November 2017
Braaakkkkkkkk!!!!! ……teeetttt…tetttt…. Seketika terjadi
kemacetan di jalan utama lintas kota Surabaya Malang. Kerumunan pengendara dan
kemacetan tak bisa dihindari. Belum ada petugas lalu lintas yang berjaga.
Suasana masih sepi dan matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Riuh memecah
pagi melihat seorang ibu setengah baya tergolek tergeletak di antara kerumunan
orang-orang tersebut. Bagaimana kejadiannya? Ada yang kenal ibu inikah? Siapa
dia? Banyak pertanyaan yang terlontar dari mereka tapi tak satu pun yang
terjawab. Semua hanya bisa panik dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tak lama
kemudian berhentilah mobil Agya putih menghampiri kerumunan yang membuat macet
sepanjang perjalanan itu. Seorang pemuda keluar dari mobil dan mendekati di
antara kerumunan itu. Astahgfirullah… ucapnya lirih ketika dia tahu seorang ibu
tergeletak tak berdaya telah menjadi korban laka lari. Tanpa berpikir panjang
dihampiri ibu yang tak sadarkan diri, lalu diangkatnya menuju mobil putihnya.
Secepat kilat Agya melesat meninggalkan kerumunan, dan lambat-laun kemacetan
sudah bisa terurai kembali
.
Alhamdulillah, nampaknya ibu paru baya itu sudah dapat
ditangani oleh pihak rumah sakit. Hanya luka memar akibat benturan yang
mendadak di bagian pundak. Dan beberapa lecet di pipi kanan dan kakinya. Namun
ibu itu tampak letih dan masih belum bisa membuka matanya. Ozan masih menunggui
di samping ibu itu. Diperhatikan lamat-lamat wajah itu, alisnya, bibirnya,
walau kini semakin bertambah garis kerut di dahi dan sekitar pipi. Tak
henti-hentinya Ozan mengucap syukur, dan sesekali membetulkan selimut ibu itu.
“Ya Allah..apakah betul ini Bu Fia?” gumamnya dalam hati sambil menahan
kepanikan antara sedih dan gembira. Hati Ozan sedih melihat sosok perempuan tak
berdaya ada di hadapannya, sedangkan gembira bahwa dia telah yakin bahwa ibu
itu adalah gurunya.
Ozan masih menunggui perempuan itu, hampir dua jam dan dia
tak tahu harus menghubungi keluarga bu Fia, deringan Samsung putih membuyarkan
keheningan di kamar pasien yang hanya berukuran 3 x 2 meter itu. Satu ranjang
untuk pasien, dilengkapi lemari kecil dan pesawat TV menggantung di atas pojok
ruangan. Hanya detak jam dinding yang terdengar. “Assalaamualaikum, Qo…. Kamu
di mana? Bisahkah kamu ke Mitra Keluarga sekarang?... Ooh…ya… oke gpp…. Ya….
Santai…. Thanks, sorry ganggu… Assalaamualaikum. Ozan masih cemas,
dipencet-pencet lagi Samsung putihnya. “Waalaikumsalam Dit,… eh…eh…
sibuk?....Oke…..sorry ganggu…. Tak sadar keasyikan dengan HP-nya, ibu telah
sadar dan perlahan-lahan telah membuka matanya.
“Alhamdulillah, MasyaAllah, ibu sudah siuman” rasa syukur
Ozan tak terkira. Ozan mendekati ibu itu dan tersenyum. Diraihnya tangan kanan
ibu itu lalu diciumnya sebagai tanda hormat. “ Saya di mana? Saya kenapa? Anak
siapa?” Ibu Fia masih tertegun dan bingung. “Ibu Fia lupa sama saya?” ucap Ozan
sambil tersenyum tipis. Dia berusaha meyakinkan bu Fia bahwa dia adalah
muridnya. Walau tujuh tahun tak pernah bertemu, Ozan yakin bahwa bu Fia adalah
gurunya. “Pagi tadi ibu mengalami musibah, lalu atas pertolongan Allah kita
dipertemukan di sini Bu” terang Ozan yang masih ingin meyakinkan bahwa dia
adalah muridnya. “terima kasih Anda sudah membawa saya ke sini” ujar bu Fia
lirih. Tenaganya masih lemah, suaranya parau dan semangat masih belum pulih.
