. Hal tersebut bisa jadi alasan bahwa seringnya murid menggunakan istilah negative, bisa memendam istilah positif. Dengan demikian mereka jarang yang menggunakan istilah positif.

Kenyataan ini tidak bisa dibiarkan. Jika di hati dan pikiran murid kita dipenuhi dengan istilah-istilah negative, bisa merusak proses berpikirnya. Bahkan akan merusak karakter murid itu sendiri. Kalau karakter mereka rusak, maka kita akan kesulitan memperbaikinya. Bukankah pendidikan di Indonesia berbasis karakter? Sikap merupakan hal utama yang menjadi penilaian. Kemudian, apa yang bisa kita lakukan?

Sebagai pendidik, kita harus dan selalu memberikan teladan yang baik. Demikian juga kata-kata yang kita ungkapkan harus bebas dari istilah negative. Kadang kita juga tidak menyadari bahwa pernah juga mengutarakan sesuatu dengan diksi negative. Perkembangan murid dimulai dari gurunya sendiri. Jika hal tersebut sudah membudaya, maka akan tercipta lingkungan yang bebas polusi dari diksi negative.

Sebagai guru, kita biasakan menggunakan empat kata ajaib tersebut untuk berkomunikasi dengan murid. Jika kita memerintah siswa, hendaknya mengawali dengan kata ‘tolong”. Jika kita telah melakukan kesalahan, jangan enggan untuk mengungkapkan kata “maaf”. Jika kita melewati kerumunan di antara murid, sapalah mereka dengan memulai kata “permisi”. Dan jika kita menerima sesuatu dari murid, hendaknya kita ucapkan “terima kasih”. Empat kata sederhana yang ajaib. Jika kita budayakan, mampu mengubah karakter murid dengan baik.

Salam Guru Merdeka!

Senin, 25 November 2019

Dengan Literasi Ciptakan Generasi Unggul dan Beretika



Latar Belakang
Mewujudkan generasi handal, unggul, dan berbudi adalah harapan setiap pendidik. Tidak terlalu muluk, sekurang-kurangnya generasi tersebut lebih baik dengan generasi sebelumnya. Keberhasilan mereka, kehebatan mereka, merupakan kebanggaan kita sebagai seorang pendidik. Oleh karena itu pendidik yang sukses adalah pendidik yang mampu menciptakan generasi yang lebih baik dari dirinya.

Keberhasilan pendidik tentu tak mudah diwujudkan. Apalagi di zaman teknologi semakin canggih. Pergaulan, informasi apa pun yang kita inginkan dapat dengan mudah kita peroleh. Pergaulan generasi sekarang tanpa batas. Mereka bisa melakukan apa saja dengan mudah. Fasilitas serba ada. Tinggal bagaimana kita memfilter segala informasi dan kecanggihan teknologi tersebut untuk disajikan kepada generasi penerus bangsa. Agar mereka menjadi generasi yang kita mimpikan. Semua itu tanggung jawab bersama.

Siapa generasi unggul yang beretika? Dialah yang mampu meneruskan cita-cita para pejuang Indonesia. Dialah yang mampu menghadapi tantangan kemajuan zaman. Dialah yang mampu mengendalikan sumber daya alam yang dimiliki oleh nusantara. Tentunya yang jujur, serta memiliki kepribadian yang bisa diandalkan. Yaitu generasi yang gemilang.

Mundur majunya suatu bangsa bergantung pada generasi mudanya. Jika dalam suatu bangsa dan negara memiliki generasi yang gemilang, maka bangsa tersebut akan menjadi negara yang maju. Kegemilangan anak bangsa bisa diukur dengan pendidikan. Jika pendidikan di sebuah negara itu baik, maka akan tercipta generasi yang baik. Sebaliknya, jika dalam suatu negara proses pendidikannya jelek, maka tercipta generasi yang amburadul. Pada dasarnya setiap anak bangsa tentunya memiliki cita-cita yang baik, akan tetapi cita-cita tersebut harus didukung dan difasilitasi dengan berbagai sistem, di antaranya adalah sistem Literasi.

