Analisis
Strukturalisme Genetik Terhadap
Cerpen Dodolitdodolitdodolibret Karya Seno Gumira Ajidarma
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
Batasan sastra, sampai kini, menjadi perdebatan yang tidak selesai.
Selalu menyisakan ruang dan pertanyaan yang tidak terjawab secara keseluruhan.
Padahal, berbagai interpretasi tentang sastra dari persepsi etimologi, konsep,
epistemology, dan ontology terus saja ada, tetapi tetap tidak bisa memuaskan.
Hal ini menunjukkan sastra sebagai
sesuatu yang kompleks, yang tidak bisa didefinisikan dari satu perspektif saja.
Pendefinisian dari satu perspektif akan menghilangkan perspektif lainnya,
sehingga dalam aspek pengertian saja, sampai sekarang, sastra terus hidup dan
berpolemik. Namun untuk keperluan pemahaman yang komperehensif, perlu secara
singkat dipaparkan beberapa pengertian sastra yang sudah banyak dikemukakan
oleh para ahli.
Dalam buku Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra yang
ditulis oleh Heru Kurniawan Werren dan Wellek mengatakan bahwa sastra sebagai
karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan. Imajinasi dan estetika merupakan
konsep dasar dari seni yang bersifat personal, sedangkan bahasa merupakan cirri
khas dari media penyampaiannya, yang membuat karya sastra berbeda dengan
karya-karya lainnya.
Untuk menganalisis sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan
pendekatan-pendekatan, ataupun teori-teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Salah satunya konsep dasar strukturalisme Genetik yang dikonseptualisasikan
oleh Goldmann. Strukturalisme genetic Goldmann merupakan pendekatan sastra yang
bergerak dari teks sebagai focus yang otonom menuju faktor-faktor yang bersifat
ekstrinsik di luar teks, yaitu penulis sebagai subjek kolektif suatu
masyarakat. Harus diakui, konsep Goldmann ini dipengaruhi oleh teori sosial
sastra Marx yang mengonseptualisasikan
·
Sastra
merupakan sebuah fenomena zaman
·
Sastra
adalah refleksi kehidupan pengarang pada masanya
·
Sastra
adalah produk eksternal yang dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan sosial
tertentu.
Ketiga aspek ini menunjukkan perspektif factor determinasi penulis
dan masyarakat terhadap karya yang mempengaruhi pandangan
strukturalisme-genetik Goldmann.
“Dodolitdodolitdodolibret” karya
Seno Gumira Ajidarma terpilih sebagai cerita pendek (cerpen) terbaik Kompas
2010 yang diumumkan pada penganugerahan Penghargaan Cerpen Kompas 2011 di
Bentara Budaya Jakarta, Senin (27/06/2011)
malam. ”Dodolitdodolitdodolibret” menyisihkan 17 cerpen lainnya yang
dipilih dari 52 cerpen sepanjang tahun 2010. Penulis akan mengkaji cerpen
tersebut melalui pendekatan Strukturalisme Genetik Goldmann.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa teori Strukturalisme Genetik
Goldman?
1.
Bagaimana hubungan teori Strukturalisme Genetik
Goldman dengan cerpen Dodolitdodolitdodolibret
karya Seno Gumira Ajidarma?
1.3. Tujuan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk,
·
Mengetahui teori Strukturalisme Genetik Goldman
·
Mengetahui hubungan teori Strukturalisme
Genetik Goldman dengan cerpen Dodolitdodolitdodolibret karya Seno Gumira
Ajidarma?
Bab 2
Pembahasan
2.1 Strukturalisme
Genetik Goldmann
Konsep
Dasar Strukturalisme Genetik Goldmannsikan oleh Goldmann, berpijak pada
pandangan bahwa karya sastra adalah sebuah struktur yang bersifat dinamis
karena merupakan produk sejarah dan budaya yang berlangsung secara terus
menerus (Faruk, 2010: 56). Kedinamisasian struktur sastra ini terbentuk karena
relasi genetiknya, yaitu hubungan dialektis antara penulis dengan masyarakat.
Penulis adalah individu yang menjadi anggota masyarakat. Masyarakat menjadi
tempat tumbuh dan berkembangnya visi dunia yang berdialog dengan penulis,
sehingga kondisi masyarakat berperan besar dalam membentuk visi dunia penulis.
Yang
menjadi fokus dalam pendekatan strukturalisme yang dikemukakan oleh Goldmann
adalah hubungan dialektis penulis dan masyarakat sebagai faktor
eksternal-genetis sastra. Hal ini yang menunjukkan kehadiran penulis sebagai
individu yang direpresentasikan selalu mewakili kelas dan kelompok sosialnya
dalam konteks kehidupan di masyarakat. Disinilah, kedudukan penulis dalam
kehidupan masyarakat juga bukan merupakan individu yang pasif, yang kediriannya
mutlak ditentukan oleh system yang ada di masyarakat. Dalam masyarakat, penulis
juga aktif-kreatif untuk mengaktualisasikan dirinya melalui visi dunianya
melalui karya sastra yang mempengaruhi tata system kehidupan masyarakat.
