Rabu, 14 September 2016

Doa


Wahai pemilik dunia
Ajarkan kami untuk menundukkan dunia
Bukan kami yang tunduk pada dunia
Bila kilauan dunia menyilaukan pandangan kami
Bila taburan permata dunia mendebarkan hati kami
Ingatkan kami, ya Allah
Ingatkan bahwa keridaanMu dan kasih sayangMu
Lebih besar dari sekedar dunia
Yang pasti akan kami tinggalkan

Pupus ini Rindu



Biar angin ini saja yang tahu
Lama terlalu lama kabar itu tiada
Dalam berkah ini
antarkan ini rindu....pupuslah...
Biar malam ini saja sebagai saksi
Ini rindu gayung bersambut
Rindu itu beda
Rindu itu temaram
Rindu itu kian membiru
Tapi rindu itu hanya sekedar rindu
Temaram itu hanya membias
Membirunya rindu tak seluas rindu yang sesungguhnya

Dari Bahasa Jujur Terbitlah Bangsa yang Mujur


Oleh, Alfi Faridian, M.Pd.
Jujur. Satu kata yang sederhana namun begitu banyak energi yang kita perlukan untuk melakukannya. Kenapa demikian? Karena mungkin kita dengan sengaja atau tidak, merasa begitu susah untuk bersikap jujur. Kita tahu bahwa kejujuran itu bisa melukai atau menyelamatkan diri sendiri dan orang lain. Demikian pula pemakaian bahasa dengan jujur. Salah satu pendidikan karakter yang ditanamkan pada siswa adalah berbahasa dengan jujur . Hal ini dikarenakan berkomunikasi adalah bagian dasar dari sebuah kegiatan dalam kehidupan berbangsa. Untuk mencapai Bangsa yang mujur berawal dari berbahasa dengan jujur.
Pendahuluan
 Jujur merupakan bagian dari integritas kita sebagai manusia. Karena jujur terpaut dengan kebohongan. Keduanya tidak dapat dipisahkan walau tidak dapat disejajarkan, dalam arti lain orang jujur, pasti tidak bohong dan orang bohong, juga pasti tidak jujur. Kejujuran itu juga terkait dengan aturan. Aturan dibuat juga untuk penyelarasan. Bila dunia tanpa aturan, berarti dunia pun tidak selaras. Matahari itu selalu terbit dari timur dan terbenam di sebelah barat. Itulah aturan Tuhan untuk matahari. Kita, manusia lahir, hidup, dan kemudian mati. Tidak ada manusia yang kekal dan tak akan mati. Karena tahapan-tahapan itulah, aturan- aturan itu dibuat dalam sebuah kehidupan manusia yang berbangsa. Demikian pula dalam berbahasa, baik tuturan lisan maupun bentuk tulisan, kejujuran juga sangat berperan. Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.
Untuk lebih kongkretnya bahasan artikel  ini, kita perhatikan ilustrasi berikut ,
Ilustrasi

             Seseorang yang senantiasa membuat lawan bicara tersinggung dan sakit hati ketika berkomunikasi disebabkan  sulitnya kita membedakan kalimat yang seharusnya digunakan untuk bergurau atau untuk mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya sangat serius. Ironisnya justru ia tidak merasa kalau telah melakukan kesalahan besar dengan menyakiti hati lawan bicara. Jika dilakukan penelitian tentang opini publik, maka ia akan mendapat penilaian yang sangat jelek atau sama sekali tidak mendapatkan nilai.

Berdasarkan ilustrasi tersebut penulis terinspirasi bahwa pentingnya menggunakan bahasa yang jujur agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi, baik tingkat masyarakat kecil (siswa di sekolah) ataupun kehidupan berbangsa. Apabila seluruh warga di sebuah bangsa bertutur dengan bahasa yang jujur maka terciptalah sebuah bangsa yang berkualitas.


