Satu Makna Satu Jiwa
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Lama kurenungkan
peribahasa itu hingga aku menyadari bahwa alangkah hebatnya orang yang
menciptakan kalimat itu. Lebih hebat lagi peribahasa tersebut ada dalam
kehidupanku. Moyangku seorang guru, pak de-ku
guru, di antara sepupuku juga ada yang berprofesi guru, ibuku juga guru, dari
lima bersaudara aku guru.
Tak terbayang bila ku besar nanti aku dipanggil “bu
guru”. Tak sebersit pun aku bercita-cita sebagai seorang guru. Aku ingin
membangun gedung-gedung yang tinggi, aku juga ingin menjadi ahli gizi.
Terkadang aku hanya bergumam “aku ingin terbang ke angkasa luas, arungi
samudra, indahnya.
Sepintas ada gambaran masa lalu di pelupuk mata,
waktu itu aku masih duduk di bangku SD, Bisa dikatakan masa kecil yang kurang bahagia
telah kualami. Tak seperti sebayaku, segala sesuatu harus kukerjakan sendiri. Jarang
sekali di meja makan terhidang sarapan pagi walau lauk tempe goreng. Untuk
menggantinya, ibuku sering membelikan jajanan sebagai pengganjal perut.
Sepulang sekolah aku harus menunggui adik-adikku, Jangankan bermain bersama
teman, untuk mengerjakan tugas sekolah aku harus menunggu datangnya ibu dari
kerja. Rutinitas pekerjaan rumah harus kuselesaikan, kalau tidak pasti beliau
marah.
Kini aku bisa membayangkan, bagaimana sibuknya ibuku.
Di pagi hari beliau mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Belum lagi empat
adikku yang masih kecil-kecil, yang masih membutuhkan orang lain untuk membantu
persiapan dirinya sendiri. Mulai dari mandi sampai berdandan rapi. Bila tak ada
beliau apalah jadinya kami, tak terelakkan dari sebuah nama beliau “Nur Dun
Yatim” seorang yatim yang menyinari dunia. Dunia bagi kami anak-anaknya. Selain
menjadi ibu yang baik bagi keluarga, beliau juga ibu dari anak-anak bangsa. Melalui
ilmu agama Islam beliau mengamalkan ilmu, dan dengan sekuat tenaga beliau
memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Satu hal yang
kurasa, aku ingin seperti mereka, teman-teman kecilku. Setelah pulang sekolah, ibu mereka selalu
menyambut dengan hidangan makan siang di meja makan. Setelah makan dilanjutkan
istirahat dan tidur siang. Ibuku hanya bisa
menyediakan kebutuhan kami, dan menemani aku dan adik-adikku di hari menjelang
malam. Itulah alasan mengapa aku tak bercita-cita sebagai guru. Dengan berbagai
kesibukannya semata-mata bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ayah hanya
pedagang kecil di pasar tradisional. Tak cukup untuk biaya kami yang lima
bersaudara. Aku sadar bahwa yang beliau lakukan adalah perjuangan hidup untuk
anak-anaknya.
Sebagai anak
sulung aku dipaksa bisa mandiri. Alfi Faridian, tiga rangkai kata. Alfi, fari,
dian. Itulah doa yang diberikan ayah ibuku pada bayi perempuan pertama yang
mempererat tali kasih sayang mereka. Menurut ibuku, Alfi bermakna seribu, Farid
artinya kehidupan, sedangkan Dian berarti pelita atau penerang. Bila disatukan,
mengandung makna seribu pelita dalam kehidupan. Mereka berharap bayi
perempuannya bila dewasa menjadi orang yang bisa menjadi penerang dalam
kehidupan. Itulah doa ayah ibuku yang selalu menyertai aku dimana pun, kapan
pun, dan dalam keadaan bagaimana pun.
Aku tak bisa menolak saat ibuku menyarankan aku
harus kuliah mengambil jurusan ilmu kependidikan. Aku tak bisa menghindar harus
memilih program Bahasa dan Sastra Indonesia karena bidang inilah yang menonjol di
setiap nilai yang ada di raporku. Bagaikan air yang mengalir, setelah berhasil
menyelesaikan belajarku. Aku diberi kesempatan untuk mengamalkan ilmu – ilmuku.
Sempat kujalani tinggal bersama masyarakat desa yang
terpencil, jauh dari keramaian. Aku mengikuti program pemerintah dibawah
naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu. Tiga tahun kulalui
bersama mereka di pulau garam Madura, tepatnya desa Moncek Barat kecamatan
Lenteng kabupaten Sumenep. Banyak pengalaman yang kudapatkan. Aku bantu mereka
untuk menjadi orang yang lebih baik. Dari buta aksara menjadi orang yang
mengenal tulisan. Ibu-ibu PKK-pun demikian. Tak terkecuali remaja dan anak-anak
kuajarkan beberapa keterampilan agar kelak bermanfaat dan lebih mandiri.
Kini kuamalkan ilmuku di SMA Muhammadiyah 2
Sidoarjo, hingga sekarang. Rasanya tak percaya aku telah dipanggil “bu guru” oleh
murid-muridku. Aku menikmati dan bersyukur bisa menjadi seorang guru. Ternyata
“guru” profesi yang menyenangkan. Satu hal yang kurasa, ternyata dengan
berprofesi guru membuat aku awet muda, karena selalu bergaul dengan anak-anak
usia muda.
Subhanalloh….Dalam renungan yang paling dalam, apa
yang kualami tak lepas dari kekuatan doa ayah ibuku. Walau aku berusaha
menolak, kekuatan doa orang tua lebih didengarkan oleh Allah SWT. Kini jejakku
sama dengan jejak ibuku. Walaupun rangkaian nama kami berbeda namun satu makna dan satu jiwa. Aku
bangga bisa menjadi pelita bagi bunga-bunga bangsa.
Lima belas tahun aku menjadi guru, suka dan duka adalah
kenangan yang terindah bagiku. Dengan menjadi guru aku bisa beramal, dengan
menjadi guru aku banyak teman, dengan menjadi guru aku bisa mengasah ilmu, yang
terpenting dengan menjadi guru aku bisa menjadi pelita dalam kehidupan sesuai
dengan namaku Alfi Faridian. Terima kasih Ibu….terima kasih ayah…...doamu
sangat bermanfaat bagiku, semoga Allah memberi kebaikan surga
untukmu….Amiiin…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar