Rabu, 25 Oktober 2017

Mutiara untuk Ozan

November 2017

Braaakkkkkkkk!!!!! ……teeetttt…tetttt…. Seketika terjadi kemacetan di jalan utama lintas kota Surabaya Malang. Kerumunan pengendara dan kemacetan tak bisa dihindari. Belum ada petugas lalu lintas yang berjaga. Suasana masih sepi dan matahari masih enggan menampakkan sinarnya. Riuh memecah pagi melihat seorang ibu setengah baya tergolek tergeletak di antara kerumunan orang-orang tersebut. Bagaimana kejadiannya? Ada yang kenal ibu inikah? Siapa dia? Banyak pertanyaan yang terlontar dari mereka tapi tak satu pun yang terjawab. Semua hanya bisa panik dan tidak bisa berbuat apa-apa. Tak lama kemudian berhentilah mobil Agya putih menghampiri kerumunan yang membuat macet sepanjang perjalanan itu. Seorang pemuda keluar dari mobil dan mendekati di antara kerumunan itu. Astahgfirullah… ucapnya lirih ketika dia tahu seorang ibu tergeletak tak berdaya telah menjadi korban laka lari. Tanpa berpikir panjang dihampiri ibu yang tak sadarkan diri, lalu diangkatnya menuju mobil putihnya. Secepat kilat Agya melesat meninggalkan kerumunan, dan lambat-laun kemacetan sudah bisa terurai kembali
.
Alhamdulillah, nampaknya ibu paru baya itu sudah dapat ditangani oleh pihak rumah sakit. Hanya luka memar akibat benturan yang mendadak di bagian pundak. Dan beberapa lecet di pipi kanan dan kakinya. Namun ibu itu tampak letih dan masih belum bisa membuka matanya. Ozan masih menunggui di samping ibu itu. Diperhatikan lamat-lamat wajah itu, alisnya, bibirnya, walau kini semakin bertambah garis kerut di dahi dan sekitar pipi. Tak henti-hentinya Ozan mengucap syukur, dan sesekali membetulkan selimut ibu itu. “Ya Allah..apakah betul ini Bu Fia?” gumamnya dalam hati sambil menahan kepanikan antara sedih dan gembira. Hati Ozan sedih melihat sosok perempuan tak berdaya ada di hadapannya, sedangkan gembira bahwa dia telah yakin bahwa ibu itu adalah gurunya.

Ozan masih menunggui perempuan itu, hampir dua jam dan dia tak tahu harus menghubungi keluarga bu Fia, deringan Samsung putih membuyarkan keheningan di kamar pasien yang hanya berukuran 3 x 2 meter itu. Satu ranjang untuk pasien, dilengkapi lemari kecil dan pesawat TV menggantung di atas pojok ruangan. Hanya detak jam dinding yang terdengar. “Assalaamualaikum, Qo…. Kamu di mana? Bisahkah kamu ke Mitra Keluarga sekarang?... Ooh…ya… oke gpp…. Ya…. Santai…. Thanks, sorry ganggu… Assalaamualaikum. Ozan masih cemas, dipencet-pencet lagi Samsung putihnya. “Waalaikumsalam Dit,… eh…eh… sibuk?....Oke…..sorry ganggu…. Tak sadar keasyikan dengan HP-nya, ibu telah sadar dan perlahan-lahan telah membuka matanya.

“Alhamdulillah, MasyaAllah, ibu sudah siuman” rasa syukur Ozan tak terkira. Ozan mendekati ibu itu dan tersenyum. Diraihnya tangan kanan ibu itu lalu diciumnya sebagai tanda hormat. “ Saya di mana? Saya kenapa? Anak siapa?” Ibu Fia masih tertegun dan bingung. “Ibu Fia lupa sama saya?” ucap Ozan sambil tersenyum tipis. Dia berusaha meyakinkan bu Fia bahwa dia adalah muridnya. Walau tujuh tahun tak pernah bertemu, Ozan yakin bahwa bu Fia adalah gurunya. “Pagi tadi ibu mengalami musibah, lalu atas pertolongan Allah kita dipertemukan di sini Bu” terang Ozan yang masih ingin meyakinkan bahwa dia adalah muridnya. “terima kasih Anda sudah membawa saya ke sini” ujar bu Fia lirih. Tenaganya masih lemah, suaranya parau dan semangat masih belum pulih. “Tolong hubungi nomor ini” pintanya sambil mengeja satu-satu angka yang keluar dari bibir bu Fia. “Ya Bu”, jawab Ozan.

