Senin, 27 November 2017

Sajak Beda Tema

Aku tak ingin bulan bundar bersinar
Aku tak ingin hujan basahi peraduan
Aku tak ingin nyaringnya melodi mendenting
Yang ku ingin ibahmu runduk menyejuk kalbu



Tatap mata tak tajam biarkan
Walau putih merona hitam itu wajar
Namun bibir berkata enggan bersuara
Membuat aku semakin membuncahkan rasa



Ketika kering air mata tak bersuara
Di mana embun beningnya bergelayut redah
Sesak dada entah sampai ujung waktu
Tak ada kabar berikut kesudahan
Satu persatu eja pikiran
Melebur rasa yang tiada berbatas


Pantaskah rindu berbelah
Jika burung dara tak lagi di sangkarnya
Narasi biru tuangkan rindu yang tak berkesudahan
Ketika air laut mulai menepi tinggalkan pulau ketangguhan



Jangan disalahkan jika hati ini mulai mengikis
Karena cintamu sudah lagi tak bermakna
Engkau putihkan semuanya
Hingga rasa ini hilang tak bernoda



Hanya dua hati yang bisa mengekangku untuk bertahan
Berdiri pada kaki yang mulai gemeretak
Tersenyum pada bibir yang mulai beku
Hingga harapan hanya tinggal Satu untuk wujudkan
Dua hati menuju ketinggian.



Biarlah senja bermuram duka
Biarlah pagi menyapa lara
Jika siang tersenyum manja
Itu karena lampiaskan saja.

Belum ada jawabnya (212)


Lama sudah terlalu lama menunggu arti kehidupan yang sebenarnya
Ataukah aku tidak menahu bagaimana idealnya kehidupan
Saat ku Tanya pada api… siapa yang harus memasak di dapur
Api bersemangat “harusnya yang dipanggil ibu”
Saat ku Tanya pada daun kering… siapa hendak bersihkan dirimu jika jatuh dari reranting
Dengan malu lontarkan jawaban “si mbok lah”
Saat ku Tanya pada akar singkong di tegal belakang rumah… siapa yang bersemangat membongkar dirimu dari timbunan tanah
Wak Kamdi, jawabnya satu.
Zaman yang berubah atau kesempatan yang salah
Jawaban semua itu tak kutemukan kebenarannya
Hingga diri lelah bertanya
Peluh mengering tak berbekas
Mata air mataku sudah tersumbat dalam dada
Sesak terganjal seribu Tanya yang tak kunjung ada jawabnya
Kubuka kamus istilah
Berharap satu kata ada bermakna, sinar berharap embun menyapa
Hasilnya kosong…nol…
Kini dalam rintik hujan mencengkeram malam
Pertanyaan itu selalu ada…dan semakin banyak tanda Tanya

Masih belum ada jawabnya.

Rabu, 25 Oktober 2017

Mutiara untuk Ozan

November 2017

Braaakkkkkkkk!!!!! ……teeetttt…tetttt…. Seketika terjadi kemacetan di jalan utama lintas kota Surabaya Malang. Kerumunan pengendara dan kemacetan tak bisa dihindari. Belum ada petugas lalu lintas yang berjaga. Suasana masih sepi dan matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Riuh memecah pagi melihat seorang ibu setengah baya tergolek tergeletak di antara kerumunan orang-orang tersebut. Bagaimana kejadiannya? Ada yang kenal ibu inikah? Siapa dia? Banyak pertanyaan yang terlontar dari mereka tapi tak satu pun yang terjawab. Semua hanya bisa panik dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tak lama kemudian berhentilah mobil Agya putih menghampiri kerumunan yang membuat macet sepanjang perjalanan itu. Seorang pemuda keluar dari mobil dan mendekati di antara kerumunan itu. Astahgfirullah… ucapnya lirih ketika dia tahu seorang ibu tergeletak tak berdaya telah menjadi korban laka lari. Tanpa berpikir panjang dihampiri ibu yang tak sadarkan diri, lalu diangkatnya menuju mobil putihnya. Secepat kilat Agya melesat meninggalkan kerumunan, dan lambat-laun kemacetan sudah bisa terurai kembali
.
Alhamdulillah, nampaknya ibu paru baya itu sudah dapat ditangani oleh pihak rumah sakit. Hanya luka memar akibat benturan yang mendadak di bagian pundak. Dan beberapa lecet di pipi kanan dan kakinya. Namun ibu itu tampak letih dan masih belum bisa membuka matanya. Ozan masih menunggui di samping ibu itu. Diperhatikan lamat-lamat wajah itu, alisnya, bibirnya, walau kini semakin bertambah garis kerut di dahi dan sekitar pipi. Tak henti-hentinya Ozan mengucap syukur, dan sesekali membetulkan selimut ibu itu. “Ya Allah..apakah betul ini Bu Fia?” gumamnya dalam hati sambil menahan kepanikan antara sedih dan gembira. Hati Ozan sedih melihat sosok perempuan tak berdaya ada di hadapannya, sedangkan gembira bahwa dia telah yakin bahwa ibu itu adalah gurunya.

