Senin, 25 November 2019

Dengan Literasi Ciptakan Generasi Unggul dan Beretika



Latar Belakang
Mewujudkan generasi handal, unggul, dan berbudi adalah harapan setiap pendidik. Tidak terlalu muluk, sekurang-kurangnya generasi tersebut lebih baik dengan generasi sebelumnya. Keberhasilan mereka, kehebatan mereka, merupakan kebanggaan kita sebagai seorang pendidik. Oleh karena itu pendidik yang sukses adalah pendidik yang mampu menciptakan generasi yang lebih baik dari dirinya.

Keberhasilan pendidik tentu tak mudah diwujudkan. Apalagi di zaman teknologi semakin canggih. Pergaulan, informasi apa pun yang kita inginkan dapat dengan mudah kita peroleh. Pergaulan generasi sekarang tanpa batas. Mereka bisa melakukan apa saja dengan mudah. Fasilitas serba ada. Tinggal bagaimana kita memfilter segala informasi dan kecanggihan teknologi tersebut untuk disajikan kepada generasi penerus bangsa. Agar mereka menjadi generasi yang kita mimpikan. Semua itu tanggung jawab bersama.

Siapa generasi unggul yang beretika? Dialah yang mampu meneruskan cita-cita para pejuang Indonesia. Dialah yang mampu menghadapi tantangan kemajuan zaman. Dialah yang mampu mengendalikan sumber daya alam yang dimiliki oleh nusantara. Tentunya yang jujur, serta memiliki kepribadian yang bisa diandalkan. Yaitu generasi yang gemilang.

Mundur majunya suatu bangsa bergantung pada generasi mudanya. Jika dalam suatu bangsa dan negara memiliki generasi yang gemilang, maka bangsa tersebut akan menjadi negara yang maju. Kegemilangan anak bangsa bisa diukur dengan pendidikan. Jika pendidikan di sebuah negara itu baik, maka akan tercipta generasi yang baik. Sebaliknya, jika dalam suatu negara proses pendidikannya jelek, maka tercipta generasi yang amburadul. Pada dasarnya setiap anak bangsa tentunya memiliki cita-cita yang baik, akan tetapi cita-cita tersebut harus didukung dan difasilitasi dengan berbagai sistem, di antaranya adalah sistem Literasi.

Gerakan Literasi sekolah memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Salah satu kegiatan di dalam gerakan tersebut adalah kegiatan 15 menit membaca buku nonpelajaran sebelum waktu belajar dimulai. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat baca murid serta meningkatkan ketrampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai dengan baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan local, nasional, dan global sesuai dengan perkembangan murid., dan memotivasi siswa agar mempunyai mimpi yang lebih baik.

Dalam penyelenggaraan pendidikan tidak akan berhasil tanpa dibarengi dengan pelaksanaan yang baik. Selain itu juga budaya belajar yang baik, metode yang baik, prinsip yang baik, dan memotivasi murid agar memunyai cita-cita yang lebih baik. Untuk menjalankan semua itu maka harus menggerakkan literasi di sekolah dengan sebaik-baiknya. Maka kini penulis menulis artikel ini berjudul “Dengan Literasi Ciptakan Generasi Unggul dan Beretika”.

Pembahasan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempercepat arus globlasisasi. Persaingan dalam kancah nasional maupun internasional semakin cepat. Apalagi Indonesia sudah masuk era revolusi 4.0. Untuk menghadapi persaingan tersebut diperlukan manusia-manusia unggul yang beretika. Hanya manusia unggul yang beretikalah yang mampu memenangkannya. Keunggulan tersebut sebaiknya tidak hanya secara pribadi, namun bisa berkelompok, hingga unggul sebangsa dan setanah air.

Generasi unggul yang beretika dapat diartikan sebagai generasi yang lebih baik dan berusaha keras untuk meraih prestasi. Generasi yang memiliki kecerdasan dan karakter yang mantap di dalam dirinya, selalu berdampak positif bagi diri sendiri, sesama, dan lingkungannya. Generasi tersebut juga telah mengalami pembentukan rasio secara matang di dalam dirinya. Sehingga mampu menghindari setiap perilaku tak bermoral dan kontra produktif lainnya.