Strukturalisme genetic Goldmann merupakan pendekatan sastra yang
bergerak dari teks sebagai focus yang otonom menuju faktor-faktor yang bersifat
ekstrinsik di luar teks, yaitu penulis sebagai subjek kolektif suatu
masyarakat. Harus diakui, konsep Goldmann ini dipengaruhi oleh teori sosial
sastra Marx yang mengonseptualisasikan
o
Sastra
merupakan sebuah fenomena zaman
o
Sastra
adalah refleksi kehidupan pengarang pada masanya
o
Sastra
adalah produk eksternal yang dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan sosial
tertentu.
Ketiga aspek
ini menunjukkan perspektif faktor determinasi penulis dan masyarakat terhadap
karya yang mempengaruhi pandangan strukturalisme-genetik Goldmann.
Menurut
Goldmann, strukturalisme genetic adalah analisis yang menyatukan aspek struktur
dengan materialism historis yang dialektik, sehingga karya sastra punharus
dipahami sebagai totalitas yang bermakna. Karya sastra memiliki kepaduan total
dan unsur-unsur yang membentuk karya sastra itu berarti. Arti karya sastra
dapat dipahami dalam konteks sosial masyarakat yang melatarbelakanginya. Dan di
sinilah strukturalisme genetic berkaitan dengan sosiologi karena pemaknaan
struktur karya sastra ditempatkan dalam struktur masyarakat.
Untuk menopang
teorinya, menurut Faruk (12), Goldmann membangun seperangkat kategori yang
saling berkaitan satu sama lain sehingga membentuk strukturalisme genetik.
Kategori-kategori tersebut adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif,
strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan.
A. Fakta Kemanusiaan (Human Facts)
Prinsip dasar pertama dari strukturalisme
genetik adalah fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan adalah hasil dari perilaku
manusia yang dapat dengan jelas dipahami, atau dengan kata lain adalah segala
hasil aktivitas manusia atau perilaku manusia baik yang verbal maupun fisik,
yang berusaha dipahami ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas
sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti
filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan sastra (Faruk 12). Goldmann mengatakan
aktivitas-aktivitas tersebut sebagai upaya manusia mengubah dunia, dimana
tujuan dari aktivitas-aktivitas tersebut adalah untuk mencapai keseimbangan
yang lebih baik antara diri manusia (sebagai subjek) dan dunia. Perilaku
manusia di atas menjadi bermakna karena membuat mereka memperbaiki
keseimbangannya (equilibrium)
Dalam hubungan manusia dengan lingkungannya
(Faruk 13-14), selalu terjadi proses timbal-balik yang disebut dengan asimilasi
dan akomodasi. Di satu pihak, manusia berusaha mengasimilasi lingkungan
sekitarnya, tetapi di lain pihak usaha itu tidak selalu berhasil karena
menghadapi rintangan-rintangan yang antara lain:
- Kenyataan bahwa sektor-sektor kehidupan tertentu tidak menyandarkan dirinya pada integrasi dalam struktur yang dielaborasikan
- Kenyataan bahwa semakin lama penstrukturan dunia eksternal itu semakin sukar dan bahkan tidak mungkin dilakukan
- Kenyataan bahwa individu-individu dalam kelompok yang bertanggung jawab terhadap proses keseimbangan telah mentrnsformasikan lingkungan sosial fisiknya sehingga terjadi proses yang mengganggu keseimbangan dalam proses strukturasi itu.
Menghadapi kendala seperti itu manusia akhirnya
menyerah dan melakukan hal sebaliknya, yaitu melakukan proses akomodasi dengan
struktur lingkungan tersebut. Dalam proses strukturasi dan akomodasi yang
terus-menerus itulah karya sastra memperoleh artinya, sekaligus menjadikan
proses tersebut sebagai genesis dari struktur karya sastra (Faruk 14).
B. Subjek Kolektif
Telah dibahas sebelumnya bahwa fakta kemanusiaan
merupakan hasil dari aktivitas manusia sebagai subjeknya. Subjek dapat dibagi
menjadi dua, sesuai dengan fakta yang dihasilkannya: subjek individual yang
menghasilkan fakta individual (libidinal), dan subjek kolektif yang menghasil
fakta sosial (historis) (Faruk 14).
Strukturalisme genetika melihat subjek kolektif
sebagai sesutau yang penting karena subjek kolektif mampu menghasilkan
karya-karya kultural yang besar yang sering menjadi topik utama dalam karya
sastra, contohnya revolusi sosial, politik dan ekonomi (Faruk 14-15). Jika kita
menggunakan terminology Goldmann, maka fakta-fakta sosial tersebut dihasilkan
oleh subjek trans-individual (Goldmann 97), dimana subjek trans-individual
bukanlah individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan
suatu kesatuan, satu kolektivitas (Faruk 15).