Ozan masih menunggui perempuan itu, hampir dua jam dan dia tak tahu harus menghubungi keluarga bu Fia, deringan Samsung putih membuyarkan keheningan di kamar pasien yang hanya berukuran 3 x 2 meter itu. Satu ranjang untuk pasien, dilengkapi lemari kecil dan pesawat TV menggantung di atas pojok ruangan. Hanya detak jam dinding yang terdengar. “Assalaamualaikum, Qo…. Kamu di mana? Bisahkah kamu ke Mitra Keluarga sekarang?... Ooh…ya… oke gpp…. Ya…. Santai…. Thanks, sorry ganggu… Assalaamualaikum. Ozan masih cemas, dipencet-pencet lagi Samsung putihnya. “Waalaikumsalam Dit,… eh…eh… sibuk?....Oke…..sorry ganggu…. Tak sadar keasyikan dengan HP-nya, ibu telah sadar dan perlahan-lahan telah membuka matanya.

“Alhamdulillah, MasyaAllah, ibu sudah siuman” rasa syukur Ozan tak terkira. Ozan mendekati ibu itu dan tersenyum. Diraihnya tangan kanan ibu itu lalu diciumnya sebagai tanda hormat. “ Saya di mana? Saya kenapa? Anak siapa?” Ibu Fia masih tertegun dan bingung. “Ibu Fia lupa sama saya?” ucap Ozan sambil tersenyum tipis. Dia berusaha meyakinkan bu Fia bahwa dia adalah muridnya. Walau tujuh tahun tak pernah bertemu, Ozan yakin bahwa bu Fia adalah gurunya. “Pagi tadi ibu mengalami musibah, lalu atas pertolongan Allah kita dipertemukan di sini Bu” terang Ozan yang masih ingin meyakinkan bahwa dia adalah muridnya. “terima kasih Anda sudah membawa saya ke sini” ujar bu Fia lirih. Tenaganya masih lemah, suaranya parau dan semangat masih belum pulih. “Tolong hubungi nomor ini” pintanya sambil mengeja satu-satu angka yang keluar dari bibir bu Fia. “Ya Bu”, jawab Ozan.

Bu Fia memperhatikan pemuda yang ada di hadapannya, sementara Ozan terlihat berusaha menghubungi keluarga bu Fia. Diperhatikan wajah pemuda itu, seyumnya, rambutnya. “Ozan….!!! Kamu Ozan…..!!! bu Fia ingin teriak tapi tak mampu…. Senyumnya mengembang. “Kamu Ozan…” ulang bu Fia yang sudah bisa mengingat siapa pemuda yang ada di hadapannya. “MasyaAllah.. Alhamdulillah…” syukur bu Fia. “Ya Bu… saya Ozan” merekahlah senyum Ozan. Bu Fia sangat ingat siapa pemuda yang telah menolongnya. Tampak gingsul giginya membuat bu Fia semakin yakin bahwa pemuda ini adalah Ozan.  “Ibu yang mengajarkan saya lebih percaya diri. Ibu yang mengenalkan saya tentang sastra, Ibu yang mginspirasi saya hingga saya seperti ini” kata Ozan memulai mengenang kembali masa-masa SMA nya dulu. Bu Fia hanya bisa tersenyum.

