Kamis, 16 Mei 2013

Analisis Strukturalisme Genetik



Analisis Strukturalisme Genetik Terhadap
 Cerpen Dodolitdodolitdodolibret Karya Seno Gumira Ajidarma



Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Batasan sastra, sampai kini, menjadi perdebatan yang tidak selesai. Selalu menyisakan ruang dan pertanyaan yang tidak terjawab secara keseluruhan. Padahal, berbagai interpretasi tentang sastra dari persepsi etimologi, konsep, epistemology, dan ontology terus saja ada, tetapi tetap tidak bisa memuaskan. Hal ini menunjukkan  sastra sebagai sesuatu yang kompleks, yang tidak bisa didefinisikan dari satu perspektif saja. Pendefinisian dari satu perspektif akan menghilangkan perspektif lainnya, sehingga dalam aspek pengertian saja, sampai sekarang, sastra terus hidup dan berpolemik. Namun untuk keperluan pemahaman yang komperehensif, perlu secara singkat dipaparkan beberapa pengertian sastra yang sudah banyak dikemukakan oleh para ahli.
Dalam buku Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra yang ditulis oleh Heru Kurniawan Werren dan Wellek mengatakan bahwa sastra sebagai karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika  dominan. Imajinasi dan estetika merupakan konsep dasar dari seni yang bersifat personal, sedangkan bahasa merupakan cirri khas dari media penyampaiannya, yang membuat karya sastra berbeda dengan karya-karya lainnya.
Untuk menganalisis sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan pendekatan-pendekatan, ataupun teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Salah satunya konsep dasar strukturalisme Genetik yang dikonseptualisasikan oleh Goldmann. Strukturalisme genetic Goldmann merupakan pendekatan sastra yang bergerak dari teks sebagai focus yang otonom menuju faktor-faktor yang bersifat ekstrinsik di luar teks, yaitu penulis sebagai subjek kolektif suatu masyarakat. Harus diakui, konsep Goldmann ini dipengaruhi oleh teori sosial sastra Marx yang mengonseptualisasikan
·         Sastra merupakan sebuah fenomena zaman
·         Sastra adalah refleksi kehidupan pengarang pada masanya
·         Sastra adalah produk eksternal yang dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan sosial tertentu.
Ketiga aspek ini menunjukkan perspektif factor determinasi penulis dan masyarakat terhadap karya yang mempengaruhi pandangan strukturalisme-genetik Goldmann.
“Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma terpilih sebagai cerita pendek (cerpen) terbaik Kompas 2010 yang diumumkan pada penganugerahan Penghargaan Cerpen Kompas 2011 di Bentara Budaya Jakarta, Senin (27/06/2011) malam. ”Dodolitdodolitdodolibret” menyisihkan 17 cerpen lainnya yang dipilih dari 52 cerpen sepanjang tahun 2010. Penulis akan mengkaji cerpen tersebut melalui pendekatan Strukturalisme Genetik Goldmann.
1.2   Rumusan Masalah
           1. Apa teori Strukturalisme Genetik Goldman?
1.   Bagaimana hubungan teori Strukturalisme Genetik Goldman dengan cerpen      Dodolitdodolitdodolibret karya Seno Gumira Ajidarma?
1.3. Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk,
·         Mengetahui teori Strukturalisme Genetik Goldman
·         Mengetahui hubungan teori Strukturalisme Genetik Goldman dengan cerpen Dodolitdodolitdodolibret karya Seno Gumira Ajidarma?


Bab 2
Pembahasan
2.1 Strukturalisme Genetik Goldmann
Konsep Dasar Strukturalisme Genetik Goldmannsikan oleh Goldmann, berpijak pada pandangan bahwa karya sastra adalah sebuah struktur yang bersifat dinamis karena merupakan produk sejarah dan budaya yang berlangsung secara terus menerus (Faruk, 2010: 56). Kedinamisasian struktur sastra ini terbentuk karena relasi genetiknya, yaitu hubungan dialektis antara penulis dengan masyarakat. Penulis adalah individu yang menjadi anggota masyarakat. Masyarakat menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya visi dunia yang berdialog dengan penulis, sehingga kondisi masyarakat berperan besar dalam membentuk visi dunia penulis.
Yang menjadi fokus dalam pendekatan strukturalisme yang dikemukakan oleh Goldmann adalah hubungan dialektis penulis dan masyarakat sebagai faktor eksternal-genetis sastra. Hal ini yang menunjukkan kehadiran penulis sebagai individu yang direpresentasikan selalu mewakili kelas dan kelompok sosialnya dalam konteks kehidupan di masyarakat. Disinilah, kedudukan penulis dalam kehidupan masyarakat juga bukan merupakan individu yang pasif, yang kediriannya mutlak ditentukan oleh system yang ada di masyarakat. Dalam masyarakat, penulis juga aktif-kreatif untuk mengaktualisasikan dirinya melalui visi dunianya melalui karya sastra yang mempengaruhi tata system kehidupan masyarakat.