1. Kejujuran dalam Berbahasa
Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang kabur dan tidak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit, adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Pembicara atau penulis tidak menyampaikan isi pikirannya secara terus terang,  seolah-olah ia menyembunyikan pikirannya di balik rangkaian kata-kata yang kabur dan kalimat yang berbelit-belit tak menentu. Ia mengelabui pendengar atau pembaca dengan menggunakan kata-kata yang kabur dan “hebat” hanya agar bisa tampak lebih intelek.
Di pihak lain, pemakaian bahasa yang berbelit-belit menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yang dikatakannya. Ia mencoba menyembunyikan kekurangannya di balik tubian kata-kata hampa.Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Oleh karena itu bahasa harus digunakan secara tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran.
2. Sendi Gaya Bahasa adalah Sopan-Santun
Yang dimaksud dengan sopan-santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak bicara. Rasa hormat di sini tidak berarti memberikan penghormatan melalui kata-kata, atau mempergunakan kata-kata yang manis, atau berbasa-basi. Bukan itu! Rasa hormat dalam gaya bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan keefektifan. Mengatakan atau menulis sesuatu  secara jelas tidak membuat pembaca memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis. Kejelasan sering jauh lebih efektif daripada jalinan kalimat yang berliku-liku. Kejelasan dapat dicapai melalui usaha untuk menggunakan kata-kata secara efisien, menghindari pengulangan kata berlebihan yang tidak diperlukan.
3. Bahasa yang Baik dan Benar: Menarik, Baku Tidak Berarti Harus Kaku.
Kejujuran, kejelasan, dan keefektifan merupakan langkah dasar dan langkah awal dalam berkomunikasi. Namun bila gaya bahasa hanya mengandalkan ketiga hal tersebut, maka bahasa yang digunakan masih terasa tawar, tidak menarik. Karena itu, dalam berkomunikasi harus pula menarik. Menulis dalam gaya bahasa yang menarik dapat diukur melalui beberapa komponen, diantaranya, variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup atau vitalitas, penuh daya khayal atau imajinasi. Untuk itu, pengguna bahasa yang baik harus memiliki kekayaan dalam kosa kata, kemauan mengubah panjang-pendeknya kalimat, dan struktur-struktur morfologi
Bahasa menunjukkan Bangsa
      Jika sebuah bahasa menandai suatu bangsa dan adanya bahasa karena bangsa itu memakainya,  antara bangsa dan bahasa itu terdapat hubungan yang saling menentukan.  Pernyataan itu cocok untuk, misalnya, bangsa Cina dengan bahasa Cina, bangsa Jepang dengan bahasa Jepang, bangsa Inggris dengan bahasa Inggris, bangsa Prancis dengan bahasa Prancis, atau bangsa Jerman dengan bahasa Jerman.
 Menurut antropologi, pengertian bangsa adalah pengelompokan manusia yang keterikatannya dikarenakan adanya kesamaan fisik, bahasa, dan keyakinan. Jika ditinjau secara politis, bangsa adalah pengelompokan manusia yang keterikatannya dikarenakan adanya kesamaan nasib dan tujuan. Di samping itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa bangsa adalah orang-orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikemukakan bahwa bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa serta wilayah tertentu di muka bumi.
Dari uraian di atas dapat dipetik intisari bahwa bahasa erat hubungannya dengan bangsa. Penggunanan bahasa yang jujur  menentukan bangsa yang berkualitas. Demikian pula yang terdapat pada pantun berikut,
Yang kurik kendi,
            Yang merah saga;
Yang baik budi,
            Yang indah bahasa.
Dilihat dari makna pantun tersebut adalah orang yang baik perangainya bisa dilihat dari tutur kata yang digunakan . Oleh karena itu kebiasaan berkomunikasi atau berbahasa dengan jujur harus ditanamkan dalam diri siswa. Apabila siswa sudah terbiasa berbahasa dengan baik dan jujur maka implementasinya pada kegiatan-kegiatan yang lain akan baik dan jujur pula. Hingga tercapailah pendidikan karakter untuk bersikap jujur dalam perilaku apapun.

Rasulullah SAW berkata singkat kepada salah satu sahabat, “Jangan berbohong” (HR Muslim). Kalimat singkat, tetapi bernas ini mengandung nilai edukasi yang tinggi, yaitu pendidikan kejujuran. Mendidik manusia supaya berperilaku jujur merupakan esensi pendidikan, sedangkan esensi pendidikan kejujuran adalah keteladanan yang baik dan benar.