 Sekitar tujuh tahun yang lalu, SMA Nusantara mengadakan pentas seni. Semua murid menunggu-nunggu acara tahunan itu. Bu Fia guru Sastra ikut andil di dalamnya. Seperti biasanya beliau didapuk menampilkan tim musikalisasi puisi oleh sang ketua panitia pentas seni. Bagi bu Fia, pembina tim ini,  musikalisasi puisi atau MUSPUS harus ikut mewarnai sekolah Nusantara, dibuktikan dengan tim yang solid dan beberapa kali tampil di ajang lomba  untuk mendapatkan kejuaraan. Lewat musik beliau mengenalkan sastra kepada murid-muridnya. Kini bu Fia sempat kebingungan, karena anggota Muspus banyak yang telah lulus, dan  anggota lainnya masih belum bisa mumpuni. Sedangkan acara pentas seni tinggal sebulan lagi.

“Anditya, kumpulkan lima personil untuk acara pentas seni, setelah jam pelajaran ke empat kalian saya tunggu di Sanggar” pinta bu Fia bersemangat 45. “Baik Bu Fia” Anditya mengangguk.
Sanggar bahasa tempat idola anak-anak pecinta seni di SMA Nusantara. Di situlah anak-anak menuangkan kreativitasnya. Termasuk bermusikalisasi. Tak lama kemudian tim Muspus datang berlima menghadap bu Fia. “Assalaamualaikum Bu Fia”, salam mereka serentak kompak. “Waalaikumsalam…” balas bu Fia. “Bu, maaf sebelumnya, Billy tidak bisa bergabung, karena berbenturan dengan acara lain.” Ungkap Anditya mengawali pembicaraan di ruang yang sejuk itu. “ Lalu?” sahut bu Fia sambil mengerutkan dahinya, pertanda kecewa karena tim ini tak lengkap jika tak ada Billy. “ Tapi Bu, Ozan siap menggantikan Billy,” imbuh Anditya, yang ditunjuk bu Fia sebagai ketua di tim Muspus. Selain pandai memainkan gitar, dia termasuk siswa paling disiplin dalam segala hal. Tak salah Anditya didaulat sebagai ketua. “Ozan? bisa nyanyi?” kata bu Fia sambil memandang ke Ozan yang masih belum tahu kepiawaiannya.  “InsyaAllah”, mantap Ozan menjawab. Sejak saat itu Ozan resmi menjadi anggota Muspus yang harus konsekuen dengan peraturan-peraturannya. Sejak saat itu Ozan menunjukkan bakat yang dimiliki ke bu Fia. Sejak saat itu bu Fia kagum dengan suara merdu Ozan. Sejak saat itu tim Muspus kembali bergeliat meramaikan SMA Nusantara.

Bagi bu Fia, sebagai guru Sastra Indonesia sangat menyayangkan bahwa anak muda tidak banyak yang mengenal sastra Indonesia. Baik tokoh-tokoh sastranya maupun karya-karyanya. Oleh karena itu beliau mendekatkan sastra dalam hal ini puisi ke murid-muridnya melalui musik. Maka jadilah tim musikalisasi puisi.

Tak lama setelah Ozan dan bu Fia saling mengingat masa-masa di SMA Nusantara, dengan semangat Ozan bercerita tentang dirinya selepas SMA. Bu Fia mendengarkan dan sesekali mengernyitkan dahi menahan sakit yang dirasakan. Kini Ozan sudah menyandang Kapten kelautan. Pintu terbuka, datanglah suster dan seorang lelaki tak lain adalah suami bu Fia. Setelah menjelaskan kejadian yang dialami bu Fia kepada pak Rahardjo, Ozan pamit dan berjanji akan menjenguk ibu gurunya lagi.
Sementara, di seberang sana Nazwa sibuk membereskan berkas-berkas, dokumen-dokumen pentingnya. Sesekali dipencet-pencet HP Advan pembelian ibunya sejak dia di SMP waktu itu. Guratan cemas nampak di wajahnya. “Ya Allah semoga bunda baik-baik saja” gumamnya setelah ia menerima kabar dari ayahnya bahwa ibunya ada di rumah sakit, dan diharapkan kedatangannya. Nazwa anak kedua bu Fia yang sekarang magang di pondok pesantren al Hikmah Boyolali. Setelah pengabdiannya ini Nazwa bisa dikatakan lulus. Dan siap melanjutkan ke perguruan tinggi sesuai dengan cita-citanya sejak kecil. Yaitu menjadi wartawan muslimah. Setelah usai mengurus surat-surat, akhirnya Nazwa diizinkan pihak pesantren untuk pulang, dan segera ditelpon ayahnya agar bisa menjemputnya.

