Untuk Sebuah Nama
Oktober
2017
Satu
persatu gambar di Instagram kuperhatikan, ternyata bukan gambar yang kucari.
Walaupun nama yang tertera sama, ternyata bukan itu orangnya. Penasaran sih,
tapi sulit juga berjalan-jalan di dunia maya, sekadar mencari sebuah gambar dan
nama yang sesuai. Kususuri lagi, kugerakkan layar sentuh ke atas lalu ke bawah,
ke atas lagi, lalu ke bawah belum menemukan juga. Itu kulakukan di sela-sela
waktu senggangku. Entah kenapa aku tak bisa melupakan nama itu. Tiga puluh tahun cerita sederhana itu hilang
dari peraduan, namun nama itu tak bisa lupa dari ingatan.
Hah!!!
Terkejut bukan kepalang, tiba-tiba di layar HP-ku muncul gambar dan nama yang
sama, yang selama ini kucari-cari. Bagaikan tersambar petir rasaku saat itu.
Keringat dingin tiba-tiba membasahi jemariku, hingga aku tak mampu
mengoperasikan HP putihku. Namun yang kurasa hawa panas menyesak di sekujur
tubuh ini. Rasa itu kembali muncul setelah sekian lama menghilang di telan
zaman.
Lamat-lamat
kuperhatikan gambar itu. Rambutnya masih membekas jambul keritingnya, walau
semakin menipis dan semburat memutih. Rahang segi empat tergambar jelas, namun
sedikit menipis, entah apa sebabnya. Mungkin seringnya menghisap cerutu membuat
demikian, yang saya tahu, sejak aku mengenalnya dia sudah akrab dengan “Bentoel
Biru”nya. Karena kebiasaan itulah terkadang kesehatannya sering terganggu.
Wajah yang mulai menua tak jauh beda saat aku terakhir bertemu. Ya aku yakin
bahwa gambar itu adalah dia yang sesuai dengan namanya.
Sepucuk
surat cinta diselipkan di antara buku catatan matematika yang dipinjamnya. Tak
sabar kubuka setelah aku sampai di rumah. Seragam abu-abu masih melekat di
badan, kulihat jam di dinding menunjukkan pukul lima sore.
Aku bersekolah di SMA Dirgantara, kegiatan pembelajaran dilakukan siang sampai sore
hari, maklum bukan sekolah negeri. Namun aku sangat menikmati suasana tersebut,
walau terkadang rasa kantuk tak bisa dihindari. Teman-teman yang baik membuat
aku betah dan bersemangat untuk belajar.
Perlahan-lahan
sambil merebahkan tubuh kubuka surat yang berwarna merah muda itu, kuperhatikan
tulisannya sangat rapi. Sesekali aku beranjak dari ranjang, sebelum kubacanya.
Saat itu baru pertama aku menerima surat dari seorang laki-laki. Ada rasa
khawatir yang luar biasa jika diketahui oleh orangtuaku, atau saudaraku. Ya
Rob, kenapa jantung berdegup sangat kencang, kembali keringat dingin membasahi
sebagian tubuhku,
Untukmu
Fina
Lama ingin kuungkapkan perasaan ini,
namun baru sekarang keberanian itu
muncul.
Aku takut kau menolak perasaanku yang
tak bisa kupendam lagi
Izinkan aku menyayangimu
Aku ingin kita selalu berdua selamanya
karena aku mencintaimu.
Aku takut kamu marah setelah membaca
surat ini.
Aku
Yang menyayangimu
Kuulangi
lagi sampai yang ke lima, baru aku yakin bahwa dia mencintai aku, pandanganku
menerawang ke langit-langit kamar yang hanya berukuran 2 x 3 meter. Berasa
makin sempit kamar ini. Aku tersenyum sendiri tanpa malu disaksikan luskisan
bunga sakura yang menghiasi dinding kamarku. Seakan ikut gembira melihatku.
Pertama kali aku dicintai seorang laki-laki, dan diungkapkan lewat surat dengan
bahasa yang sangat romantis. Detak jantungku semakin kencang mengalahkan detak
jarum jam dinding yang dari tadi menjadi saksi bisu akan surat cintaku.
Bayangan wajah itu tiba-tiba muncul di pelupuk mata, senyumnya, candanya, semua
menyatu dalam balutan rindu. Kupeluk surat merah jambuku, sesekali kucium
wanginya, indah sekali sore itu.