Orang yang jujur, secara psikologis hatinya akan selalu merasa tenteram, damai, dan bahagia. Sebaliknya, orang yang biasa berdusta, hidupnya menjadi tidak tenang, dikejar-kejar oleh “pemberontakan” hati kecilnya yang selalu menyuarakan kebenaran. Dia selalu merasa khawatir kebohongannya itu terbongkar. Pendidikan kejujuran harus dimulai dengan jujur kepada diri sendiri dengan senantiasa meminta “fatwa kebenaran” yang bersumber dari hati nurani. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga.
 Pendidikan kejujuran dapat terwujud manakala kita selalu belajar menjalani kehidupan ini dengan lima hal, yaitu iman, ikhlas, ihsan, ilmu, dan istiqamah. Dengan iman, kita yakin Allah pasti mengawasi dan mencatat seluruh amal perbuatan kita. Dengan ikhlas, kita belajar untuk melakukan sesuatu dengan mengharapkan ridla Allah. Dengan ihsan, kita akan berbuat yang terbaik untuk orang lain. Dengan ilmu, kita tahu perbuatan halal dan haram. Dan, dengan istiqamah, kita belajar mengawal kebaikan dan kebenaran yang sudah dibiasakannya menjadi lebih baik dan lebih diridai Allah SWT.


Pada akhirnya kita sampai pada sebuah simpulan bahwa berbahasa dengan jujur langkah awal memulai hidup penuh kejujuran. Hidup jujur  akan membersihkan hal-hal yang merusak bangsa. Pendidikan  yang jujur melahirkan generasi yang jujur. Generasi yang jujur ,tercipta masyarakat makmur. Tak salah ada ungkapan dengan bahasa jujur, negara mujur.