Gerakan Literasi sekolah memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Salah satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat baca murid serta meningkatkan ketrampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai dengan baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan local, nasional, dan global sesuai dengan perkembangan murid., dan memotivasi siswa agar mempunyai mimpi yang lebih baik.

Dalam penyelenggaraan pendidikan tidak akan berhasil tanpa dibarengi dengan pelaksanaan yang baik. Selain itu juga budaya belajar yang baik, metode yang baik, prinsip yang baik, dan memotivasi murid agar memunyai cita-cita yang lebih baik. Untuk menjalankan semua itu maka harus menggerakkan literasi di sekolah dengan sebaik-baiknya. Maka kini penulis menulis artikel ini berjudul “Dengan Literasi Ciptakan Generasi Unggul dan Beretika”.

Pembahasan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempercepat arus globlasisasi. Persaingan dalam kancah nasional maupun internasional semakin cepat. Apalagi Indonesia sudah masuk era revolusi 4.0. Untuk menghadapi persaingan tersebut diperlukan manusia-manusia unggul yang beretika. Hanya manusia unggul yang beretikalah yang mampu memenangkannya. Keunggulan tersebut sebaiknya tidak hanya secara pribadi, namun bisa berkelompok, hingga unggul sebangsa dan setanah air.

Generasi unggul yang beretika dapat diartikan sebagai generasi yang lebih baik dan berusaha keras untuk meraih prestasi. Generasi yang memiliki kecerdasan dan karakter yang mantap di dalam dirinya, selalu berdampak positif bagi diri sendiri, sesama, dan lingkungannya. Generasi tersebut juga telah mengalami pembentukan rasio secara matang di dalam dirinya. Sehingga mampu menghindari setiap perilaku tak bermoral dan kontra produktif lainnya.

Untuk menjadi generasi unggul yang beretika bukan sebuah kebetulan. Melainkan hasil dari proses yang diciptakan dan harus dimulai sejak dini. Menurut Byrnes, pendidikan anak usia dini akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya. Hal itu penting, karena di usia inilah akan terbentuk pendidikan yang bagus.

Menciptakan generasi unggul memang sulit dan butuh perjuangan. Namun akan lebih sulit jika manusia hidup tanpa sikap unggul yang melekat pada dirinya. Prasyarat untuk menjadi manusia yang unggul dan beretika yaitu memiliki kemampuan mengoreksi sikap mentalnya, lingkungan, dan sistem yang harus kondusif, dan memperbanyak silaturrahim. (Gymnastiar, 2002)

Kemampuan mengoreksi sikap mental bertujuan supaya bisa lebih ulet dan gigih dalam memacu dan menempah diri dibandingkan dengan orang lain. Sementara lingkungan berperan penting untuk menciptakan sebuah prestasi. Hal ini diyakini oleh penganut aliran behaviorisme, bahwa lingkungan pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan hidup seseorang. Oleh karena itu, generasi unggul yang beretika harus diciptakan dan salah satu caranya adalah melalui pendidikan.

Seperti yang kita ketahui bahwa manusia memiliki kecerdasan berbeda-beda. Ada empat kecerdasan manusia, di antaranya: kecerdasan fisik, kecerdasan mental, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Demikian juga seorang murid, sebagai guru kita harus menggali dan mengembangkan kecerdasan yang dimiliki murid. Dengan harapan akan tercipta generasi yang gemilang.

Membangun karakter dan watak generasi gemilang melalui pendidikan mutlak diperlukan. Hal tersebut tidak hanya dilakukan di sekolah, namun dimulai dari lingkungan rumah dan masyarakat. Baik di lingkungan rumah maupun masyarakat diperlukan tokoh-tokoh yang patut diteladani. Di lingkungan sekolah, guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan secara tidak langsung juga menjadi teladan bagi para murid. Dengan demikian untuk membentuk karakter murid dimulai dari teladan para pendidik, terutama guru.

Karekter tidak dapat dikembangkan secara cepat dan instan, tetapi melalui proses yang panjang dan sistemik. Pendidikan karakter harus dilakukan berdasarkan tahap-tahap perkembangan anak usia dini sampai dewasa. Pernyataan tersebut didukung oleh pemikiran Kohlberg (1992) bahwa ada empat tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan, yaitu  (a)  tahap pembiasaan sebagai awal perkembangan karakter anak, (b) tahap pemahaman dan penalaran terhadap nilai, sikap, perilaku, dan karakter murid, (c) tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan sehari-hari, dan (d) tahap pemaknaan yaitu tahap refleksi dari para siswa melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka pahami dan lakukan. Jika seluruh tahap ini telah dilalui, maka pengaruh pendidikan terhadap pembentukan karakter murid akan berdampak secara berkelanjutan.

Dari pernyataan-pernyataan di atas, kita bisa menggarisbawahi bahwa untuk menghasilkan generasi unggul, cerdas, dan berkarakter maka orientasi pendidikan tidak hanya berfokus pada kecerdasan saja, tetapi juga pada kekuatan nilai-nilai moral yang harus diterapkan dalam keseharian. Selain itu pendidikan karakter harus dimulai dari sejak dini dan didukung dengan peran serta orang tua, masyarakat, dan sekolah. la akhirnya generasi Indonesia memiliki karakter yang baik yang secara spontan akan tercermin pada tingkah laku kesehariannya.

Setelah Indonesia memiliki generasi gemilang dan berkarakter, maka tugas guru belum selesai. Ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Bagaimana mengantarkan generasi gemilang mengahadapi tantangan revolusi 4.0. Tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak hal yang harus dilakukan, salah satu di antaranya terus memotivasi untuk memperluas wawasan. Luasnya wawasan bisa dilakukan dengan membudayakan literasi yang sebenarnya. Hingga akhirnya murid bisa berdaya yang berwirausaha.

Literasi merupakan kemampuan menalar yang berkait dengan kemampuan analisa, sintesa, dan evaluasi informasi yang bisa ditumbuhkan dengan terintegrasi dalam pelajaran. Banyak miskonsepsi tentang literasi. Membaca buku 15 menit sebelum pembelajaran dimulai, merupakan kegiatan yang dianggap sebagai beban semata. Mengapa demikian? Sebagian besar masyarakat memaknai literasi adalah membaca. Kenyataannya bukan demikian, literasi berhubungan dengan banyak hal. Hingga akhirnya menumbuhkan kreativitas dan inovasi murid.

Manfaat literasi meliputi berbagai aspek perkembangan. Bukan hanya kognitif, namun mencakup juga sosial, bahasa, dan emosi. Literasi berkait dengan keterampilan belajar dan mengambil keputusan, juga penyesuaian diri dengan lingkungan. Salah satu ciri masyarakat di masa kini yang nantinya ada di masa depan adalah jumlah informasi yang sangat banyak, jenis pekerjaan yang menuntut penalaran tingkat tinggi, semua itu membutuhkan literasi.

Kesimpulan
Lengkaplah sudah jika generasi gemilang, berkarakter, serta luas wawasannya. Guru tinggal mengarahkan kemana murid mengembangkan wirausahanya. Baik di bidang tulis menulis maupun wira usaha lainnya. Berkaca dari Menteri Pendidikan Nadim Makarim, sebelum menjabat sebagai pengusaha Gojek yang sangat terkenal. Terobosan-terobosan yang dilakukan beliau sangat diacungi jempol. Itulah teladan bagi  murid di zaman milenial ini.
Untuk mewujudkan impian penulis telah menciptakan generasi gemilang yang berdaya, telah tersebut murid yang bernama Aisy Rahmadani. Dari kegemaran dia mengamati lingkungan, membaca buku, dan kegiatan yang lain, otomatis dia memiliki wawasan yang luas. Pantaslah dia berhasil menulis dua buku novel. Dan kini dia melanjutkan studinya ke negeri Cina. Tidak hanya Aisy, masih banyak murid-murid hebatku yang telah berinovasi dan berkreasi hingga berhasil di bidangnya.