Hari ketiga kesehatan bu Fia kembali pulih dan kabar gembira dari dokter bahwa besok boleh meninggalkan rumah sakit. “Alhamdulillah” syukurnya. Terasa lama menunggu hari esok. Sehari terasa sebulan, lama dan lama. Bu Fia sibuk dengan berkemas-kemas untuk persiapan kembali ke rumah. “Assalaamualaikum” bu Fia dikagetkan salam dari suara yang sudah tidak asing lagi. “Waalaikumsalam, Ozan…yuk masuk,” balas bu Fia sambil menyilakan agar Ozan tidak mematung di depan pintu. Senyum manis Ozan mampu mengobati kesepian bu Fia yang sendirian dari pagi,  Pak Rahardjo  sedang menjemput Nazwa ke Boyolali. Sementara sulung bu Fia sedang belajar ke negeri Jiran mengejar cita-citanya. “Ibu sudah sehat? Ozan mengawalinya. “Alhamdulillah, besok sudah boleh pulang”, “syukurlah Bu, besok saya antar pulang ya, dan ibu tidak boleh menolak.” Ozan setengah memaksa dan bu Fia tak bisa menolaknya. Hanya senyuman pertanda setuju.

Jam dinding menunjuk ke angka 10, bu Fia sudah bersiap untuk segera pulang. Di matanya hanya terbayang rumah yang sudah lima hari ia tinggalkan. “Assalamualaikum, rupanya Ozan menepati permintaannya sendiri bahwa akan mengantarkan bu Fia pulang ke rumah. Tak lama kemudian pak Rahardjo dan sosok perempuan bercadar menyampaikan salam. Tak lain sosok bercadar adalah Nazwa putri bu Fia, Nazwa langsung memeluk bu Fia sambil menangis melepas rindu. Enam bulan mereka tidak bertemu. Nazwa semakin anggun dan matang pola berpikirnya. Ozan tertegun melihat dan mendengar ucapan kerinduan antara ibu dan putri bungsunya. Hingga bu Fia lupa mengenalkan Nazwa ke Ozan muridnya. “Nazwa ini Kak Ozan, yang menolong Bunda kemarin, dan Ozan, ini Nazwa putri ibu yang sekarang sedang magang di Boyolali,” bu Fia mengenalkan keduanya. Nazwa menunduk sambil memberi salam hormat pada Ozan. Dan dibalas dengan senyum manis Ozan.
Itulah awal pertemuan mereka yang sekarang menjadi keluarga kecil. 

Jumat, 06 Oktober 2017

104 Muhammadiyahku

Dapatkah kau melihat 100 tahun lebih lama
Lakuan anak muda untuk umatnya yang ia perbuat
Dapatkah engkau kira sederhana kerja yang dimulainya
Dimulai dengan langkah bersama
Dia bimbing umat dengan citanya
Tarjih, tajdid cerdaskan bangsa bersahaja

Zaman itu belum dilahirkan
Dalam pandangan mata biru
Lihatlah pemisahan antar garis air dan tanah terbentang
Di bawah sana

Dulu dalam cengkeraman penjajah kini mendewasa
Dengan rangkaian pengalaman bahagia dan derita
Sudah 104 tahun bertumbuh kini mendewasa
Lihat!!!!!!
Ribuan taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA, juga SMK
Rumah sakit panti asuhan.
Dan kini ku mendoa…kumendoa….untukmu muhammadiyahku

Semoga tangguh bak bahtera di samudra dari ancaman taufan
Gelombang raksasa.
Tapi selama tauhid berdetak di jantung, berdesah di napas
Kita gentar tiada.