Lucu
dan kocak candanya yang membuat aku terpesona dan jatuh hati padanya. Dikatakan
ganteng, biasa saja, pintar? oke juga, setia? Belum tahu. Tapi dia yang pertama
membuat aku merasakan indahnya jatuh cinta. Hari-hariku semakin indah
bersamanya. Semangat untuk belajar semakin bergelora. Mungkin itu adalah energi
positif dari sebuah kata cinta. Semua berubah. Seperti orang yang tidak waras,
terkadang aku tersenyum sendiri merasakan jatuh cinta yang bergelora.
Kupandangi
lagi gambar yang ada di Instagram. Berkali-kali. Muncul keraguan ketika aku
ingin menyapa dia walau di dunia maya.
Berkumis tebal dan berkacamata hitam menyembunyikan keluguan wajah masa
lalunya. Tapi aku semakin yakin garis wajah yang tampak adalah nama yang tidak
salah. Yang pernah singga di hatiku. Dulu, dulu sekali.
Setelah
hari kedua kubalas surat itu, tanpa basa basi kamipun berpacaran. Indahnya
berpacaran di masa SMA. Tawa dan tangis melengkapi cerita itu. Di sela-sela
waktu ingin selalu bersama, berdua, hingga waktu berputar sangat cepat. Rasa
cemburu yang berlebihan terkadang mengiringi cerita membuat air mata takut
kehilangan dia. Semua itu terkemas dalam cerita cinta di SMA Dirgantara.
Bersama
lima sahabatku diajak main kerumahnya. Lumayan jauh letaknya. Beda kota dengan
tempat tinggalku. Terkadang aku juga sempat berpikir, jauh-jauh sekolah di luar
kota apa tidak ada sekolah di sekitar rumahnya. Namun dengan kepolosanku atau
memang ini takdir Tuhan sehingga aku dan dia bertemu di satu sekolah ini.
Kekonyolan itu baru aku rasakan. Kami pun harus naik bis antar kota menuju
rumahnya. Setelah pamit kepada orangtuaku, kami pun berangkat menuju kota
cinta, yang ternyata tidak jauh dari tempat wisata yang terkenal yaitu air
terjun kakek bodo.
Stelah
berkenalan dengan keluarganya, tak lengkap jika tidak mengunjungi tempat wisata yang terkenal itu.
Tiga puluh menit dari rumahnya, kami pun sampai di tujuan. Indah sekali
pemandangannya. Udara yang bersih membuat sejuk segar suasananya. Bahkan suara
gemiricik air terjun di kejauhan melengkapi suasana yang menyenangkan. Kami pun
menyusuri jalan setapak menuju tempat air terjun. Jalan semakin menanjak,
bebatuan berbalut lumut, kadang membuat aku terpeleset. Seketika itu
dengan sigapnya dia menggandeng erat
tanganku agar aku tak terjatuh lagi. Awalnya biasa saja, tak lama kemudian,
genggaman tangannya membuat hatiku bergejolak. Ditambah dengan tatapan matanya
yang meruntuhkan jiwaku. Aku tak bisa menolak saat dia memeluk erat tubuh ini
ketika jalan yang terjal membuat aku terperosok ke lubang yang tak terlalu
dalam juga. Kesempatan gurau salah satu temanku. Kami pun tersenyum dan
melanjutkan perjalanan.
Gambar
yang baru kutemukan membuat kenangan itu muncul satu demi satu. Suka duka
pertama aku mengenal rasa cinta. Tak kecuali saat hujan mengguyur perjalanan
kami. Sepulang sekolah menuju rumahku, kami habiskan dengan jalan kaki, kurang
lebih sekilo jarak antara rumahku dan sekolah. Sesampai rumahku, dia menuju
halte yang tak tauh juga dari rumahku menunggu bis langganannya. Suatu hari,
hujan tak kunjung redah. Hingga waktu menunjukkan pukul 17.11 menjelang
maghrib. “Yuk naik becak” ajakku. Dia menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Keburu mangrib”lanjutku. “Kalau begitu ayo kita pulang”, ajaknya. “Naik becak
atau angkot?” aku balik bertanya. “Kita jalan saja” sambil tersenyum dia
menarik tanganku menyatu dalam rintik gerimis yang tak kunjung redah. “Basah
semua bajumu, rumahmu kan masih jauh”. “santai nanti aku mampir ke rumah Indra
pinjam baju”, “kalau berhujan-hujan dengan putriku beda suasananya” guraunya
mengawali perjalanan kami. Kucubit lengannya. “Kamu gak papa kan?” ternyata dia
mengkhawatirkan aku juga. Aku mengangguk tanda setuju. Di dekat pos kereta,
hujan semakin deras, kamipun harus berteduh. Satu-satunya tempat berteduh
adalah pos penjaga plang kereta. Kamipun masuk di dalamnya. Kami berdua, hanya
berdua di dalam pos. saling pandang antara dua manusia yang sedang bergelora
rasa cintanya. Basah kuyup berdua. Digenggamnya tangan ini erat-erat tubuh kami
menyatu, tak lama bibirnya sudah menyatu dalam rasa yang semakin memuncak. Di
luar pos plang kereta, hujan semakin deras.