Satu Makna Satu Jiwa


Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Lama kurenungkan peribahasa itu hingga aku menyadari bahwa alangkah hebatnya orang yang menciptakan kalimat itu. Lebih hebat lagi peribahasa tersebut ada dalam kehidupanku. Moyangku seorang guru, pak de-ku guru, di antara sepupuku juga ada yang berprofesi guru, ibuku juga guru, dari lima bersaudara aku guru.
Tak terbayang bila ku besar nanti aku dipanggil “bu guru”. Tak sebersit pun aku bercita-cita sebagai seorang guru. Aku ingin membangun gedung-gedung yang tinggi, aku juga ingin menjadi ahli gizi. Terkadang aku hanya bergumam “aku ingin terbang ke angkasa luas, arungi samudra, indahnya.
Sepintas ada gambaran masa lalu di pelupuk mata, waktu itu aku masih duduk di bangku SD,  Bisa dikatakan masa kecil yang kurang bahagia telah kualami. Tak seperti sebayaku, segala sesuatu harus kukerjakan sendiri. Jarang sekali di meja makan terhidang sarapan pagi walau lauk tempe goreng. Untuk menggantinya, ibuku sering membelikan jajanan sebagai pengganjal perut. Sepulang sekolah aku harus menunggui adik-adikku, Jangankan bermain bersama teman, untuk mengerjakan tugas sekolah aku harus menunggu datangnya ibu dari kerja. Rutinitas pekerjaan rumah harus kuselesaikan, kalau tidak pasti beliau marah.
Kini aku bisa membayangkan, bagaimana sibuknya ibuku. Di pagi hari beliau mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Belum lagi empat adikku yang masih kecil-kecil, yang masih membutuhkan orang lain untuk membantu persiapan dirinya sendiri. Mulai dari mandi sampai berdandan rapi. Bila tak ada beliau apalah jadinya kami, tak terelakkan dari sebuah nama beliau “Nur Dun Yatim” seorang yatim yang menyinari dunia. Dunia bagi kami anak-anaknya. Selain menjadi ibu yang baik bagi keluarga, beliau juga ibu dari anak-anak bangsa. Melalui ilmu agama Islam beliau mengamalkan ilmu, dan dengan sekuat tenaga beliau memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
 Satu hal yang kurasa, aku ingin seperti mereka, teman-teman kecilku.  Setelah pulang sekolah, ibu mereka selalu menyambut dengan hidangan makan siang di meja makan. Setelah makan dilanjutkan istirahat dan tidur siang.  Ibuku hanya bisa menyediakan kebutuhan kami, dan menemani aku dan adik-adikku di hari menjelang malam. Itulah alasan mengapa aku tak bercita-cita sebagai guru. Dengan berbagai kesibukannya semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ayah hanya pedagang kecil di pasar tradisional. Tak cukup untuk biaya kami yang lima bersaudara. Aku sadar bahwa yang beliau lakukan adalah perjuangan hidup untuk anak-anaknya.
 Sebagai anak sulung aku dipaksa bisa mandiri. Alfi Faridian, tiga rangkai kata. Alfi, fari, dian. Itulah doa yang diberikan ayah ibuku pada bayi perempuan pertama yang mempererat tali kasih sayang mereka. Menurut ibuku, Alfi bermakna seribu, Farid artinya kehidupan, sedangkan Dian berarti pelita atau penerang. Bila disatukan, mengandung makna seribu pelita dalam kehidupan. Mereka berharap bayi perempuannya bila dewasa menjadi orang yang bisa menjadi penerang dalam kehidupan. Itulah doa ayah ibuku yang selalu menyertai aku dimana pun, kapan pun, dan dalam keadaan bagaimana pun.
Aku tak bisa menolak saat ibuku menyarankan aku harus kuliah mengambil jurusan ilmu kependidikan. Aku tak bisa menghindar harus memilih program Bahasa dan Sastra Indonesia karena bidang inilah yang menonjol di setiap nilai yang ada di raporku. Bagaikan air yang mengalir, setelah berhasil menyelesaikan belajarku. Aku diberi kesempatan untuk mengamalkan ilmu – ilmuku.
Sempat kujalani tinggal bersama masyarakat desa yang terpencil, jauh dari keramaian. Aku mengikuti program pemerintah dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu. Tiga tahun kulalui bersama mereka di pulau garam Madura, tepatnya desa Moncek Barat kecamatan Lenteng kabupaten Sumenep. Banyak pengalaman yang kudapatkan. Aku bantu mereka untuk menjadi orang yang lebih baik. Dari buta aksara menjadi orang yang mengenal tulisan. Ibu-ibu PKK-pun demikian. Tak terkecuali remaja dan anak-anak kuajarkan beberapa keterampilan agar kelak bermanfaat dan  lebih mandiri.
Kini kuamalkan ilmuku di SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo, hingga sekarang. Rasanya tak percaya aku telah dipanggil “bu guru” oleh murid-muridku. Aku menikmati dan bersyukur bisa menjadi seorang guru. Ternyata “guru” profesi yang menyenangkan. Satu hal yang kurasa, ternyata dengan berprofesi guru membuat aku awet muda, karena selalu bergaul dengan anak-anak usia muda.
Subhanalloh….Dalam renungan yang paling dalam, apa yang kualami tak lepas dari kekuatan doa ayah ibuku. Walau aku berusaha menolak, kekuatan doa orang tua lebih didengarkan oleh Allah SWT. Kini jejakku sama dengan jejak ibuku. Walaupun rangkaian nama kami  berbeda namun satu makna dan satu jiwa. Aku bangga bisa menjadi pelita bagi bunga-bunga bangsa.
Lima belas tahun aku menjadi guru, suka dan duka adalah kenangan yang terindah bagiku. Dengan menjadi guru aku bisa beramal, dengan menjadi guru aku banyak teman, dengan menjadi guru aku bisa mengasah ilmu, yang terpenting dengan menjadi guru aku bisa menjadi pelita dalam kehidupan sesuai dengan namaku Alfi Faridian. Terima kasih Ibu….terima kasih ayah…...doamu sangat bermanfaat bagiku, semoga Allah memberi kebaikan surga untukmu….Amiiin…..