Bu Fia memperhatikan pemuda yang ada di hadapannya, sementara Ozan terlihat berusaha menghubungi keluarga bu Fia. Diperhatikan wajah pemuda itu, seyumnya, rambutnya. “Ozan….!!! Kamu Ozan…..!!! bu Fia ingin teriak tapi tak mampu…. Senyumnya mengembang. “Kamu Ozan…” ulang bu Fia yang sudah bisa mengingat siapa pemuda yang ada di hadapannya. “MasyaAllah.. Alhamdulillah…” syukur bu Fia. “Ya Bu… saya Ozan” merekahlah senyum Ozan. Bu Fia sangat ingat siapa pemuda yang telah menolongnya. Tampak gingsul giginya membuat bu Fia semakin yakin bahwa pemuda ini adalah Ozan.  “Ibu yang mengajarkan saya lebih percaya diri. Ibu yang mengenalkan saya tentang sastra, Ibu yang mginspirasi saya hingga saya seperti ini” kata Ozan memulai mengenang kembali masa-masa SMA nya dulu. Bu Fia hanya bisa tersenyum.

 Sekitar tujuh tahun yang lalu, SMA Nusantara mengadakan pentas seni. Semua murid menunggu-nunggu acara tahunan itu. Bu Fia guru Sastra ikut andil di dalamnya. Seperti biasanya beliau didapuk menampilkan tim musikalisasi puisi oleh sang ketua panitia pentas seni. Bagi bu Fia, pembina tim ini,  musikalisasi puisi atau MUSPUS harus ikut mewarnai sekolah Nusantara, dibuktikan dengan tim yang solid dan beberapa kali tampil di ajang lomba  untuk mendapatkan kejuaraan. Lewat musik beliau mengenalkan sastra kepada murid-muridnya. Kini bu Fia sempat kebingungan, karena anggota Muspus banyak yang telah lulus, dan  anggota lainnya masih belum bisa mumpuni. Sedangkan acara pentas seni tinggal sebulan lagi.

“Anditya, kumpulkan lima personil untuk acara pentas seni, setelah jam pelajaran ke empat kalian saya tunggu di Sanggar” pinta bu Fia bersemangat 45. “Baik Bu Fia” Anditya mengangguk.
Sanggar bahasa tempat idola anak-anak pecinta seni di SMA Nusantara. Di situlah anak-anak menuangkan kreativitasnya. Termasuk bermusikalisasi. Tak lama kemudian tim Muspus datang berlima menghadap bu Fia. “Assalaamualaikum Bu Fia”, salam mereka serentak kompak. “Waalaikumsalam…” balas bu Fia. “Bu, maaf sebelumnya, Billy tidak bisa bergabung, karena berbenturan dengan acara lain.” Ungkap Anditya mengawali pembicaraan di ruang yang sejuk itu. “ Lalu?” sahut bu Fia sambil mengerutkan dahinya, pertanda kecewa karena tim ini tak lengkap jika tak ada Billy. “ Tapi Bu, Ozan siap menggantikan Billy,” imbuh Anditya, yang ditunjuk bu Fia sebagai ketua di tim Muspus. Selain pandai memainkan gitar, dia termasuk siswa paling disiplin dalam segala hal. Tak salah Anditya didaulat sebagai ketua. “Ozan? bisa nyanyi?” kata bu Fia sambil memandang ke Ozan yang masih belum tahu kepiawaiannya.  “InsyaAllah”, mantap Ozan menjawab. Sejak saat itu Ozan resmi menjadi anggota Muspus yang harus konsekuen dengan peraturan-peraturannya. Sejak saat itu Ozan menunjukkan bakat yang dimiliki ke bu Fia. Sejak saat itu bu Fia kagum dengan suara merdu Ozan. Sejak saat itu tim Muspus kembali bergeliat meramaikan SMA Nusantara.

Bagi bu Fia, sebagai guru Sastra Indonesia sangat menyayangkan bahwa anak muda tidak banyak yang mengenal sastra Indonesia. Baik tokoh-tokoh sastranya maupun karya-karyanya. Oleh karena itu beliau mendekatkan sastra dalam hal ini puisi ke murid-muridnya melalui musik. Maka jadilah tim musikalisasi puisi.