Bunga
semakin bermekaran, sinar mentari menambah marak warna-warninya. Begitu juga
cerita cintaku bersama dia. Dia telah mengisi hari-hariku semakin berwarna.
Semakin tahu makna sebuah rasa cinta. Walaupun saat itu masih dikatakan cinta
monyet. Dirasa indah hanya sekejap saja.
Hingga
suatu hari semuanya berubah. Senyum dan candanya entah kemana? Perhatian dan
kasihnya mulai memudar. Sebuah tanda tanya besar bergelayut di pikiranku.
Kenapa? Ada apa?
Tiba-tiba
sahabatku menghampiri aku yang selalu menanti gurauan lucunya. “Maafkan aku
kalau aku bawa kabar sedih ya”, ungkap sahabatku. “Ada apa?”, aku sudah merasa bahwa
akan terjadi hal yang tidak menyenangkan. “ Dia sudah nggak sayang lagi ke
kamu, itu pesannya”, dengan berat hati sahabatku menuturkannya padaku. Setelah
kudengar kata-kata itu, sontak aku menuju kamar mandi sekolah, aku menangis
sejadi-jadinya. Semua terasa gelap. Saat itu juga hatiku hancur, sakit, sakit
sekali. Hanya air mata yang tahu betapa sakitnya perasaanku saat itu. Tidak ada
angin, tidak ada hujan, dia berpesan seperti itu. Sama sekali tidak
memperhatikan perasaanku. Aku yang begitu tulus menerima cintanya, begitu yakin
akan besar kasih sayangnya, tiba-tiba diruntuhkan hingga sampai jurang
kesakitan yang paling bawah. Semua terasa tidak adil.
Sejak
saat itu semua tampak abu-abu. Ceria itu hilang, semangat belajar pun memudar.
Seakan aku kehilangan jati diri. Luka itu sangat membekas. Hingga aku tak mampu
berdiri di atas kakiku sendiri. Kekuatan itu sudah sirna bersama keangkuhan
cintanya. Mengapa begitu cepat, rasa
cinta berubah menjadi benci.
Kuperhatikan
bibir digambar itu, walau tertutup dengan kumis tebalnya, aku semakin yakin
bibir itulah yang dulu pernah menyentuh hatiku. Entah mengapa kecewaku tak
mampu kubayar lunas. Sampai wajah itu sudah menua, tetap saja ada rasa cinta
terhadapnya. Apakah ini sebuah kebodohan atau kesejatian cinta.
Sejak
jauh dari kehidupanku, dia tak sehebat dulu, tak sepintar dulu, bahkan
seringkali tidak hadir belajar di kelas. Pastilah prestasinya menurun.
Sebenarnya aku ingin mengingatkan dia, memotivasi dia, tapi aku sadar aku
sekarang bukan siapa-siapa. Goresan luka yang membekas terkadang membuat aku
benci yang terlau, namun bila ingat kelembutan dan perhatiannya saat itu, aku
tukar rasa benci itu menjadi sayang yang terlalu.
Waktu
terus berjalan, masa depan tidak berada di belakang. Kepingan-kepingan cintaku
berhasil kukatupkan lagi menjadi utuh, walau tidak sempurna.
Sampai
menemukan wajah yang semakin keras karakternya, rasa cinta itu berubah wujud
menjadi empati, ingin bertemu dengannya itu pasti. Jika mengingat kisah itu
sudah tak muncul rindu atau benci yang terlalu, tapi hanya ingin menjalin
silaturrahmi pertemanan saja. Aku
menyadari bahwa cerita itu hanya masa lalu yang patut dikenang tapi tak patut
diulang. Untuk sebuah nama yang sudah berhasil aku temukan gambarnya, semoga
baik-baik saja.