Strukturalisme genetic Goldmann merupakan pendekatan sastra yang bergerak dari teks sebagai focus yang otonom menuju faktor-faktor yang bersifat ekstrinsik di luar teks, yaitu penulis sebagai subjek kolektif suatu masyarakat. Harus diakui, konsep Goldmann ini dipengaruhi oleh teori sosial sastra Marx yang mengonseptualisasikan
o   Sastra merupakan sebuah fenomena zaman
o   Sastra adalah refleksi kehidupan pengarang pada masanya
o   Sastra adalah produk eksternal yang dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan sosial tertentu.
Ketiga aspek ini menunjukkan perspektif faktor determinasi penulis dan masyarakat terhadap karya yang mempengaruhi pandangan strukturalisme-genetik Goldmann.
Menurut Goldmann, strukturalisme genetic adalah analisis yang menyatukan aspek struktur dengan materialism historis yang dialektik, sehingga karya sastra punharus dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Karya sastra memiliki kepaduan total dan unsur-unsur yang membentuk karya sastra itu berarti. Arti karya sastra dapat dipahami dalam konteks sosial masyarakat yang melatarbelakanginya. Dan di sinilah strukturalisme genetic berkaitan dengan sosiologi karena pemaknaan struktur karya sastra ditempatkan dalam struktur masyarakat.
Untuk menopang teorinya, menurut Faruk (12), Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling berkaitan satu sama lain sehingga membentuk strukturalisme genetik. Kategori-kategori tersebut adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan.
A. Fakta Kemanusiaan (Human Facts)
Prinsip dasar pertama dari strukturalisme genetik adalah fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan adalah hasil dari perilaku manusia yang dapat dengan jelas dipahami, atau dengan kata lain adalah segala hasil aktivitas manusia atau perilaku manusia baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan sastra (Faruk 12). Goldmann mengatakan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai upaya manusia mengubah dunia, dimana tujuan dari aktivitas-aktivitas tersebut adalah untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara diri manusia (sebagai subjek) dan dunia. Perilaku manusia di atas menjadi bermakna karena membuat mereka memperbaiki keseimbangannya (equilibrium)
Dalam hubungan manusia dengan lingkungannya (Faruk 13-14), selalu terjadi proses timbal-balik yang disebut dengan asimilasi dan akomodasi. Di satu pihak, manusia berusaha mengasimilasi lingkungan sekitarnya, tetapi di lain pihak usaha itu tidak selalu berhasil karena menghadapi rintangan-rintangan yang antara lain:
  1. Kenyataan bahwa sektor-sektor kehidupan tertentu tidak menyandarkan dirinya pada integrasi dalam struktur yang dielaborasikan
  2. Kenyataan bahwa semakin lama penstrukturan dunia eksternal itu semakin sukar dan bahkan tidak mungkin dilakukan
  3. Kenyataan bahwa individu-individu dalam kelompok yang bertanggung jawab terhadap proses keseimbangan telah mentrnsformasikan lingkungan sosial fisiknya sehingga terjadi proses yang mengganggu keseimbangan dalam proses strukturasi itu.
Menghadapi kendala seperti itu manusia akhirnya menyerah dan melakukan hal sebaliknya, yaitu melakukan proses akomodasi dengan struktur lingkungan tersebut. Dalam proses strukturasi dan akomodasi yang terus-menerus itulah karya sastra memperoleh artinya, sekaligus menjadikan proses tersebut sebagai genesis dari struktur karya sastra (Faruk 14).
B. Subjek Kolektif
Telah dibahas sebelumnya bahwa fakta kemanusiaan merupakan hasil dari aktivitas manusia sebagai subjeknya. Subjek dapat dibagi menjadi dua, sesuai dengan fakta yang dihasilkannya: subjek individual yang menghasilkan fakta individual (libidinal), dan subjek kolektif yang menghasil fakta sosial (historis) (Faruk 14).
Strukturalisme genetika melihat subjek kolektif sebagai sesutau yang penting karena subjek kolektif mampu menghasilkan karya-karya kultural yang besar yang sering menjadi topik utama dalam karya sastra, contohnya revolusi sosial, politik dan ekonomi (Faruk 14-15). Jika kita menggunakan terminology Goldmann, maka fakta-fakta sosial tersebut dihasilkan oleh subjek trans-individual (Goldmann 97), dimana subjek trans-individual bukanlah individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan, satu kolektivitas (Faruk 15).
C. Pandangan Dunia (World View)
Pandangan dunia adalah sebuah perspektif yang koheren dan terpadu mengenai manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Pandangan dunia adalah fakta historis dan sosial, yang merupakan keseluruhan cara berfikir, perasaan dan tindakan dimana pada situasi tertentu membuat manusia menemukan diri mereka dalam situasi ekonomi dan sosial yang sama pada kelompok sosial tertentu . Karena merupakan fakta sosial yang berasal dari interaksi antara subjek kolektif dengan sekitarnya, pandangan dunia tidak muncul dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru (Faruk 16).
D. Struktur Karya Sastra
Sebagaimana yang disampaikan di atas, karya sastra yang besar merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif. Karena itulah strukturalisme genetik melihat karya sastra sebagai struktur koheren yang terpadu. Menurut Goldmann, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, dimana pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner pula. Hal itulah juga yang menurut Goldmann membedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi (Faruk 17).
Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa Goldmann ternyata memfokuskan perhatiannya pada hubungan antar tokoh dan antara tokoh dengan lingkungannya. Dalam bukunya The Sociology of Literature: Status and Problem of Method, Goldman mengatakan bahwa hampir seluruh karyanya penelitian dipusatkan pada elemen kesatuan, dalam rangka menguak struktur yang koheren dan terpadu yang mengatur keseluruhan karya sastra (Faruk 17).
Dalam kaitannya dengan konsep struktur karya sastra, Goldmann berpendapat bahwa novel merupakan cerita tentang pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga terdegradasi, dan pencarian itu dilakukan oleh seorang pahlawan (hero) yang problematik. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik itu adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel. Dengan begitu, nilai-nilai tersebut hanya dapat dilihat dari kecederungan terdegradasinya dunia dan problematiknya sang hero. Itulah sebabnya, nilai otentik hanya berbentuk konseptual dan abstrak , serta hanya berada dalam kesadaran penulisnya (Faruk 18).
Goldmann membagi novel dalam tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, dimana tokohnya masih ingin bersatu dengan dunia, namun karena persepsi tokoh tersebut bersifat subjektif, idealismenya menjadi abstrak; novel romantisme keputusasaan, dimana kesadaran tokohnya terlampau luas dari dunia sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah dari dunia; dan yang terakhir adalah novel pendidikan, yang menampilkan pahlawan yang mempunyai kesadaran akan kegagalannya ketika ingin bersatu dengan dunia karena memilki interioritas (Faruk 19).
E. Dialektika Pemahaman-Penjelasan
Dalam perspektif strukturalisme genetik, karya sastra merupakan sebuah struktur koheren yang memiliki makna. Dalam memahami makna itu Goldmann mengembangkan metode yang bernama metode dialektik. Prinsip dasar metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di atas adalah pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan. Untuk itu metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep yaitu “keseluruhan-bagian” dan “pemahaman-penjelasan” (Faruk 19-20).
Dialektik memandang bahwa tidak ada titik awal yang secara mutlak sahih dan tak ada persoalan yang secara mutlak pasti terpecahkan. Setiap gagasan individual akan berarti jika ditempatkan dalam keseluruhan, demikian juga keseluruhan hanya dapat dipahami dengan menggunakan fakta-fakta parsial yang terus bertambah. Dengan kata lain, keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian, dan bagian tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan (Faruk 20).
Sebagai sebuah struktur, karya sastra terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil, yang mana dengan mengidentifikasinya akan membantu kita memahami apa sebenarnya karya tersebut. Namun teks sastra itu sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar yang membuatnya menjadi struktur yang berarti. Dalam memahaminya harus juga desertai usaha menjelaskanya dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar. Inilah sebenarnya konsep dialektika “pemahaman-penjelasan”, dimana pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.
2.2 Cerpen Dodolitdodolitdodolibret karya Seno Gumira Ajidarma
Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.
“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.
Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.
“Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, “karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”
Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.
Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.
“Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, “untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”
Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.
Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.
Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.
Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.
“Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.
Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
“Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, “dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.
Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.
“Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.
Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya?
Danau itu memang begitu luas, sangat luas, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya, sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Danau seluas lautan,” pikirnya, “apalagi yang masih bisa kukatakan?”
Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.
“Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.
Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
“Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, “mereka berdoa dengan cara yang salah.”
Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.
Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!
“Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.
Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.
“Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.
Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.
“Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.
Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.
Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.
“Guru! Lihat!”
Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!
Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?
Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.
“Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”
Ubud, Oktober 2009
Dengan membaca cermat cerpen ini dapat dirumuskan postulasi visi dunia cerpen ini adalah mengenai pluralitas dalam konteks keagamaan, yaitu sikap untuk menghormati keberbedaan individu, kelompok sosial, cultural, maupun agama lain. Erutama cara berdoa yang benar. Setiap individu yang beragama selalu memiliki cara yang berbeda dalam berdoa sebagai bentuk keyakina diri. Adapun doa sebagai cara untuk beribadah, meminta, dan membebaskan diri dari segala materi kedirian, semua keyakinan pasti sama. Tatacara dan perwujudan doa setiap keyakinan pasti berbeda. Pandangan dunia tentang pluralitas ini menjadi struktur yang memediasikan struktur karya sastra  dengan struktur pada masyarakat. Untuk itu, untuk memahami konsepsi pandangan dunia ini, berikut akan diuraikan analisis strukturnya.
2.2.1 Pandangan Dunia Pluralitas: Analisis Struktur Cerpen
Kalimat pembuka: Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng, menyiratkan sebuah pesan akan adanya dunia dongeng atau dunia mistis yang tidak empiris, yaitu keyakinan bahwa orang bisa berdoa dengan cara benar, maka ia bisa berjalan di atas air. Sebagai individu yang yakin tentang pentingnya berdoa dengan cara yang benar, Guru Kiplik meyakini kenyataan mistis ini, tetapi pengalaman empirisnya sendiri menyatakan, sekalipun ia sudah berdoa dengan cara yang benar, tetapi ia tidak bisa berjalan di atas air. Kenyataan empirisnya ini kemuadian yang mengalahkan kenyataan mistis. Guru Kiplik pun mencoba untuk tidak percaya terhadap kenyataan mistis ini.
Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan cara yang benar, akan mampu berjalan di atas air.
Kiplik memang bisa membayangkan, bagaiman a kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan  
Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun, masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.
Di sinilah posisi relasi antara tokoh utama dengan dirinya sendiri mengalami persoalan. Di satu sisi, Guru kilplik ingin meyakini kenyataan mistis bahwa orang yang bisa berdoa dengan benar, maka akan bisa berjalan di atas air. Akan tetapi, kenyataan empiris pada dirinya dan di luar dirinya. Guru Kiplik belum bisa dan mendapatkan orang yang bisa berjalan di atas air. Hal ini menjadikan problematika pada relasi pengetahuan dengan kenyataan empiris. Pengetahuan sebagai sebagai pemeluk yang teguh, di mana agama juga merupakan keyakinan pada mistis, menyatakan kebenaran berdoa yang bisa membuat orang bisa berjalan di atas air. Akan tetapi, empirisme yang ada dalam pengetahuan dirinya tidak mendapatkan kenyataan itu. Mistisisme dan empirisme menjadi problematika dalam dirinya.
Dengan kenyataan ini, Guru Kiplik kemudian mengambil sikap bahwa mistik “kebenaran berdoa yang bisa membuat orang bisa berjalan di atas air” dipersepsi dan dimaknai dengan cara yang tekstual dan badaniah. Mistis itu hanya dianggap sebagai dongeng yang berlambang, yang maknanya dipersepsi berdasarkan pengetahuan empirisme. Hal inilah yang menjadikan keyakinannya, sebagai guru yang mendalami persoalan doa, bahwa doa yang benar pun dirumuskan secara mekanistik, badani, dan tektual. Bahwa doa yang benar adalah bukanlah sekedar kata-katanya tidak keliru, gerakannya harus tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.
Persepsi ini menjadikan doa sebagai bentuk keyakinan mistis adalah sesuatu yang mekanik. Harus dipelajari dengan cara yang benar dan tepat. Karena keyakinan ini, maka Guru Kiplik pun mengajari cara berdoa yang benar  ke semua orang dengan cara-cara yang diyakininya. Guru Kiplik mengambil sikap ini karena keyakinannya bahwa tidak dikabulkannya sebuah doa dikarenakan cara berdoanya tidak benar. Guru Kiplik berdakwa dengan keyakinannya tentang cara berdoa yang benar.
Dengan kebesaran jiwa dan niatnya yang ikhlas, Guru Kiplik terus menyadarkan dan mengajari cara berdoa yang benar. Karena kebesaran jiwanya ini, Guru Kiplik pun bisa diterima oleh orang-orang yang diajarinya. Bahkan, orang-orang itu, setelah merasakan kemanfaatan doa dari aspek badaniyah, yaitu berdoa untuk mendapatkan kebahagiaan, meminta untuk diangkat menjadi murid dan bisa menemani perjalanan Guru Kiplik dalam mengajarkan cara berdoa yang benar. Akan tetapi, dengan kerendahan hati Guru Kiplik menolak.
“Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.
Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
“Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, “dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
...
Penolakan Guru Kiplik ini karena kesadaran dirinya sebagai manusia biasa, bukan nabi yang membawa umatnya masuk surge.  Inilah bukti kerendahan hati Guru Kiplik. Karena kerendahan hatinya ini relasi Guru Kiplik dengan tokoh lain dan dunia di luarnya dijalin dengan baik. Sikap Guru Kiplik ini didasari pada keyakinan bahwa hidup itu harus berbagi. Semakin banyak membagi, yaitu dengan mengajari orang-orang berdoa dengan benar, sehingga banyak orang bahagia karena cara berdoanya benar, maka Guru Kiplik pun bahagia. Niat membagi kebahagiaan sebagai cara  untuk mendapatkan kebahagiaan inilah yang membuat Guru kiplik terus berdakwa dengan baik tentang cara berdoa yang benar.
Dengan berdasarkan pada penjelasan di atas, hubungan relasi tokoh dengan dunia, objek, dan benda-benda bahkan dirinya sendiri menjelaskan  bahwa pertama, sebagai pribadi yang rendah hati, Guru Kiplik memiliki relasi yang baik dengan dunia eksternalnya. Kedua akan tetapi berkaitan dengan  pengetahuan dan keyakinannya, Guru Kiplik mendapatkan kenyataan bahwa relasi diri dengan dunia internalnya, yaitu pengetahuan dan keyakinannya, Guru Kiplik memiliki persoalan, tidak bertemunya keyakinan mistis bahwa berdoa bisa membuat orang berjalan di atas air dengan pengetahuan empirisnya yang dia sendiri, sekalipun tahu cara berdoa yang benar, tetap saja belum bisa berjalan di atas air. Dalam relasinya dengan orang-orang yang diajari cara berdoa yang benar, Guru Kiplik tidak menemukan jawaban atas problematika kediriannya itu.
Sampailah Guru Kiplik kemudian di sebuah pulau terpencil yang seluruh penduduknya berdoa dengan cara yang salah di mata Guru Kiplik. Karena kenyatan ini, Guru Kiplik merasa prihatin dan bersegera mengajarkan pada Sembilan orang tokoh tentang cara berdoa yang benar. Dengan kesabaran, kesungguhan, dan kerendahan hatinya akhirnya Guru Kiplik pun bisa mengajarkan cara berdoa yang benar.
Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih saying tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.
Setelah selesai mengajari cara berdoa yang benar, maka Guru Kiplik pun pergi berlayar untuk melanjutkan dakwanya. Akan tetapi, saat berlayar, tiba-tiba Sembilan orang berjalan di atas air memanggil-manggil Guru Kiplik untuk kembali ke pulau dan mengajarinya cara berdoa yang benar. Melihat kenyataan orang berjalan di atas air, Guru Kiplik tersadarkan bahwa keyakinan mistiknya yang selama ini ditiadakan ternyata benar. Orang yang berdoa dengan cara yang benar bisa berjalan di atas air. Akan tetapi kebenaran doa itu bukan darinya.
Di sinilah relasi problematic yang dialami Guru Kiplik tentang konsepsi cara berdoa yang benar itu mekanik  dan tekstual salah. Justru orang-orang pulau itu, yang dianggap salah berdoanya, ternyata malah yang benar, bisa membuat orang-orang itu berjalan di atas air. Dengan akhir cerita ini tergambarkan bahwa agama adalah keyakinan mistis yang plural. Berdoa sebagai konseptualisasi agama bukanlah kebenaran absolute dan mutlak dari golongan tertentu. Keyakinan sebagaimana kedirian manusia itu bersifat plural. Setiap manusia berbeda dalam mempersepsi doa dan agama berdasarkan keyakinannya sendiri. Bahkan, Guru Kiplik hero problematic yang baik, rendah hati, dan altruis pun punya kekurangan dalam konsepsinya tentang car berdoa yang benar.
Hal inilah yang menunjukkan konsepsi pandangan dunia pluralitas dalam berkeyakinan dan beragama melalui jalan berdoa. Agama sebagai keyakinan adalah plural yang konsepsi kebenarannya, misalnya cara berdoa, tidak bisa disamakan. Kebenaran berkaitan dengan cara dan jalan itu berbeda-beda, sekalipun substansinya sama sebagai bentuk ibadah. Mengutamakan cara yang mekanik sebagai ukuran baik dan benar sebuah ajaran adalah kesalahan besar. Inilah yang dialami Guru Kiplik.  Apalagi sampai melakukan tindakan-tindakan anarkhis demi penyeragaman cara dan jalan berkeyakinan.
2.2.2 Pandangan Dunia  Pluralis sebagai Mediasi Struktur Cerpen dengan Struktur Masyarakat
Konsepsi pandangan dunia pluralitas berkeyakinan agama ini tidak lahir dari dunia kosong. Seperti yang dikatakan Teeuw (1981) bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, sehingga pasti ada konteks sosial dan budaya yang melatari lahirnya sebuah konsepsi pandangan dunia. Konteks sosial ini yang kemudian menstrukturasi struktur karya sastra dalam mediasi pandangan dunia. Dengan melihat hero problematik cerpen ini yang berupa guru agamayang bernama Kiplik dan persoalan cerita yang berupa doa dan agama, maka persoalan sosial yang dikontekstualisasikan adalah persoalan keagamaan masyarakat kita yang punya kecenderungan problematik. Problematik yang sering terjadi, bahkan menjadi konflik sosial –horisontal, adalah munculnya semangat “penyeragaman” cara dan jalan dalam spirit keagamaan.
Cara penyeragaman ini yang kemudian memunculkan persoalan yang berupa konflik sosial. Aliran-aliran keagamaan yang punya kecenderungan penyeragaman ini adalah mereka yang menganggap bahwa agama adalah persoalan tatacara, jalan, tekstual, dan badani yang penilaiannya diukur secara empiris, seperti yang dipersepsi oleh Guru Kiplikdengan konsepsi cara berdoa yang benar. Kenyataan ini menimbulkan konflik horisontalkarena agama sebagai keyakinan. Oleh karena itu klaim kebenaran agama selalu melekat pada otoritas keagamaan, tidak pada makna substansinya. Oleh karena itu, agama pertama-tama adalah soal keyakinan, sehingga makna kebenarannyamau tidak mau kembali pada pengalaman subjektif yang membentuk keyakinan orang atau masyarakat.
Konntelasi keberagaman masyarakat kita yang rentan konflik beragama ini terjadi karena adanya pemaksaan dan klaim kebenaran keagamaan. Klaim kebenaran dan penyeragaman iniyang membuat keyakinan tidak dipersepsi sebagai hal yang plural. Kekerasan muncul, dan banyak sekali terjadi di masyarakat kita, saat klaim kebenaran dan penyeragaman keagamaan ini dilakukan dengan cara-cara yang anarkhis. Fenomena tampak menggejala dalam kehidupan beragama di masyarakat. Karena struktur keberagaman yang demikian ini, maka pandangan dunia pluralitas ini memediasi relasi struktur karya sastra dengan struktur masyarakat.