Untuk Sebuah Nama
                                                                   Oktober 2017
            Satu persatu gambar di Instagram kuperhatikan, ternyata bukan gambar yang kucari. Walaupun nama yang tertera sama, ternyata bukan itu orangnya. Penasaran sih, tapi sulit juga berjalan-jalan di dunia maya, sekadar mencari sebuah gambar dan nama yang sesuai. Kususuri lagi, kugerakkan layar sentuh ke atas lalu ke bawah, ke atas lagi, lalu ke bawah belum menemukan juga. Itu kulakukan di sela-sela waktu senggangku. Entah kenapa aku tak bisa melupakan nama itu.  Tiga puluh tahun cerita sederhana itu hilang dari peraduan, namun nama itu tak bisa lupa dari ingatan.
               Hah!!! Terkejut bukan kepalang, tiba-tiba di layar HP-ku muncul gambar dan nama yang sama, yang selama ini kucari-cari. Bagaikan tersambar petir rasaku saat itu. Keringat dingin tiba-tiba membasahi jemariku, hingga aku tak mampu mengoperasikan HP putihku. Namun yang kurasa hawa panas menyesak di sekujur tubuh ini. Rasa itu kembali muncul setelah sekian lama menghilang di telan zaman.
      Lamat-lamat kuperhatikan gambar itu. Rambutnya masih membekas jambul keritingnya, walau semakin menipis dan semburat memutih. Rahang segi empat tergambar jelas, namun sedikit menipis, entah apa sebabnya. Mungkin seringnya menghisap cerutu membuat demikian, yang saya tahu, sejak aku mengenalnya dia sudah akrab dengan “Bentoel Biru”nya. Karena kebiasaan itulah terkadang kesehatannya sering terganggu. Wajah yang mulai menua tak jauh beda saat aku terakhir bertemu. Ya aku yakin bahwa gambar itu adalah dia yang sesuai dengan namanya.
            Sepucuk surat cinta diselipkan di antara buku catatan matematika yang dipinjamnya. Tak sabar kubuka setelah aku sampai di rumah. Seragam abu-abu masih melekat di badan, kulihat jam di dinding menunjukkan pukul lima sore.
Aku bersekolah di SMA Dirgantara, kegiatan pembelajaran dilakukan siang sampai sore hari, maklum bukan sekolah negeri. Namun aku sangat menikmati suasana tersebut, walau terkadang rasa kantuk tak bisa dihindari. Teman-teman yang baik membuat aku betah dan bersemangat untuk belajar.
             Perlahan-lahan sambil merebahkan tubuh kubuka surat yang berwarna merah muda itu, kuperhatikan tulisannya sangat rapi. Sesekali aku beranjak dari ranjang, sebelum kubacanya. Saat itu baru pertama aku menerima surat dari seorang laki-laki. Ada rasa khawatir yang luar biasa jika diketahui oleh orangtuaku, atau saudaraku. Ya Rob, kenapa jantung berdegup sangat kencang, kembali keringat dingin membasahi sebagian tubuhku,

Untukmu
Fina
Lama ingin kuungkapkan perasaan ini,
namun baru sekarang keberanian itu muncul.
Aku takut kau menolak perasaanku yang tak bisa kupendam lagi
Izinkan aku menyayangimu
Aku ingin kita selalu berdua selamanya karena aku mencintaimu.
Aku takut kamu marah setelah membaca surat ini.