Tak lama setelah Ozan dan bu Fia saling mengingat masa-masa di SMA Nusantara, dengan semangat Ozan bercerita tentang dirinya selepas SMA. Bu Fia mendengarkan dan sesekali mengernyitkan dahi menahan sakit yang dirasakan. Kini Ozan sudah menyandang Kapten kelautan. Pintu terbuka, datanglah suster dan seorang lelaki tak lain adalah suami bu Fia. Setelah menjelaskan kejadian yang dialami bu Fia kepada pak Rahardjo, Ozan pamit dan berjanji akan menjenguk ibu gurunya lagi.
Sementara, di seberang sana Nazwa sibuk membereskan berkas-berkas, dokumen-dokumen pentingnya. Sesekali dipencet-pencet HP Advan pembelian ibunya sejak dia di SMP waktu itu. Guratan cemas nampak di wajahnya. “Ya Allah semoga bunda baik-baik saja” gumamnya setelah ia menerima kabar dari ayahnya bahwa ibunya ada di rumah sakit, dan diharapkan kedatangannya. Nazwa anak kedua bu Fia yang sekarang magang di pondok pesantren al Hikmah Boyolali. Setelah pengabdiannya ini Nazwa bisa dikatakan lulus. Dan siap melanjutkan ke perguruan tinggi sesuai dengan cita-citanya sejak kecil. Yaitu menjadi wartawan muslimah. Setelah usai mengurus surat-surat, akhirnya Nazwa diizinkan pihak pesantren untuk pulang, dan segera ditelpon ayahnya agar bisa menjemputnya.

Hari ketiga kesehatan bu Fia kembali pulih dan kabar gembira dari dokter bahwa besok boleh meninggalkan rumah sakit. “Alhamdulillah” syukurnya. Terasa lama menunggu hari esok. Sehari terasa sebulan, lama dan lama. Bu Fia sibuk dengan berkemas-kemas untuk persiapan kembali ke rumah. “Assalaamualaikum” bu Fia dikagetkan salam dari suara yang sudah tidak asing lagi. “Waalaikumsalam, Ozan…yuk masuk,” balas bu Fia sambil menyilakan agar Ozan tidak mematung di depan pintu. Senyum manis Ozan mampu mengobati kesepian bu Fia yang sendirian dari pagi,  Pak Rahardjo  sedang menjemput Nazwa ke Boyolali. Sementara sulung bu Fia sedang belajar ke negeri Jiran mengejar cita-citanya. “Ibu sudah sehat? Ozan mengawalinya. “Alhamdulillah, besok sudah boleh pulang”, “syukurlah Bu, besok saya antar pulang ya, dan ibu tidak boleh menolak.” Ozan setengah memaksa dan bu Fia tak bisa menolaknya. Hanya senyuman pertanda setuju.

Jam dinding menunjuk ke angka 10, bu Fia sudah bersiap untuk segera pulang. Di matanya hanya terbayang rumah yang sudah lima hari ia tinggalkan. “Assalamualaikum, rupanya Ozan menepati permintaannya sendiri bahwa akan mengantarkan bu Fia pulang ke rumah. Tak lama kemudian pak Rahardjo dan sosok perempuan bercadar menyampaikan salam. Tak lain sosok bercadar adalah Nazwa putri bu Fia, Nazwa langsung memeluk bu Fia sambil menangis melepas rindu. Enam bulan mereka tidak bertemu. Nazwa semakin anggun dan matang pola berpikirnya. Ozan tertegun melihat dan mendengar ucapan kerinduan antara ibu dan putri bungsunya. Hingga bu Fia lupa mengenalkan Nazwa ke Ozan muridnya. “Nazwa ini Kak Ozan, yang menolong Bunda kemarin, dan Ozan, ini Nazwa putri ibu yang sekarang sedang magang di Boyolali,” bu Fia mengenalkan keduanya. Nazwa menunduk sambil memberi salam hormat pada Ozan. Dan dibalas dengan senyum manis Ozan.
Itulah awal pertemuan mereka yang sekarang menjadi keluarga kecil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 "Panoptikum Tubuh Malam" Selasa, 3 Januari 2023 Jika saja aku Memakai satu kekuatan Dalam sekejap kau akan kuhapus Aku akan berte...