C. Pandangan Dunia (World View)
Pandangan dunia adalah sebuah perspektif yang
koheren dan terpadu mengenai manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta.
Pandangan dunia adalah fakta historis dan sosial, yang merupakan keseluruhan
cara berfikir, perasaan dan tindakan dimana pada situasi tertentu membuat
manusia menemukan diri mereka dalam situasi ekonomi dan sosial yang sama pada
kelompok sosial tertentu . Karena merupakan fakta sosial yang berasal dari
interaksi antara subjek kolektif dengan sekitarnya, pandangan dunia tidak
muncul dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara
perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru
(Faruk 16).
D. Struktur Karya Sastra
Sebagaimana yang disampaikan di atas, karya
sastra yang besar merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif. Karena
itulah strukturalisme genetik melihat karya sastra sebagai struktur koheren
yang terpadu. Menurut Goldmann, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia
secara imajiner, dimana pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek,
dan relasi-relasi secara imajiner pula. Hal itulah juga yang menurut Goldmann
membedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi (Faruk 17).
Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan
bahwa Goldmann ternyata memfokuskan perhatiannya pada hubungan antar tokoh dan
antara tokoh dengan lingkungannya. Dalam bukunya The Sociology of
Literature: Status and Problem of Method, Goldman mengatakan bahwa hampir
seluruh karyanya penelitian dipusatkan pada elemen kesatuan, dalam rangka
menguak struktur yang koheren dan terpadu yang mengatur keseluruhan karya
sastra (Faruk 17).
Dalam kaitannya dengan konsep struktur karya sastra,
Goldmann berpendapat bahwa novel merupakan cerita tentang pencarian yang
terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga terdegradasi,
dan pencarian itu dilakukan oleh seorang pahlawan (hero) yang
problematik. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik itu adalah totalitas
yang secara tersirat muncul dalam novel. Dengan begitu, nilai-nilai tersebut
hanya dapat dilihat dari kecederungan terdegradasinya dunia dan problematiknya
sang hero. Itulah sebabnya, nilai otentik hanya berbentuk konseptual dan
abstrak , serta hanya berada dalam kesadaran penulisnya (Faruk 18).
Goldmann membagi novel dalam tiga jenis, yaitu
novel idealisme abstrak, dimana tokohnya masih ingin bersatu dengan dunia,
namun karena persepsi tokoh tersebut bersifat subjektif, idealismenya menjadi
abstrak; novel romantisme keputusasaan, dimana kesadaran tokohnya terlampau
luas dari dunia sehingga menjadi berdiri sendiri dan terpisah dari dunia; dan
yang terakhir adalah novel pendidikan, yang menampilkan pahlawan yang mempunyai
kesadaran akan kegagalannya ketika ingin bersatu dengan dunia karena memilki
interioritas (Faruk 19).
E. Dialektika Pemahaman-Penjelasan
Dalam perspektif strukturalisme genetik, karya
sastra merupakan sebuah struktur koheren yang memiliki makna. Dalam memahami
makna itu Goldmann mengembangkan metode yang bernama metode dialektik. Prinsip
dasar metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di
atas adalah pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap
abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam
keseluruhan. Untuk itu metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep yaitu
“keseluruhan-bagian” dan “pemahaman-penjelasan” (Faruk 19-20).
Dialektik memandang bahwa tidak ada titik awal
yang secara mutlak sahih dan tak ada persoalan yang secara mutlak pasti
terpecahkan. Setiap gagasan individual akan berarti jika ditempatkan dalam
keseluruhan, demikian juga keseluruhan hanya dapat dipahami dengan menggunakan
fakta-fakta parsial yang terus bertambah. Dengan kata lain, keseluruhan tidak
dapat dipahami tanpa bagian, dan bagian tidak dapat dimengerti tanpa
keseluruhan (Faruk 20).
Sebagai sebuah struktur, karya sastra terdiri
dari bagian-bagian yang lebih kecil, yang mana dengan mengidentifikasinya akan
membantu kita memahami apa sebenarnya karya tersebut. Namun teks sastra itu
sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar yang membuatnya
menjadi struktur yang berarti. Dalam memahaminya harus juga desertai usaha
menjelaskanya dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar. Inilah
sebenarnya konsep dialektika “pemahaman-penjelasan”, dimana pemahaman adalah
usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk
mengerti makna itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.
2.2 Cerpen
Dodolitdodolitdodolibret karya Seno Gumira Ajidarma
Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu
tentunya hanya dongeng.
“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.
Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.
“Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, “karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”
Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.
Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.
“Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, “untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”
Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.
Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.
Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.
Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.
“Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.
Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
“Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, “dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.
Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.
“Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.
“Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.
Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar.
“Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, “karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”
Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan benar, akan mampu berjalan di atas air.
Kiplik memang bisa membayangkan, bagaimana kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar, akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan duniawi, dan salah satu perwujudannya adalah bisa berjalan di atas air.
Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya, pembayangan yang bagaimanapun, betapapun masuk akalnya, tidaklah harus berarti akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri.
“Dongeng itu hanyalah perlambang,” pikirnya, “untuk menegaskan kebebasan jiwa yang akan didapatkan siapa pun yang berdoa dengan benar.”
Justru karena itu, semenjak Kiplik memperdalam ilmu berdoa, kepada siapa pun yang ditemuinya, ia selalu menekankan pentingnya berdoa dengan benar. Adapun yang dimaksudnya berdoa dengan benar bukanlah sekadar kata-katanya tidak keliru, gerakannya tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih benar.
Kebahagiaan yang telah didapatkannya membuat Kiplik merasa mendapatkan suatu kekayaan tak ternilai, dan karena itulah kemudian ia pun selalu ingin membaginya. Setiap kali ia berhasil membagikan kekayaan itu, kebahagiaannya bertambah, sehingga semakin seringlah Kiplik menemui banyak orang dan mengajarinya cara berdoa yang benar.
Ternyata tidak sedikit pula orang percaya dan merasakan kebenaran pendapat Kiplik, bahwa dengan berdoa secara benar, bukan hanya karena cara-caranya, tetapi juga karena tahap kejiwaan yang dapat dicapai dengan itu, siapa pun akan mendapatkan ketenangan dan kemantapan yang lebih memungkinkan untuk mencapai kebahagiaan.
Demikianlah akhirnya Kiplik pun dikenal sebagai Guru Kiplik. Mereka yang telah mengalami bagaimana kebahagiaan itu dapat dicapai dengan berdoa secara benar, merasa sangat berterima kasih dan banyak di antaranya ingin mengikuti ke mana pun Kiplik pergi.
“Izinkan kami mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.
Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
“Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, “dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
Guru Kiplik bukan semacam manusia yang menganggap dirinya seorang nabi, yang begitu yakin bisa membawa pengikutnya masuk surga. Ia hanya seperti seseorang yang ingin membagikan kekayaan batinnya, dan akan merasa bahagia jika orang lain menjadi berbahagia karenanya.
Demikianlah Guru Kiplik semakin percaya, bahwa berdoa dengan cara yang benar adalah jalan mencapai kebahagiaan. Dari satu tempat ke tempat lain Guru Kiplik pun mengembara untuk menyampaikan pendapatnya tersebut sambil mengajarkan cara berdoa yang benar. Dari kampung ke kampung, dari kota ke kota, dari lembah ke gunung, dari sungai ke laut, sampai ke negeri-negeri yang jauh, dan di setiap tempat setiap orang bersyukur betapa Guru Kiplik pernah lewat dan memperkenalkan cara berdoa yang benar.
Sementara itu, kadang-kadang Guru Kiplik terpikir juga akan gagasan itu, bahwa mereka yang berdoa dengan benar akan bisa berjalan di atas air.
“Ah, itu hanya takhayul,” katanya kepada diri sendiri mengusir gagasan itu.
Suatu ketika dalam perjalanannya tibalah Guru
Kiplik di tepi sebuah danau. Begitu luasnya danau itu sehingga di tengahnya
terdapatlah sebuah pulau. Ia telah mendengar bahwa di pulau tersebut terdapat
orang-orang yang belum pernah meninggalkan pulau itu sama sekali. Guru Kiplik
membayangkan, orang-orang itu tentunya kemungkinan besar belum mengetahui cara
berdoa yang benar, karena tentunya siapa yang mengajarkannya?
Danau itu memang begitu luas, sangat luas,
bagaikan tiada lagi yang bisa lebih luas, seperti lautan saja layaknya,
sehingga Guru Kiplik pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Danau seluas lautan,” pikirnya, “apalagi yang masih bisa kukatakan?”
Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.
“Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.
Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
“Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, “mereka berdoa dengan cara yang salah.”
Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.
Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!
“Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.
Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.
“Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.
Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.
“Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.
“Danau seluas lautan,” pikirnya, “apalagi yang masih bisa kukatakan?”
Maka disewanya sebuah perahu layar bersama awaknya agar bisa mencapai pulau itu, yang konon terletak tepat di tengah danau, benar-benar tepat di tengah, sehingga jika pelayaran itu salah memperkirakan arah, pulau itu tidak akan bisa ditemukan, karena kedudukannya hanyalah bagaikan noktah di danau seluas lautan.
Tiadalah usah diceritakan betapa lama dan susah payah perjalanan yang ditempuh Guru Kiplik. Namun, akhirnya ia pun sampai juga ke pulau tersebut. Ternyatalah bahwa pulau sebesar noktah itu subur makmur begitu rupa, sehingga penghuninya tiada perlu berlayar ke mana pun jua agar dapat hidup. Bahkan, para penghuninya itu juga tidak ingin pergi ke mana pun meski sekadar hanya untuk melihat dunia. Tidak terdapat satu perahu pun di pulau itu.