“Tolong hubungi nomor ini” pintanya sambil mengeja satu-satu angka yang keluar
dari bibir bu Fia. “Ya Bu”, jawab Ozan.
Bu Fia memperhatikan pemuda yang ada di hadapannya, sementara
Ozan terlihat berusaha menghubungi keluarga bu Fia. Diperhatikan wajah pemuda
itu, seyumnya, rambutnya. “Ozan….!!! Kamu Ozan…..!!! bu Fia ingin teriak tapi
tak mampu…. Senyumnya mengembang. “Kamu Ozan…” ulang bu Fia yang sudah bisa
mengingat siapa pemuda yang ada di hadapannya. “MasyaAllah.. Alhamdulillah…” syukur
bu Fia. “Ya Bu… saya Ozan” merekahlah senyum Ozan. Bu Fia sangat ingat siapa
pemuda yang telah menolongnya. Tampak gingsul giginya membuat bu Fia semakin
yakin bahwa pemuda ini adalah Ozan. “Ibu
yang mengajarkan saya lebih percaya diri. Ibu yang mengenalkan saya tentang
sastra, Ibu yang mginspirasi saya hingga saya seperti ini” kata Ozan memulai
mengenang kembali masa-masa SMA nya dulu. Bu Fia hanya bisa tersenyum.
Sekitar tujuh tahun
yang lalu, SMA Nusantara mengadakan pentas seni. Semua murid menunggu-nunggu
acara tahunan itu. Bu Fia guru Sastra ikut andil di dalamnya. Seperti biasanya
beliau didapuk menampilkan tim musikalisasi puisi oleh sang ketua panitia
pentas seni. Bagi bu Fia, pembina tim ini,
musikalisasi puisi atau MUSPUS harus ikut mewarnai sekolah Nusantara,
dibuktikan dengan tim yang solid dan beberapa kali tampil di ajang lomba untuk mendapatkan kejuaraan. Lewat musik
beliau mengenalkan sastra kepada murid-muridnya. Kini bu Fia sempat kebingungan,
karena anggota Muspus banyak yang telah lulus, dan anggota lainnya masih belum bisa mumpuni.
Sedangkan acara pentas seni tinggal sebulan lagi.
“Anditya, kumpulkan lima personil untuk acara pentas seni,
setelah jam pelajaran ke empat kalian saya tunggu di Sanggar” pinta bu Fia
bersemangat 45. “Baik Bu Fia” Anditya mengangguk.
Sanggar bahasa tempat idola anak-anak pecinta seni di SMA
Nusantara. Di situlah anak-anak menuangkan kreativitasnya. Termasuk
bermusikalisasi. Tak lama kemudian tim Muspus datang berlima menghadap bu Fia.
“Assalaamualaikum Bu Fia”, salam mereka serentak kompak. “Waalaikumsalam…”
balas bu Fia. “Bu, maaf sebelumnya, Billy tidak bisa bergabung, karena
berbenturan dengan acara lain.” Ungkap Anditya mengawali pembicaraan di ruang yang
sejuk itu. “ Lalu?” sahut bu Fia sambil mengerutkan dahinya, pertanda kecewa
karena tim ini tak lengkap jika tak ada Billy. “ Tapi Bu, Ozan siap
menggantikan Billy,” imbuh Anditya, yang ditunjuk bu Fia sebagai ketua di tim
Muspus. Selain pandai memainkan gitar, dia termasuk siswa paling disiplin dalam
segala hal. Tak salah Anditya didaulat sebagai ketua. “Ozan? bisa nyanyi?” kata
bu Fia sambil memandang ke Ozan yang masih belum tahu kepiawaiannya. “InsyaAllah”, mantap Ozan menjawab. Sejak saat
itu Ozan resmi menjadi anggota Muspus yang harus konsekuen dengan
peraturan-peraturannya. Sejak saat itu Ozan menunjukkan bakat yang dimiliki ke
bu Fia. Sejak saat itu bu Fia kagum dengan suara merdu Ozan. Sejak saat itu tim
Muspus kembali bergeliat meramaikan SMA Nusantara.
Bagi bu Fia, sebagai guru Sastra Indonesia sangat
menyayangkan bahwa anak muda tidak banyak yang mengenal sastra Indonesia. Baik
tokoh-tokoh sastranya maupun karya-karyanya. Oleh karena itu beliau mendekatkan
sastra dalam hal ini puisi ke murid-muridnya melalui musik. Maka jadilah tim
musikalisasi puisi.