Sepatuku Bukan Sepatu Biasa


Aku terus menunggu waktu,,sejak undangan itu sampai di tanganku. Alhamdulillah,,berkali-kali puji syukur itu keluar dari bibirku. Ehm…ternyata tak terasa sudah cukup lama aku mengabdikan diri jadi ibu guru di sekolah yang tergolong mewah di lingkungan daerahku. Ya…SMA Bina Nusa 2. Lima belas tahun bukan waktu sebentar untuk bercanda, berbagi ilmu, bahkan terkadang mendengar tangisan anak-anak bangsa dengan berbagai permasalahannya. Asyik, senang, dan berkesan. “Ori menikah” gumamku dalam hati.
Assalaamualaikum ibu,,, sapaan  dari balik punggung itu mengagetkan aku, sepertinya aku pernah mengenal suara itu. Waalaikumsalam,,,seraya aku berbalik ingin segera melihat yang mempunyai suara itu, tak lain itu suara Citra…muridku yang paling bawel, pintar berargumen, cantik, centil, sekarang penampilannya berubah 180 derajat menjadi sosok perempuan lembut dan keibuan. Di sela-sela para undangan pesta pernikahan Ori, riuh, suka cita, sayup-sayup lagu bersenandung menambah meriah suasana pesta itu. Kupeluk dia sembari dicium tangan ini sebagai ungkapan rasa rindu yang tak terperi.
“Apa kabar cantik?” sapaku sambil kulepas perlahan pelukannya, “Alhamdulillah, baik Ibu” suara dan gayanya masih Citra tujuh tahun yang lalu. “Pokoknya kita nggak salah Bu!” Citra cs membela diri ketika harus perang dingin dengan Uphit panggilan Puspita salah satu teman sekelasnya. “Dia sok!! Sok cantik!, sok gaya!, sok pinter!, padahal dia nggak ada apa-apanya dari kita”, tambah Ana yang satu genk dengan Citra. Citra, Ana, Ratri, Anggi, satu lagi Lidya, lima cewek jagoan di kelas SEPATU (sebelas ipa satu). Memang mereka jago berargumen, jago kimia, jago matematika, bahkan jago dalam menaklukkan teman laki-lakinya, di samping itu mereka juga jago bermain musik. ” Sudahlah,,apa sih, yang kalian ributkan?? Sambil kupegang  pundak mereka satu persatu, sebagai ibu wali di kelas itu aku berusaha mendamaikan perselisihan di antara mereka. Uphit hanya diam tak bisa berkata-kata karena takut akan kicauan Citra cs yang selalu memojokkannya. Aku tersenyum melihat perselisihan mereka. “Inilah proses pendewasaan buat mereka”, kataku dalam hati.  “ Ibu apa kabar?” Citra di hadapanku membuyarkan kenangan itu. Alhamdulillah, baik juga Citra, aku tersenyum bangga bahwa dia sekarang jadi ibu guru seperti aku. “ Buk ternyata jadi guru itu susah ya” balasnya untuk memulai pembicaraan. “Ah nggak juga sih, kalau kita ikhlas menjalani, kita nikmati akan lebih menyenangkan”, jawabku. Sesekali aku menoleh ke kanan, ke kiri, sambil mencari-cari para undangan barangkali ada yang kukenali lagi.
Ibuuuuk….Assalamualaikum,,Ira yang berbadan dua bersama suaminya, langsung menjabat tanganku sambil memeluk erat tubuh ini, tak ubahnya seperti yang dilakukan Citra terhadapku tadi. Akhhirnya kami bertiga hanyut bernostalgia mengenang kebersamaan SEPATU.
Tampak dari kejauhan begitu serasihnya Ori bersanding dengan pangeran pujaan hatinya. Ratu semalam, begitu anggun dengan balutan gaun sutera warna keemasan. Kesederhanaan panggung yang melatari bidan yang sedang berbahagia itu tak mengurangi kesakralan acara mereka. “Subhanallah”…..gumamku lirih,  mereka foto bersama di atas panggung,,berjajar dari sebelah kanan sosok mereka tak asing buatku. Say.. panggilan sang ketua kelas waktu itu, nama lengkapnya Sayfuddin, Fitroh pemain voli waktu itu,,ada Reza salah satu tim basket di sekolah, Nur Cholis,, yang pendiam tapi otaknya sangat cerdas, berikutnya ya..dia.. Anggara yang santun hingga banyak perempuan ingin jadi teman istimewanya, anggota band kebanggaan kelas yah…tak salah dia Hermawan. Berjajar sebelah kiri tampak perempuan-perempuan cantik nan anggun, ada Ana yang tomboy, Fitri yang bawel, Ratri yang keibuan, Anggita yang cerewet sedikit cuek.