“Jangan-jangan mereka pun mengira, bahwa dunia hanyalah sebatas pulau sebesar noktah di tengah danau seluas lautan ini,” pikir Guru Kiplik.
Namun, alangkah terharunya Guru Kiplik setelah diketahuinya bahwa meskipun terpencil dan terasing, sembilan orang penduduk pulau sebesar noktah itu di samping bekerja juga tidak putus-putusnya berdoa!
“Tetapi sayang,” pikir Guru Kiplik, “mereka berdoa dengan cara yang salah.”
Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih sayang tiada terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.
Dengan segala kesalahan gerak maupun ucapan dalam cara berdoa yang salah tersebut, demikian pendapat Guru Kiplik, mereka justru seperti berdoa untuk memohon kutukan bagi diri mereka sendiri!
“Kasihan sekali jika mereka menjadi terkutuk karena cara berdoa yang salah,” pikir Guru Kiplik.
Sebenarnya cara berdoa yang diajarkan Guru Kiplik sederhana sekali, bahkan sebetulnya setiap kali mereka pun berhasil menirunya, tetapi ketika kemudian mereka berdoa tanpa tuntunan Guru Kiplik, selalu saja langsung salah lagi.
“Jangan-jangan setan sendirilah yang selalu menyesatkan mereka dengan cara berdoa yang salah itu,” pikir Guru Kiplik, lagi.
Guru Kiplik hampir-hampir saja merasa putus asa. Namun, setelah melalui masa kesabaran yang luar biasa, akhirnya sembilan orang itu berhasil juga berdoa dengan cara yang benar.
Saat itulah Guru Kiplik merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanannya. Di atas perahu layarnya Guru Kiplik merasa bersyukur telah berhasil mengajarkan cara berdoa yang benar.
“Syukurlah mereka terhindar dari kutukan yang tidak dengan sengaja mereka undang,” katanya kepada para awak perahu.
Pada saat waktu untuk berdoa tiba, Guru Kiplik
pun berdoa di atas perahu dengan cara yang benar.
Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.
“Guru! Lihat!”
Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!
Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?
Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.
“Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”
Baru saja selesai berdoa, salah satu dari awak perahunya berteriak.
“Guru! Lihat!”
Guru Kiplik pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Alangkah terkejutnya Guru Kiplik melihat sembilan orang penghuni pulau tampak datang berlari-lari di atas air!
Guru Kiplik terpana, matanya terkejap-kejap dan mulutnya menganga. Mungkinkah sembilan penghuni pulau terpencil, yang baru saja diajarinya cara berdoa yang benar itu, telah begitu benar doanya, begitu benar dan sangat benar bagaikan tiada lagi yang bisa lebih benar, sehingga mampu bukan hanya berjalan, tetapi bahkan berlari-lari di atas air?
Sembilan orang penghuni pulau terpencil itu berlari cepat sekali di atas air, mendekati perahu sambil berteriak-teriak.
“Guru! Guru! Tolonglah kembali Guru! Kami lupa lagi bagaimana cara berdoa yang benar!”
Ubud,
Oktober 2009
Dengan membaca cermat cerpen ini dapat
dirumuskan postulasi visi dunia cerpen ini adalah mengenai pluralitas dalam
konteks keagamaan, yaitu sikap untuk menghormati keberbedaan individu, kelompok
sosial, cultural, maupun agama lain. Erutama cara berdoa yang benar. Setiap
individu yang beragama selalu memiliki cara yang berbeda dalam berdoa sebagai
bentuk keyakina diri. Adapun doa sebagai cara untuk beribadah, meminta, dan
membebaskan diri dari segala materi kedirian, semua keyakinan pasti sama. Tatacara
dan perwujudan doa setiap keyakinan pasti berbeda. Pandangan dunia tentang
pluralitas ini menjadi struktur yang memediasikan struktur karya sastra dengan struktur pada masyarakat. Untuk itu,
untuk memahami konsepsi pandangan dunia ini, berikut akan diuraikan analisis strukturnya.
2.2.1 Pandangan Dunia Pluralitas: Analisis
Struktur Cerpen
Kalimat pembuka: Kiplik sungguh mengerti,
betapapun semua itu tentunya hanya dongeng, menyiratkan sebuah pesan akan
adanya dunia dongeng atau dunia mistis yang tidak empiris, yaitu keyakinan
bahwa orang bisa berdoa dengan cara benar, maka ia bisa berjalan di atas air.