Tak lama setelah Ozan dan bu Fia saling mengingat masa-masa
di SMA Nusantara, dengan semangat Ozan bercerita tentang dirinya selepas SMA.
Bu Fia mendengarkan dan sesekali mengernyitkan dahi menahan sakit yang
dirasakan. Kini Ozan sudah menyandang Kapten kelautan. Pintu terbuka, datanglah
suster dan seorang lelaki tak lain adalah suami bu Fia. Setelah menjelaskan
kejadian yang dialami bu Fia kepada pak Rahardjo, Ozan pamit dan berjanji akan
menjenguk ibu gurunya lagi.
Sementara, di seberang sana Nazwa sibuk membereskan
berkas-berkas, dokumen-dokumen pentingnya. Sesekali dipencet-pencet HP Advan
pembelian ibunya sejak dia di SMP waktu itu. Guratan cemas nampak di wajahnya.
“Ya Allah semoga bunda baik-baik saja” gumamnya setelah ia menerima kabar dari
ayahnya bahwa ibunya ada di rumah sakit, dan diharapkan kedatangannya. Nazwa anak
kedua bu Fia yang sekarang magang di pondok pesantren al Hikmah Boyolali.
Setelah pengabdiannya ini Nazwa bisa dikatakan lulus. Dan siap melanjutkan ke
perguruan tinggi sesuai dengan cita-citanya sejak kecil. Yaitu menjadi wartawan
muslimah. Setelah usai mengurus surat-surat, akhirnya Nazwa diizinkan pihak
pesantren untuk pulang, dan segera ditelpon ayahnya agar bisa menjemputnya.
Hari ketiga kesehatan bu Fia kembali pulih dan kabar gembira
dari dokter bahwa besok boleh meninggalkan rumah sakit. “Alhamdulillah”
syukurnya. Terasa lama menunggu hari esok. Sehari terasa sebulan, lama dan
lama. Bu Fia sibuk dengan berkemas-kemas untuk persiapan kembali ke rumah.
“Assalaamualaikum” bu Fia dikagetkan salam dari suara yang sudah tidak asing
lagi. “Waalaikumsalam, Ozan…yuk masuk,” balas bu Fia sambil menyilakan agar
Ozan tidak mematung di depan pintu. Senyum manis Ozan mampu mengobati kesepian
bu Fia yang sendirian dari pagi, Pak
Rahardjo sedang menjemput Nazwa ke
Boyolali. Sementara sulung bu Fia sedang belajar ke negeri Jiran mengejar
cita-citanya. “Ibu sudah sehat? Ozan mengawalinya. “Alhamdulillah, besok sudah
boleh pulang”, “syukurlah Bu, besok saya antar pulang ya, dan ibu tidak boleh
menolak.” Ozan setengah memaksa dan bu Fia tak bisa menolaknya. Hanya senyuman
pertanda setuju.
Jam dinding menunjuk ke angka 10, bu Fia sudah bersiap untuk
segera pulang. Di matanya hanya terbayang rumah yang sudah lima hari ia
tinggalkan. “Assalamualaikum, rupanya Ozan menepati permintaannya sendiri bahwa
akan mengantarkan bu Fia pulang ke rumah. Tak lama kemudian pak Rahardjo dan
sosok perempuan bercadar menyampaikan salam. Tak lain sosok bercadar adalah
Nazwa putri bu Fia, Nazwa langsung memeluk bu Fia sambil menangis melepas
rindu. Enam bulan mereka tidak bertemu. Nazwa semakin anggun dan matang pola
berpikirnya. Ozan tertegun melihat dan mendengar ucapan kerinduan antara ibu
dan putri bungsunya. Hingga bu Fia lupa mengenalkan Nazwa ke Ozan muridnya.
“Nazwa ini Kak Ozan, yang menolong Bunda kemarin, dan Ozan, ini Nazwa putri ibu
yang sekarang sedang magang di Boyolali,” bu Fia mengenalkan keduanya. Nazwa
menunduk sambil memberi salam hormat pada Ozan. Dan dibalas dengan senyum manis
Ozan.
Itulah awal pertemuan mereka yang sekarang menjadi keluarga
kecil.