Banjir Pujian di Hari Guru Nasional


Oleh Alfi Faridian

Semua media Sosial dimarakkan dengan postingan “Selamat Hari Guru”. Mulai dari Faceebook, Instagram, Line, sampai Status pribadi Whatsap isinya sama. Bermacam-macam kata indah yang tercantum pada postingan tersebut. Dalam bentuk video pun tak kalah menariknya. Aku sebagai guru bangga dibuatnya.

Guru merasa tersanjung di 25 November ini. Dunia maya seakan milik semua guru. Haru biru tak terkecuali yang kurasa saat itu. Ucapan, pujian, terus mengalir dari sahabat, demikian juga murid-muridku. Tak terkecuali doa dari mereka untuk kesuksesan, kesehatan terutama dipanjatkan untukku. Bak ratu sehari yang dibanjiri puji-pujian.

Hari itu terasa berbeda, ada yang istimewa. Semua berita mengabarkan sesuatu yang indah dan elegan bagi sang guru. Entah sihir apa yang menimpa masyarakat, hingga sanjungan, bukan umpatan yang diberikan kepada guru. Guru adalah insan cendekia, yang pantas menerima sanjungan tersebut. Sosok yang bisa mengubah dunia.

Wahai guru! Apa yang harus dilakukan setelah banjir sanjungan? Tak selamanya sanjungan diberikan oleh masyarakat. Saatnya kita harus berbenah. Jangan merasa aman pada zona nyaman. Berubahlah sebelum zaman menggerus kepiawaian seorang guru. Asah kompetensi hingga ilmu bisa dikuasai. Banyak yang harus dilakukan untuk menggapainya.

Guru adalah manusia biasa. Terkadang juga mempunyai kesalahan. Tetapi sebagai insan biasa juga memiliki perasaan. Ketika dihujat, dimusuhi, bahkan sampai ada yang meregang nyawa saat menaruhkan harga diri, kami tetap manusia biasa yang memiliki rasa. Bagaikan nila setitik, rusaklah susu sebelanga, itulah biasanya yang sering terjadi. Kesalahan yang secuil bisa menghapuskan kebaikan yang kita perbuat.

Dengan adanya hari guru, saya lebih percaya diri. Beban untuk mengantarkan murid ke gerbang kesuksesan terasa ringan. Hal ini dikarenakan semua sanjungan menumbuhkan energi positif bagi guru. Guru perlu belajar, untuk menjadi guru yang kekinian. Bagaimana guru kekinian? Guru yang terus mau belajar. Guru yang terus berkreasi dan berinovasi.

Minggu, 24 November 2019

Putih Berkata Merah

Jika hujan tak mau turun bukan berarti panas terus menggantung
Pun... jiwa putih berkata pedih
Kapan mau berkasih, sementara awan terus menghadang.

Jika putih salju tak menabur bumi, bukan berarti dingin rindu tak terganti peluh.
Memang masihkah tersisa ruang...
Sedang benih sawi tetap tersemat di dalam hati.

Di mana nama itu aku putuskan
Jika balut rindu kian mncercah
Akan rasa kehilangan jejak
Rentang meradang jiwa kotor
Oleh serpihan mutiara berkelok rupa
Tetap saja membekas lara

Tak pernah pudar berkerlip mata
Jelaskan pada mimpi dalam kenangan
Alihkan mata berpencar rasa
Tepisnya ragu kian merekat
Usap merebah balutan jingga
Resah kalbu entah kenapa

Remah kelopak dahlia senyum merekah
Ajak kumbang tebarkan kelana
Hiasi pipi ranum merah mudah
Angkuh melunak tekan imaji
Riuh gemuruh dada bergejolak
Jangan singkirkan semua rasa
Anggap saja putih berkata merah.