Sebagai individu yang yakin tentang pentingnya berdoa dengan cara yang benar,
Guru Kiplik meyakini kenyataan mistis ini, tetapi pengalaman empirisnya sendiri
menyatakan, sekalipun ia sudah berdoa dengan cara yang benar, tetapi ia tidak
bisa berjalan di atas air. Kenyataan empirisnya ini kemuadian yang mengalahkan
kenyataan mistis. Guru Kiplik pun mencoba untuk tidak percaya terhadap
kenyataan mistis ini.
Adapun dongeng yang didengarnya menyampaikan
pesan, betapa siapa pun orangnya yang berdoa dengan cara yang benar, akan mampu
berjalan di atas air.
Kiplik memang bisa membayangkan, bagaiman a
kebesaran jiwa yang dicapai seseorang setelah mampu membaca doa secara benar,
akan membebaskan tubuh seseorang dari keterikatan
Namun, ia juga sangat sadar sesadar-sadarnya,
pembayangan yang bagaimanapun, betapapun, masuk akalnya, tidaklah harus berarti
akan terwujudkan sebagai kenyataan, dalam pengertian dapat disaksikan dengan
mata kepala sendiri.
Di sinilah posisi relasi antara tokoh utama
dengan dirinya sendiri mengalami persoalan. Di satu sisi, Guru kilplik ingin
meyakini kenyataan mistis bahwa orang yang bisa berdoa dengan benar, maka akan
bisa berjalan di atas air. Akan tetapi, kenyataan empiris pada dirinya dan di
luar dirinya. Guru Kiplik belum bisa dan mendapatkan orang yang bisa berjalan
di atas air. Hal ini menjadikan problematika pada relasi pengetahuan dengan
kenyataan empiris. Pengetahuan sebagai sebagai pemeluk yang teguh, di mana
agama juga merupakan keyakinan pada mistis, menyatakan kebenaran berdoa yang
bisa membuat orang bisa berjalan di atas air. Akan tetapi, empirisme yang ada
dalam pengetahuan dirinya tidak mendapatkan kenyataan itu. Mistisisme dan
empirisme menjadi problematika dalam dirinya.
Dengan kenyataan ini, Guru Kiplik kemudian
mengambil sikap bahwa mistik “kebenaran berdoa yang bisa membuat orang bisa
berjalan di atas air” dipersepsi dan dimaknai dengan cara yang tekstual dan
badaniah. Mistis itu hanya dianggap sebagai dongeng yang berlambang, yang
maknanya dipersepsi berdasarkan pengetahuan empirisme. Hal inilah yang
menjadikan keyakinannya, sebagai guru yang mendalami persoalan doa, bahwa doa
yang benar pun dirumuskan secara mekanistik, badani, dan tektual. Bahwa doa
yang benar adalah bukanlah sekedar kata-katanya tidak keliru, gerakannya harus
tepat, dan waktunya terukur, selain tentu saja perhatiannya terpusat, melainkan
juga dengan kepercayaan yang mendalam dan tak tergoyahkan betapa sedang
melakukan sesuatu yang benar, sangat benar, bagaikan tiada lagi yang akan lebih
benar.
Persepsi ini menjadikan doa sebagai bentuk
keyakinan mistis adalah sesuatu yang mekanik. Harus dipelajari dengan cara yang
benar dan tepat. Karena keyakinan ini, maka Guru Kiplik pun mengajari cara
berdoa yang benar ke semua orang dengan cara-cara
yang diyakininya. Guru Kiplik mengambil sikap ini karena keyakinannya bahwa
tidak dikabulkannya sebuah doa dikarenakan cara berdoanya tidak benar. Guru
Kiplik berdakwa dengan keyakinannya tentang cara berdoa yang benar.
Dengan kebesaran jiwa dan niatnya yang ikhlas,
Guru Kiplik terus menyadarkan dan mengajari cara berdoa yang benar. Karena
kebesaran jiwanya ini, Guru Kiplik pun bisa diterima oleh orang-orang yang
diajarinya. Bahkan, orang-orang itu, setelah merasakan kemanfaatan doa dari
aspek badaniyah, yaitu berdoa untuk mendapatkan kebahagiaan, meminta untuk
diangkat menjadi murid dan bisa menemani perjalanan Guru Kiplik dalam
mengajarkan cara berdoa yang benar. Akan tetapi, dengan kerendahan hati Guru
Kiplik menolak.
…
“Izinkan kami
mengikutimu Guru, izinkanlah kami mengabdi kepadamu, agar kami dapat semakin
mendalami dan menghayati bagaimana caranya berdoa secara benar,” kata mereka.
Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
“Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, “dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
...
Namun, Guru Kiplik selalu menolaknya.
“Tidak ada lagi yang bisa daku ajarkan, selain mencapai kebahagiaan,” katanya, “dan apalah yang bisa lebih tinggi dan lebih dalam lagi selain dari mencapai kebahagiaan?”
...
Penolakan Guru Kiplik ini karena kesadaran dirinya sebagai manusia
biasa, bukan nabi yang membawa umatnya masuk surge. Inilah bukti kerendahan hati Guru Kiplik.