Dalam hal ini, cerpen ini memberikan sebuah pandangan dunia pluralitas yang tidak bisa dinafikan dalam kehidupan umat beragama. Guru Kiplik yang baik dan paham dengan agama pun dipaksa oleh dunia bahwa orang-orang yang dianggap salah dalam berdoa ternyata lebih benar secara mistis, bisa berjalan di atas air. Kebenaran tentang doa yang diagungkanpun ternyata salah. Kenyataan ini menyadarkan bahwa kebenaran dalam berdoa dan agama bersifat plural. Tidak bisa dikonsepkan secara tekstual dan mekanik karena hakikat agama adalah spiritual dan mistis. Kebenaran konsepsional belum tentu mutlak benar. Yang kemudian tidak bisa dihindari adalah pemahaman keagamaan itu plural, dank arena pluralitas inilah sikap hormat-menghormati dan menjunjung tinggi semangat untuk menerima keberbedaan adalah syarat mutlak untuk harmonisasi kehidupan umat beragama.


Bab 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari analisa tersebut terlihat bahwa cerpen ini menawarkan sebuah pandangan dunia yang bisa mengatasi persoalan keagamaan masyarakat kita melalui semangat pluralitas. Seno Gumira Ajidarma sebagai penulis cerpen ini sebagai subjek kolektif telah menyerap struktur persoalan keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Struktur masyarakat ini yang kemudian menstrukturasikan Seno Gumira Ajidarma dalam representasi pandangan dunia yang pluralitas. Dengan demikian, pandangan dunia pluralitas Seno Gumira Ajidarmadalam cerpen ini adalah pandangan dunia penulis yang distrukturasi oleh struktur kehidupan umat beragama di Indonesia, yang dihayati oleh Seno Gumira Ajidarma sebagai suatu kehidupan yang problematik. Berbagai konflik dan persoalan soaial karena keagamaan ini kemudian distrukturasiulang oleh Seno Gumira Ajidarma dalam bentuk cerpen. Dalam cerpen inilah kemudian Seno Gumira Ajidarma mengkonsepsikanpandangan dunia pluralitas sebagai usaha untuk membangunstruktur kehidupan umat beragama yang lebih baik lagi.

SATU MAKNA SATU JIWA


Satu Makna Satu Jiwa
          Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Lama kurenungkan peribahasa itu hingga aku menyadari bahwa alangkah hebatnya orang yang menciptakan kalimat itu. Lebih hebat lagi peribahasa tersebut ada dalam kehidupanku. Moyangku seorang guru, pak de-ku guru, di antara sepupuku juga ada yang berprofesi guru, ibuku juga guru, dari lima bersaudara aku guru.
         Tak terbayang bila ku besar nanti aku dipanggil “bu guru”. Tak sebersit pun aku bercita-cita sebagai seorang guru. Aku ingin membangun gedung-gedung yang tinggi, aku juga ingin menjadi ahli gizi. Terkadang aku hanya bergumam “aku ingin terbang ke angkasa luas, arungi samudra, indahnya.
Sepintas ada gambaran masa lalu di pelupuk mata, waktu itu aku masih duduk di bangku SD,  Bisa dikatakan masa kecil yang kurang bahagia telah kualami. Tak seperti sebayaku, segala sesuatu harus kukerjakan sendiri. Jarang sekali di meja makan terhidang sarapan pagi walau lauk tempe goreng. Untuk menggantinya, ibuku sering membelikan jajanan sebagai pengganjal perut. Sepulang sekolah aku harus menunggui adik-adikku, Jangankan bermain bersama teman, untuk mengerjakan tugas sekolah aku harus menunggu datangnya ibu dari kerja. Rutinitas pekerjaan rumah harus kuselesaikan, kalau tidak pasti beliau marah.
          Kini aku bisa membayangkan, bagaimana sibuknya ibuku. Di pagi hari beliau mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Belum lagi empat adikku yang masih kecil-kecil, yang masih membutuhkan orang lain untuk membantu persiapan dirinya sendiri. Mulai dari mandi sampai berdandan rapi. Bila tak ada beliau apalah jadinya kami, tak terelakkan dari sebuah nama beliau “Nur Dun Yatim” seorang yatim yang menyinari dunia. Dunia bagi kami anak-anaknya. Selain menjadi ibu yang baik bagi keluarga, beliau juga ibu dari anak-anak bangsa. Melalui ilmu agama Islam beliau mengamalkan ilmu, dan dengan sekuat tenaga beliau memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
          Satu hal yang kurasa, aku ingin seperti mereka, teman-teman kecilku.  Setelah pulang sekolah, ibu mereka selalu menyambut dengan hidangan makan siang di meja makan. Setelah makan dilanjutkan istirahat dan tidur siang.  Ibuku hanya bisa menyediakan kebutuhan kami, dan menemani aku dan adik-adikku di hari menjelang malam. Itulah alasan mengapa aku tak bercita-cita sebagai guru. Dengan berbagai kesibukannya semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ayah hanya pedagang kecil di pasar tradisional. Tak cukup untuk biaya kami yang lima bersaudara. Aku sadar bahwa yang beliau lakukan adalah perjuangan hidup untuk anak-anaknya.