Jumat, 15 November 2019

Sebuah Nama 2



Maret 2018

Tiba-tiba gawaiku berbunyi. Malam itu sunyi tanpa angin. Panas hawa menyusuri rumahku yang hanya berukuran 5 meter kebelakang 15 meter. Bisa dibayangkan dua petak kamar berukuran sedang melengkapi ruangan rumahku. Tempat istirahat, tempat melepas penat, yang seharian waktuku habis di sekolah untuk mengamalkan ilmu yang kupunya.

Kusapu dari atas ke bawah gawai putihku. Satu-satunya alat untuk menjalin komunikasi dengan murid-muridku. Serta sahabat-sahabatku. Demikian juga dengan rekan kerjaku. Warna hijau muncul dengan nomor yang tak kukenal. Kubuka tertulis salam sebagai pembuka dari orang di seberang sana. Entah perhatianku tak focus pada tulisan itu. Lalu kuulang lagi dengan memperhatikan nomor yang baru masuk dalam deretan kontak WhatsApp-ku. Astaghfirullah… kuperhatikan foto DP yang muncul di nomor asing itu. Debar jantungku seketika berdetak kencang. Sekencang karapan sapi di Madura, bahkan lebih kencang. Aku ulang lagi salamnya…. Ku ulang lagi. Hampir tak percaya. Jemariku tak mampu menulis kata-kata untuk membalasnya. Namun pikirku ingin segera menjawab salam itu. Aku seperti dihipnotis dengan nomor iru. Betapa kuatnya sihir yang dilewatkan pada nomor asing itu. Apalagi setelah kulihat gambar yang tertera.

Gemeretak jantungku mengiringi jemari menulis jawaban itu. Tak terasa aku teteskan air mata entah apa makna buliran itu. Senang, ragu, sedih, haru, bangga, entah apa namanya tak bisa melukiskan perasaanku saat itu.

Seperempat abad lebih dia muncul secara tiba-tiba. Entah angin apa yang membawa ke dalam gawaiku. Anugerah yang luar biasa bisa melihat wajahnya, serta berkomunikasi dengannya. Nama yang sering kusebut lewat doa muncul seketika. Apakah ini sebuah jawaban dari semua doa-doaku selama ini. aku hanya percaya bahwa Allah-lah yang membawa nama itu dalam keseharianku. Hampir tak kupercaya, nama yang sekian lama hilang kini muncul dengan karakter yang sama.
Ketika aku hanya berilusi nama itu hadir dalam pelukanku. Tiba-tiba hadir dalam kenyataan. Tapi sebentar dan kini hilang lagi.

Ketika dia hadir, banyak sekali yang dia berikan dalam bagian hidupku. Hanya aku dan dia yang tahu. Bahwa kami sempat mengulang masa-masa itu. Masa tiga puluh tahun yang lalu. Kami sempat melepas rindu masing-masing. Saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Dan saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kami sama-sama ingin masa itu. Kami ingin bercinta lagi, kami ingin saling memiliki lagi, kami ingin segalanya kan terwujud lagi. Tapi tak mungkin.

Andai waktu bisa diputar ke masa lalu, itulah ungkapan kami. Kami saling menyayangi, kami saling merindui, kami saling maratapi, kami saling berbagi kasih, kami  berkhayal saling memiliki, kami saling takut kehilangan kembali.
Jika rindu sudah membuncah, kami bertemu. Tiada yang tahu. Bercerita, bercanda, bergelak tawa bersama, cukup membuat hati kami terobati.
Namun semua itu seperti mimpi…. Tiada angin…tiada hujan kamu pergi…….

 "Panoptikum Tubuh Malam" Selasa, 3 Januari 2023 Jika saja aku Memakai satu kekuatan Dalam sekejap kau akan kuhapus Aku akan berte...