Karena kerendahan hatinya ini relasi Guru Kiplik dengan tokoh lain dan dunia di
luarnya dijalin dengan baik. Sikap Guru Kiplik ini didasari pada keyakinan
bahwa hidup itu harus berbagi. Semakin banyak membagi, yaitu dengan mengajari
orang-orang berdoa dengan benar, sehingga banyak orang bahagia karena cara
berdoanya benar, maka Guru Kiplik pun bahagia. Niat membagi kebahagiaan sebagai
cara untuk mendapatkan kebahagiaan
inilah yang membuat Guru kiplik terus berdakwa dengan baik tentang cara berdoa
yang benar.
Dengan berdasarkan pada penjelasan di atas, hubungan relasi tokoh
dengan dunia, objek, dan benda-benda bahkan dirinya sendiri menjelaskan bahwa pertama, sebagai pribadi yang rendah
hati, Guru Kiplik memiliki relasi yang baik dengan dunia eksternalnya. Kedua
akan tetapi berkaitan dengan pengetahuan
dan keyakinannya, Guru Kiplik mendapatkan kenyataan bahwa relasi diri dengan
dunia internalnya, yaitu pengetahuan dan keyakinannya, Guru Kiplik memiliki
persoalan, tidak bertemunya keyakinan mistis bahwa berdoa bisa membuat orang
berjalan di atas air dengan pengetahuan empirisnya yang dia sendiri, sekalipun
tahu cara berdoa yang benar, tetap saja belum bisa berjalan di atas air. Dalam
relasinya dengan orang-orang yang diajari cara berdoa yang benar, Guru Kiplik
tidak menemukan jawaban atas problematika kediriannya itu.
Sampailah Guru Kiplik kemudian di sebuah pulau terpencil yang
seluruh penduduknya berdoa dengan cara yang salah di mata Guru Kiplik. Karena
kenyatan ini, Guru Kiplik merasa prihatin dan bersegera mengajarkan pada
Sembilan orang tokoh tentang cara berdoa yang benar. Dengan kesabaran,
kesungguhan, dan kerendahan hatinya akhirnya Guru Kiplik pun bisa mengajarkan
cara berdoa yang benar.
…
Maka dengan penuh pengabdian dan perasaan kasih saying tiada
terkira, Guru Kiplik pun mengajarkan kepada mereka cara berdoa yang benar.
Setelah beberapa saat lamanya, Guru Kiplik menyadari betapa
susahnya mengubah cara berdoa mereka yang salah itu.
…
Setelah selesai mengajari cara berdoa yang benar, maka Guru Kiplik
pun pergi berlayar untuk melanjutkan dakwanya. Akan tetapi, saat berlayar,
tiba-tiba Sembilan orang berjalan di atas air memanggil-manggil Guru Kiplik untuk
kembali ke pulau dan mengajarinya cara berdoa yang benar. Melihat kenyataan
orang berjalan di atas air, Guru Kiplik tersadarkan bahwa keyakinan mistiknya
yang selama ini ditiadakan ternyata benar. Orang yang berdoa dengan cara yang
benar bisa berjalan di atas air. Akan tetapi kebenaran doa itu bukan darinya.
Di sinilah relasi problematic yang dialami Guru Kiplik tentang
konsepsi cara berdoa yang benar itu mekanik
dan tekstual salah. Justru orang-orang pulau itu, yang dianggap salah
berdoanya, ternyata malah yang benar, bisa membuat orang-orang itu berjalan di
atas air. Dengan akhir cerita ini tergambarkan bahwa agama adalah keyakinan
mistis yang plural. Berdoa sebagai konseptualisasi agama bukanlah kebenaran
absolute dan mutlak dari golongan tertentu. Keyakinan sebagaimana kedirian
manusia itu bersifat plural. Setiap manusia berbeda dalam mempersepsi doa dan
agama berdasarkan keyakinannya sendiri. Bahkan, Guru Kiplik hero problematic
yang baik, rendah hati, dan altruis pun punya kekurangan dalam konsepsinya
tentang car berdoa yang benar.
Hal inilah yang menunjukkan konsepsi pandangan dunia pluralitas
dalam berkeyakinan dan beragama melalui jalan berdoa. Agama sebagai keyakinan
adalah plural yang konsepsi kebenarannya, misalnya cara berdoa, tidak bisa
disamakan. Kebenaran berkaitan dengan cara dan jalan itu berbeda-beda,
sekalipun substansinya sama sebagai bentuk ibadah. Mengutamakan cara yang
mekanik sebagai ukuran baik dan benar sebuah ajaran adalah kesalahan besar.
Inilah yang dialami Guru Kiplik. Apalagi
sampai melakukan tindakan-tindakan anarkhis demi penyeragaman cara dan jalan
berkeyakinan.