 “Ibu tinggal tanda tangan saja di sini” ujar Anggara sambil menyodorkan kertas yang aku sendiri belum tahu apa isi dari kertas tersebut. Suara tegas nan berwibawa membuat aku semakin bingung.
   “Apa ini Anggara?” balasku sambil sekilas kulihat banyak tanda tangan dengan nama-nama yang tak asing buatku.
“Teman-teman sudah sepakat Ibu” tegasnya
“Sepakat apa?” aku semakin bingung
“Silahkan dibaca Bu” sambungnya.
Tak biasanya Anggara bersikap seperti ini, dia yang terkenal sebagai sosok siswa yang santun, tiba-tiba menghadangku sembari menyodori selembar kertas tanda protes kepada sekolah, karena ada satu guru yang dianggap kurang sesuai dalam menyampaikan ilmunya kepada teman sekelasnya, anehnya kertas itu sudah tertanda tangani seluruh siswa SEPATU. Segera kuajak dia duduk di sudut ruang guru.
                “Separah inikah” suara lirihku mengawali pembicaraan kta
                “Ya Bu,,,, teman-teman sudah tidak berkenan dengan pola mengajar beliau” tambahnya
“Kita coba cara lain ya” gumamku pelan supaya tidak terdengar oleh guru lain yang ada di ruang itu.
“Ibu kita kan sudah memberikan banyak toleransi kepada beliau”tegasnya lirih setengah berbisik.
“Iya siih…kita tunda dulu surat ini ya…” Pintaku
“Ibu, yang diajarkan Pak Sogi adalah  mata pelajaran inti, kita tidak bisa menunggu-nunggu, sebentar lagi ujian semester,,lantas bagaimana belajar kita Bu????” Belanya.
“Memang masalah ini sudah saya sampaikan ke pimpinan, Anggara,,bilang ke teman-teman tuk bersabar,” ujarku hingga aku hampir  tak bisa berkata-kata lagi.
“Ibu,, mohon ditanda tangani, nanti kita yang akan menyampaikan ke Pak Abdillah” pintanya.
“Ya sudah bawa sini suratnya, nanti Ibu tanda tangani  dan saya serahkan ke bapak kepala sekolah” kataku sambil menarik napas panjang.                Setengah berlari dia melesat dari ruangan membawa kabar gembira buat  teman sekelasnya.
Salam hormat Ibu Assalamualaikum,, sekilas kenangan tentang mereka,,tiba-tiba mereka sudah ada di depan mataku. Seolah-olah mereka menagih janji bagaimana kelanjutan surat protes tersebut. Aku tersenyum bangga sambil menjawab  salam  mereka, wajah-wajah yang semakin dewasa satu persatu kutatap sembari menjabat  tanganku pertanda hormatnya kepada sang bunda guru.” “Alhamdulillah….kita masih dipertemukan oleh Allah” kumulai suasana yang mengharukan itu.
“Bagaimana kabar kalian?” lanjutku
“Alhamdulillah baik bu, berkat doa ibu juga” jawab Anggara yang jago berargumen.
Tetap saja dia selalu yang mewakili ungkapan isi hati teman-temannya.
“Maaf kan kami Ibu, lama tak bersilaturrahmi ke rumah,,,? Lanjutnya
“Iya Bu…” yang lain menambahkan.
“Nggak apa-apa….yang penting kita selalu saling mendoakan,,” jawabku tersenyum.
“Ibu saya sudah kerja di perusahaan Listrik Negara…” Seru Fitro bangga.
“Ini Bu,,, sambil menunjuk ke pemuda tampan di sebelahnya yang dari tadi hanya diam dan senyum-senyum ,jadi polisi.” Tambahnya.
“Alhamdulillah…Nur Cholis,, “ Jawabku sambil menitikkan air mata bangga.
“Lantas?” Imbuhku sambil menunjuk yang lain.
“Saya bekerja di persahaan asing Bu, Saya sudah menyelesaikan Studi kedokteran Ibu, Saya melanjutkan pendidikan S2 Ibu, …” Satu persatu dia pantas membanggakan keberhasilannya kepada guru yang pernah menemani di bangku SMA yang penuh dengan kisah-kisah yang mengesankan.