          Sebagai anak sulung aku dipaksa bisa mandiri. Alfi Faridian, tiga rangkai kata. Alfi, fari, dian. Itulah doa yang diberikan ayah ibuku pada bayi perempuan pertama yang mempererat tali kasih sayang mereka. Menurut ibuku, Alfi bermakna seribu, Farid artinya kehidupan, sedangkan Dian berarti pelita atau penerang. Bila disatukan, mengandung makna seribu pelita dalam kehidupan. Mereka berharap bayi perempuannya bila dewasa menjadi orang yang bisa menjadi penerang dalam kehidupan. Itulah doa ayah ibuku yang selalu menyertai aku dimana pun, kapan pun, dan dalam keadaan bagaimana pun.
         Aku tak bisa menolak saat ibuku menyarankan aku harus kuliah mengambil jurusan ilmu kependidikan. Aku tak bisa menghindar harus memilih program Bahasa dan Sastra Indonesia karena bidang inilah yang menonjol di setiap nilai yang ada di raporku. Bagaikan air yang mengalir, setelah berhasil menyelesaikan belajarku. Aku diberi kesempatan untuk mengamalkan ilmu – ilmuku.
         Sempat kujalani tinggal bersama masyarakat desa yang terpencil, jauh dari keramaian. Aku mengikuti program pemerintah dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu. Tiga tahun kulalui bersama mereka di pulau garam Madura, tepatnya desa Moncek Barat kecamatan Lenteng kabupaten Sumenep. Banyak pengalaman yang kudapatkan. Aku bantu mereka untuk menjadi orang yang lebih baik. Dari buta aksara menjadi orang yang mengenal tulisan. Ibu-ibu PKK-pun demikian. Tak terkecuali remaja dan anak-anak kuajarkan beberapa keterampilan agar kelak bermanfaat dan  lebih mandiri.
          Kini kuamalkan ilmuku di SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo, hingga sekarang. Rasanya tak percaya aku telah dipanggil “bu guru” oleh murid-muridku. Aku menikmati dan bersyukur bisa menjadi seorang guru. Ternyata “guru” profesi yang menyenangkan. Satu hal yang kurasa, ternyata dengan berprofesi guru membuat aku awet muda, karena selalu bergaul dengan anak-anak usia muda.
Subhanalloh….Dalam renungan yang paling dalam, apa yang kualami tak lepas dari kekuatan doa ayah ibuku. Walau aku berusaha menolak, kekuatan doa orang tua lebih didengarkan oleh Allah SWT. Kini jejakku sama dengan jejak ibuku. Walaupun rangkaian nama kami  berbeda namun satu makna dan satu jiwa. Aku bangga bisa menjadi pelita bagi bunga-bunga bangsa.
Lima belas tahun aku menjadi guru, suka dan duka adalah kenangan yang terindah bagiku. Dengan menjadi guru aku bisa beramal, dengan menjadi guru aku banyak teman, dengan menjadi guru aku bisa mengasah ilmu, yang terpenting dengan menjadi guru aku bisa menjadi pelita dalam kehidupan sesuai dengan namaku Alfi Faridian. Terima kasih Ibu….terima kasih ayah…...doamu sangat bermanfaat bagiku, semoga Allah memberi kebaikan surga untukmu….Amiiin…..

Rabu, 01 Mei 2013

KURIKULUM 13 MENUJU PENDIDIKAN BERKUALITAS


Kurikulum Tiga Belas Menuju Pendidikan Berkualitas



Dewasa ini pendidikan di Indonesia mengalami penurunan kualitas secara signifikan. Indikatornya jelas, jika dilihat dari faktor sekolah, banyak sekolah yang kekurangan tenaga pendidik professional dan minimnya infrastruktur yang menunjang proses pembelajaran. Hal tersebut jelas berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Adanya kesenjangan antara sekolah-sekolah pinggiran dengan  sekolah faforit  adalah bentuk permasalahan yang paling terlihat jelas dari sekian banyaknya permasalahan yang ada dalam ranah dunia pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, dengan adanya sekolah tersebut maka sudah jelas kualitas pendidikan akan menjadi yang paling utama.
Memang, banyak sekolah yang menjamin kualitas pendidikan mereka akan sama dengan negara - negara lain yang lebih maju. Namun, ketika kualitas pendidikan telah mereka gembor – gemborkan. Ironisnya, hanya segelintir anak yang dapat mencicipi bagaimana rasanya mendapatkan pendidikan seperti di negara maju. Mengapa Demikian? Hal tersebut berkaitan dengan mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk dapat bersekolah disitu. Harapan para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di tempat yang terbaik harus membentur tembok tebal bertuliskan biaya.
Sebenarnya sekolah – sekolah biasa juga tidak dapat dikatakan kualitasnya buruk. Banyak pula sekolah – sekolah biasa yang mampu menghasilkan siswa – siswa berprestasi. Namun tentu saja, masalah sarana prasarana dan prestasi  sekolah tersebut tentunya juga menjadi pertimbangan untuk orang tua memilih sekolah bagi anaknya.
          Dengan demikian, maka sekolah – sekolah pinggiran akan semakin terpinggirkan sehingga sekolah tersebut hanya memiliki sedikit kesempatan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di sekolah tersebut.