Aku
Yang menyayangimu

        Kuulangi lagi sampai yang ke lima, baru aku yakin bahwa dia mencintai aku, pandanganku menerawang ke langit-langit kamar yang hanya berukuran 2 x 3 meter. Berasa makin sempit kamar ini. Aku tersenyum sendiri tanpa malu disaksikan luskisan bunga sakura yang menghiasi dinding kamarku. Seakan ikut gembira melihatku. Pertama kali aku dicintai seorang laki-laki, dan diungkapkan lewat surat dengan bahasa yang sangat romantis. Detak jantungku semakin kencang mengalahkan detak jarum jam dinding yang dari tadi menjadi saksi bisu akan surat cintaku. Bayangan wajah itu tiba-tiba muncul di pelupuk mata, senyumnya, candanya, semua menyatu dalam balutan rindu. Kupeluk surat merah jambuku, sesekali kucium wanginya, indah sekali sore itu.
         Lucu dan kocak candanya yang membuat aku terpesona dan jatuh hati padanya. Dikatakan ganteng, biasa saja, pintar? oke juga, setia? Belum tahu. Tapi dia yang pertama membuat aku merasakan indahnya jatuh cinta. Hari-hariku semakin indah bersamanya. Semangat untuk belajar semakin bergelora. Mungkin itu adalah energi positif dari sebuah kata cinta. Semua berubah. Seperti orang yang tidak waras, terkadang aku tersenyum sendiri merasakan jatuh cinta yang bergelora.
            Kupandangi lagi gambar yang ada di Instagram. Berkali-kali. Muncul keraguan ketika aku ingin menyapa  dia walau di dunia maya. Berkumis tebal dan berkacamata hitam menyembunyikan keluguan wajah masa lalunya. Tapi aku semakin yakin garis wajah yang tampak adalah nama yang tidak salah. Yang pernah singga di hatiku. Dulu, dulu sekali.  
             Setelah hari kedua kubalas surat itu, tanpa basa basi kamipun berpacaran. Indahnya berpacaran di masa SMA. Tawa dan tangis melengkapi cerita itu. Di sela-sela waktu ingin selalu bersama, berdua, hingga waktu berputar sangat cepat. Rasa cemburu yang berlebihan terkadang mengiringi cerita membuat air mata takut kehilangan dia. Semua itu terkemas dalam cerita cinta di SMA Dirgantara.
           Bersama lima sahabatku diajak main kerumahnya. Lumayan jauh letaknya. Beda kota dengan tempat tinggalku. Terkadang aku juga sempat berpikir, jauh-jauh sekolah di luar kota apa tidak ada sekolah di sekitar rumahnya. Namun dengan kepolosanku atau memang ini takdir Tuhan sehingga aku dan dia bertemu di satu sekolah ini. Kekonyolan itu baru aku rasakan. Kami pun harus naik bis antar kota menuju rumahnya. Setelah pamit kepada orangtuaku, kami pun berangkat menuju kota cinta, yang ternyata tidak jauh dari tempat wisata yang terkenal yaitu air terjun kakek bodo.
           Stelah berkenalan dengan keluarganya, tak lengkap jika tidak  mengunjungi tempat wisata yang terkenal itu. Tiga puluh menit dari rumahnya, kami pun sampai di tujuan. Indah sekali pemandangannya. Udara yang bersih membuat sejuk segar suasananya. Bahkan suara gemiricik air terjun di kejauhan melengkapi suasana yang menyenangkan. Kami pun menyusuri jalan setapak menuju tempat air terjun. Jalan semakin menanjak, bebatuan berbalut lumut, kadang membuat aku terpeleset. Seketika itu dengan  sigapnya dia menggandeng erat tanganku agar aku tak terjatuh lagi. Awalnya biasa saja, tak lama kemudian, genggaman tangannya membuat hatiku bergejolak. Ditambah dengan tatapan matanya yang meruntuhkan jiwaku. Aku tak bisa menolak saat dia memeluk erat tubuh ini ketika jalan yang terjal membuat aku terperosok ke lubang yang tak terlalu dalam juga. Kesempatan gurau salah satu temanku. Kami pun tersenyum dan melanjutkan perjalanan.