Saujana



Januari 2012

Ambang batas saujana
Dirimu putih abu-abu
Ambang batas saujana
Dirimu berteriak,
Turunkan SPP!!!!!!!!!!!!
Ganti pak Somad
Ambang batas saujana
Dirimu bercinta
Cinta itu cinta monyet
Ambang batas saujana
Dirimu tertawa
Tertawa bisa lalui pintu sekolah
Tanpa ada guru yang berjaga
Ambang batas saujana
Dirimu menangis
Merah nilai matematika

Kini …,,,,????
Dirimu sarjana
Dirimu pengusaha
Dirimu penolong jiwa
Dirimu indan berguna
Tetes mata rasa bangga
Merasuk dalam jiwa
SAUJANA…………………………

Bertambah Dewasa



Agustus 2016

Gemuruh tuangkan ide
Kadang lucu buatku terpingkal-pingkal
Seketika juga bisa aku naik darah
Hari Jumat muncul kekanakan
Rabu bertambah dewasa

Celoteh mereka asyik hilangkan gundah
Itulah sebabnya tak berat kulangkahkan
Berjumpah

Yah……….35 wajah penuh semangat
Gores prestasi tuk keabadian
Tatap mudamu ke depan
Senyampang jingga belum tenggelam

35 wajah penuh semangat
Bersama bunda
Bergandeng tangan
Meniti jembatan kesuksesan

Olahragakan Nusantara

 Olah raga milik kita semua. Salah satu kalimat yang diungkapkan oleh menteri Pemuda dan Olah raga Imam Nahrawi, dalam acara peringatan Haornas yang diselenggarakan di GOR Sidoarjo. Ribuan warga Sidoarjo ikut menyemarakkan acara tersebut. Gegap gempita suasana yang terbangun. Lengkap dengan atraksi-atraksi disuguhkan untuk menghibur masyarakat Indonesia.



Tak lepas dari pepatah "Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat". Tidak sekadar pepatah tanpa makna. Jika kita mencerna lebih dalam lagi kalimat sederhana itu banyak nilai-nilai yang bisa diambil. Oleh karena itu sangatlah penting memasyarakatkan olah raga kepada masyarakat Indonesia. Tidak hanya masyarakat kelas bawah, kelas menengah, justru para pejabat- pejabat di nusantara ini.

Dari tubuh yang sehat ada jiwa yang sehat. Sederhana sekali. Kalau sudah memunyai jiwa yang sehat, maka seluruh aktivitas manusia menjadi sehat. Tidak mudah sakit, tidak mudah terpengaruh hal-hal yang bersifat negatif.

Demikian juga untuk memilih jenis olahraga, tidak harus dengan membayar mahal hanya untuk mencapai tubuh yang sehat. Jalan sehat, misalnya. Bukan berarti Golf tidak menyehatkan tubuh manusia, tetapi justru dari gengsi akan muncul hal-hal yang tidak sehat. Persaingan yang ketat. Hal ini membuat ada perselisihan hubungan antar sejawat.

Nah, dari momen itu harus ditindaklanjuti. Menciptakan masyarakat yang sehat itu mudah asalkan dengan niat sungguh-sungguh. Dengan demikian akan terrcipta nusantara bebas dari korupsi, tercipta suasana aman, tentram, damai. semua itu dimulai dari diri pribadi yang sehat.

 "Panoptikum Tubuh Malam" Selasa, 3 Januari 2023 Jika saja aku Memakai satu kekuatan Dalam sekejap kau akan kuhapus Aku akan berte...