Kemudian, Faktor penurunan kualitas pendidikan di Indonesia juga disebabkan oleh lemahnya karakter dari para siswa. Sudah menjadi hal biasa ketika siswa berkelahi bahkan melakukan tawuran antar sekolah hanya disebabkan hal – hal yang sepele. Sangat disayangkan sekali melihat hal tersebut masih sering kita jumpai di sekitar kita.
Tidak sedikit pula siswa – siswa yang tertangkap polisi karena sedang asik berpacaran di warnet ataupun di sudut – sudut pantai. Hal ini menunjukan adanya degradasi moral pada siswa saaat ini. Dan sudah seharusnya ada suatu tindakan untuk  membentuk mental para siswa menjadi lebih baik.
            Seperti yang sudah selama ini mencuat dalam beberapa tahun terakhir. Pendidikan karakter menjadi hal yang banyak diperbincangkan. Melalui pendidikan karakter tersebut diharapkan nantinya siswa dapat membentuk karakter – karakter yang kuat dan berjati diri pada tiap siswa.
            Adanya kurikulum baru yang kita kenal dengan kurikulum tiga belas diharapkan bisa mengubah fenomena pendidikan yang terpuruk menjadi lebih baik. Peserta didik tidak hanya mendulang ilmu pengetahuan, tetapi ditekankan pada sikap yang bertanggung jawab atas ilmu yang didapatkan dan yang paling penting tanggung jawab akan kebesaran yang menciptakan ilmu Dia adalah Dzat yang maha tinggi yaitu Allah SWT. 
             Ilustrasi berikut sebagai contoh sistem pendidikan yang  sering kita jumpai.
Di sebuah ruangan ujian, seorang guru membacakan dengan lantang tata tertib peserta ujian dan diakhiri dengan perintah kepada para peserta didik untuk menaruh tas/barang bawaan di depan kelas. Pembacaan tata tertib ternyata sudah disepakati saat rapat panitia pelaksana ujian. Apa lacur? Tak ada yang melakukannya kecuali dia seorang. Ujian tahun ini diniatkan sebagai perbaikan sistem ujian yang bermuara pada perbaikan kualitas peserta didik. Yang diincar adalah syahwat menyontek . Mahfum kita sadari bahwa nafsu menyontek dicurigai sebagai embrio korupsi, kolusi dan segala hal yang kelak akan menambah porak poranda negara ini.     
Selain peran guru, kurikulum tiga belas diharap menciptakan Atmosfer akademik yang baik, yang bertujuan untuk membentuk karakter siswa terutama berkaitan dengan nilai-nilai akademik utama yaitu sikap ilmiah dan kreatif. Atmosfer ini dibangun dari interaksi antar siswa, dari interaksi antara siswa dengan guru, interaksi dengan orang tua siswa dan juga suasana lingkungan fisik yang diciptakan. Guru memegang peran sentral dalam membangun atmosfer akademik ini dalam kegiatan pengajarannya di kelas dan berlaku untuk semua yang terlibat dalam sistem pendidikan.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membangun sikap ilmiah dan kreatif ini dalam kegiatan operasional pendidikan sehari-harinya? Untuk ini kita perlu menyadari nilai-nilai inti yang harus ditanamkan ke semua komponen yang terlibat dalam kegiatan pendidikan yang diselenggarakan. Sikap ilmiah yang dimaksud adalah sikap yang menghargai hasil-hasil intelektual baik yang berasal dari dirinya sendiri maupun orang lain, disamping kritis dalam menerima hasil-hasil intelektual tersebut. Sedangkan sikap kreatif disini mempunyai maksud sikap untuk terus-menerus mengembangkan kemampuan memecahkan soal dan mengembangkan pengetahuan secara mandiri. Untuk membangun Sikap Ilmiah perlu ditanamkan nilai kejujuran (honesty), dan nilai kekritisan (skeptics). Sedangkan untuk membangun sikap kreatif perlu ditanamkan nilai ketekunan (perseverence), dan nilai keingintahuan (curiosity).
Selanjutnya nilai-nilai inti ini perlu diterjemahkan dalam berbagai kode etik yang menjadi pedoman dalam kegiatan operasional pendidikan sehari-hari, seperti larangan keras mencontek, dorongan untuk mengemukakan pendapat dan bertanya, penghargaan atas perbedaan pendapat, penghargaan atas kerja keras, dorongan untuk memecahkan soal sendiri, keterbukaan untuk dikoreksi dan seterusnya. Aktivitas-aktivitas ini selanjutnya harus dilakukan setiap hari dan terus dipantau perkembangan oleh mereka yang diberi kewenangan penuh. 
            Diharapkan disain kurikulum 2013 nanti dilaksanakan dengan sepenuhnya. Peran guru sangat dominan. Kreativitas dan inovasi betul-betul harus dimunculkan oleh sang guru. Guru tidak sekedar mentransfer ilmu, tetapi juga menekankan nilai-nilai religius yang berhubungan dengan materi yang disampaikan. Bila hal itu terwujud dengan baik Insyaallah  pendidikan lebih berkualitas. Hingga tidak ada acara sontek-menyontek, dan negeri kita akan bebas dari segala kolusi dan korupsi. 

 "Panoptikum Tubuh Malam" Selasa, 3 Januari 2023 Jika saja aku Memakai satu kekuatan Dalam sekejap kau akan kuhapus Aku akan berte...