            Gambar yang baru kutemukan membuat kenangan itu muncul satu demi satu. Suka duka pertama aku mengenal rasa cinta. Tak kecuali saat hujan mengguyur perjalanan kami. Sepulang sekolah menuju rumahku, kami habiskan dengan jalan kaki, kurang lebih sekilo jarak antara rumahku dan sekolah. Sesampai rumahku, dia menuju halte yang tak tauh juga dari rumahku menunggu bis langganannya. Suatu hari, hujan tak kunjung redah. Hingga waktu menunjukkan pukul 17.11 menjelang maghrib. “Yuk naik becak” ajakku. Dia menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Keburu mangrib”lanjutku. “Kalau begitu ayo kita pulang”, ajaknya. “Naik becak atau angkot?” aku balik bertanya. “Kita jalan saja” sambil tersenyum dia menarik tanganku menyatu dalam rintik gerimis yang tak kunjung redah. “Basah semua bajumu, rumahmu kan masih jauh”. “santai nanti aku mampir ke rumah Indra pinjam baju”, “kalau berhujan-hujan dengan putriku beda suasananya” guraunya mengawali perjalanan kami. Kucubit lengannya. “Kamu gak papa kan?” ternyata dia mengkhawatirkan aku juga. Aku mengangguk tanda setuju. Di dekat pos kereta, hujan semakin deras, kamipun harus berteduh. Satu-satunya tempat berteduh adalah pos penjaga plang kereta. Kamipun masuk di dalamnya. Kami berdua, hanya berdua di dalam pos. saling pandang antara dua manusia yang sedang bergelora rasa cintanya. Basah kuyup berdua. Digenggamnya tangan ini erat-erat tubuh kami menyatu, tak lama bibirnya sudah menyatu dalam rasa yang semakin memuncak. Di luar pos plang kereta, hujan semakin deras.
            Bunga semakin bermekaran, sinar mentari menambah marak warna-warninya. Begitu juga cerita cintaku bersama dia. Dia telah mengisi hari-hariku semakin berwarna. Semakin tahu makna sebuah rasa cinta. Walaupun saat itu masih dikatakan cinta monyet. Dirasa indah hanya sekejap saja.
Hingga suatu hari semuanya berubah. Senyum dan candanya entah kemana? Perhatian dan kasihnya mulai memudar. Sebuah tanda tanya besar bergelayut di pikiranku. Kenapa? Ada apa?
         Tiba-tiba sahabatku menghampiri aku yang selalu menanti gurauan lucunya. “Maafkan aku kalau aku bawa kabar sedih ya”, ungkap sahabatku. “Ada apa?”, aku sudah merasa bahwa akan terjadi hal yang tidak menyenangkan. “ Dia sudah nggak sayang lagi ke kamu, itu pesannya”, dengan berat hati sahabatku menuturkannya padaku. Setelah kudengar kata-kata itu, sontak aku menuju kamar mandi sekolah, aku menangis sejadi-jadinya. Semua terasa gelap. Saat itu juga hatiku hancur, sakit, sakit sekali. Hanya air mata yang tahu betapa sakitnya perasaanku saat itu. Tidak ada angin, tidak ada hujan, dia berpesan seperti itu. Sama sekali tidak memperhatikan perasaanku. Aku yang begitu tulus menerima cintanya, begitu yakin akan besar kasih sayangnya, tiba-tiba diruntuhkan hingga sampai jurang kesakitan yang paling bawah. Semua terasa tidak adil.
           Sejak saat itu semua tampak abu-abu. Ceria itu hilang, semangat belajar pun memudar. Seakan aku kehilangan jati diri. Luka itu sangat membekas. Hingga aku tak mampu berdiri di atas kakiku sendiri. Kekuatan itu sudah sirna bersama keangkuhan cintanya. Mengapa  begitu cepat, rasa cinta berubah menjadi benci.
            Kuperhatikan bibir digambar itu, walau tertutup dengan kumis tebalnya, aku semakin yakin bibir itulah yang dulu pernah menyentuh hatiku. Entah mengapa kecewaku tak mampu kubayar lunas. Sampai wajah itu sudah menua, tetap saja ada rasa cinta terhadapnya. Apakah ini sebuah kebodohan atau kesejatian cinta.
           Sejak jauh dari kehidupanku, dia tak sehebat dulu, tak sepintar dulu, bahkan seringkali tidak hadir belajar di kelas. Pastilah prestasinya menurun. Sebenarnya aku ingin mengingatkan dia, memotivasi dia, tapi aku sadar aku sekarang bukan siapa-siapa. Goresan luka yang membekas terkadang membuat aku benci yang terlau, namun bila ingat kelembutan dan perhatiannya saat itu, aku tukar rasa benci itu menjadi sayang yang terlalu.
              Waktu terus berjalan, masa depan tidak berada di belakang. Kepingan-kepingan cintaku berhasil kukatupkan lagi menjadi utuh, walau tidak sempurna.
Sampai menemukan wajah yang semakin keras karakternya, rasa cinta itu berubah wujud menjadi empati, ingin bertemu dengannya itu pasti. Jika mengingat kisah itu sudah tak muncul rindu atau benci yang terlalu, tapi hanya ingin menjalin silaturrahmi  pertemanan saja. Aku menyadari bahwa cerita itu hanya masa lalu yang patut dikenang tapi tak patut diulang. Untuk sebuah nama yang sudah berhasil aku temukan gambarnya, semoga baik-baik saja.


 "Panoptikum Tubuh Malam" Selasa, 3 Januari 2023 Jika saja aku Memakai satu kekuatan Dalam sekejap kau akan kuhapus Aku akan berte...