2.2.2 Pandangan Dunia
Pluralis sebagai Mediasi Struktur Cerpen dengan Struktur Masyarakat
Konsepsi pandangan dunia pluralitas berkeyakinan agama ini tidak
lahir dari dunia kosong. Seperti yang dikatakan Teeuw (1981) bahwa karya sastra
tidak lahir dari kekosongan budaya, sehingga pasti ada konteks sosial dan
budaya yang melatari lahirnya sebuah konsepsi pandangan dunia. Konteks sosial
ini yang kemudian menstrukturasi struktur karya sastra dalam mediasi pandangan
dunia. Dengan melihat hero problematik cerpen ini yang berupa guru agamayang
bernama Kiplik dan persoalan cerita yang berupa doa dan agama, maka persoalan
sosial yang dikontekstualisasikan adalah persoalan keagamaan masyarakat kita
yang punya kecenderungan problematik. Problematik yang sering terjadi, bahkan
menjadi konflik sosial –horisontal, adalah munculnya semangat “penyeragaman”
cara dan jalan dalam spirit keagamaan.
Cara penyeragaman ini yang kemudian memunculkan persoalan yang
berupa konflik sosial. Aliran-aliran keagamaan yang punya kecenderungan
penyeragaman ini adalah mereka yang menganggap bahwa agama adalah persoalan
tatacara, jalan, tekstual, dan badani yang penilaiannya diukur secara empiris,
seperti yang dipersepsi oleh Guru Kiplikdengan konsepsi cara berdoa yang benar.
Kenyataan ini menimbulkan konflik horisontalkarena agama sebagai keyakinan.
Oleh karena itu klaim kebenaran agama selalu melekat pada otoritas keagamaan,
tidak pada makna substansinya. Oleh karena itu, agama pertama-tama adalah soal
keyakinan, sehingga makna kebenarannyamau tidak mau kembali pada pengalaman
subjektif yang membentuk keyakinan orang atau masyarakat.
Konntelasi keberagaman masyarakat kita yang rentan konflik beragama
ini terjadi karena adanya pemaksaan dan klaim kebenaran keagamaan. Klaim
kebenaran dan penyeragaman iniyang membuat keyakinan tidak dipersepsi sebagai
hal yang plural. Kekerasan muncul, dan banyak sekali terjadi di masyarakat
kita, saat klaim kebenaran dan penyeragaman keagamaan ini dilakukan dengan
cara-cara yang anarkhis. Fenomena tampak menggejala dalam kehidupan beragama di
masyarakat. Karena struktur keberagaman yang demikian ini, maka pandangan dunia
pluralitas ini memediasi relasi struktur karya sastra dengan struktur
masyarakat.
Dalam hal ini, cerpen ini memberikan sebuah pandangan dunia
pluralitas yang tidak bisa dinafikan dalam kehidupan umat beragama. Guru Kiplik
yang baik dan paham dengan agama pun dipaksa oleh dunia bahwa orang-orang yang
dianggap salah dalam berdoa ternyata lebih benar secara mistis, bisa berjalan
di atas air. Kebenaran tentang doa yang diagungkanpun ternyata salah. Kenyataan
ini menyadarkan bahwa kebenaran dalam berdoa dan agama bersifat plural. Tidak
bisa dikonsepkan secara tekstual dan mekanik karena hakikat agama adalah
spiritual dan mistis. Kebenaran konsepsional belum tentu mutlak benar. Yang
kemudian tidak bisa dihindari adalah pemahaman keagamaan itu plural, dank arena
pluralitas inilah sikap hormat-menghormati dan menjunjung tinggi semangat untuk
menerima keberbedaan adalah syarat mutlak untuk harmonisasi kehidupan umat
beragama.
Bab 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
Dari analisa tersebut terlihat bahwa cerpen ini menawarkan sebuah
pandangan dunia yang bisa mengatasi persoalan keagamaan masyarakat kita melalui
semangat pluralitas. Seno Gumira Ajidarma sebagai penulis cerpen ini sebagai
subjek kolektif telah menyerap struktur persoalan keagamaan yang dihadapi oleh
masyarakat Indonesia. Struktur masyarakat ini yang kemudian menstrukturasikan
Seno Gumira Ajidarma dalam representasi pandangan dunia yang pluralitas. Dengan
demikian, pandangan dunia pluralitas Seno Gumira Ajidarmadalam cerpen ini
adalah pandangan dunia penulis yang distrukturasi oleh struktur kehidupan umat
beragama di Indonesia, yang dihayati oleh Seno Gumira Ajidarma sebagai suatu
kehidupan yang problematik. Berbagai konflik dan persoalan soaial karena
keagamaan ini kemudian distrukturasiulang oleh Seno Gumira Ajidarma dalam
bentuk cerpen. Dalam cerpen inilah kemudian Seno Gumira Ajidarma mengkonsepsikanpandangan
dunia pluralitas sebagai usaha untuk membangunstruktur kehidupan umat beragama
yang lebih baik lagi.