Untuk menjadi generasi unggul yang beretika bukan sebuah kebetulan. Melainkan hasil dari proses yang diciptakan dan harus dimulai sejak dini. Menurut Byrnes, pendidikan anak usia dini akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya. Hal itu penting, karena di usia inilah akan terbentuk pendidikan yang bagus.

Menciptakan generasi unggul memang sulit dan butuh perjuangan. Namun akan lebih sulit jika manusia hidup tanpa sikap unggul yang melekat pada dirinya. Prasyarat untuk menjadi manusia yang unggul dan beretika yaitu memiliki kemampuan mengoreksi sikap mentalnya, lingkungan, dan sistem yang harus kondusif, dan memperbanyak silaturrahim. (Gymnastiar, 2002)

Kemampuan mengoreksi sikap mental bertujuan supaya bisa lebih ulet dan gigih dalam memacu dan menempah diri dibandingkan dengan orang lain. Sementara lingkungan berperan penting untuk menciptakan sebuah prestasi. Hal ini diyakini oleh penganut aliran behaviorisme, bahwa lingkungan pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan hidup seseorang. Oleh karena itu, generasi unggul yang beretika harus diciptakan dan salah satu caranya adalah melalui pendidikan.

Seperti yang kita ketahui bahwa manusia memiliki kecerdasan berbeda-beda. Ada empat kecerdasan manusia, di antaranya: kecerdasan fisik, kecerdasan mental, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual. Demikian juga seorang murid, sebagai guru kita harus menggali dan mengembangkan kecerdasan yang dimiliki murid. Dengan harapan akan tercipta generasi yang gemilang.

Membangun karakter dan watak generasi gemilang melalui pendidikan mutlak diperlukan. Hal tersebut tidak hanya dilakukan di sekolah, namun dimulai dari lingkungan rumah dan masyarakat. Baik di lingkungan rumah maupun masyarakat diperlukan tokoh-tokoh yang patut diteladani. Di lingkungan sekolah, guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan secara tidak langsung juga menjadi teladan bagi para murid. Dengan demikian untuk membentuk karakter murid dimulai dari teladan para pendidik, terutama guru.

Karekter tidak dapat dikembangkan secara cepat dan instan, tetapi melalui proses yang panjang dan sistemik. Pendidikan karakter harus dilakukan berdasarkan tahap-tahap perkembangan anak usia dini sampai dewasa. Pernyataan tersebut didukung oleh pemikiran Kohlberg (1992) bahwa ada empat tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan, yaitu  (a)  tahap pembiasaan sebagai awal perkembangan karakter anak, (b) tahap pemahaman dan penalaran terhadap nilai, sikap, perilaku, dan karakter murid, (c) tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan sehari-hari, dan (d) tahap pemaknaan yaitu tahap refleksi dari para siswa melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka pahami dan lakukan. Jika seluruh tahap ini telah dilalui, maka pengaruh pendidikan terhadap pembentukan karakter murid akan berdampak secara berkelanjutan.

Dari pernyataan-pernyataan di atas, kita bisa menggarisbawahi bahwa untuk menghasilkan generasi unggul, cerdas, dan berkarakter maka orientasi pendidikan tidak hanya berfokus pada kecerdasan saja, tetapi juga pada kekuatan nilai-nilai moral yang harus diterapkan dalam keseharian. Selain itu pendidikan karakter harus dimulai dari sejak dini dan didukung dengan peran serta orang tua, masyarakat, dan sekolah. la akhirnya generasi Indonesia memiliki karakter yang baik yang secara spontan akan tercermin pada tingkah laku kesehariannya.

Setelah Indonesia memiliki generasi gemilang dan berkarakter, maka tugas guru belum selesai. Ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Bagaimana mengantarkan generasi gemilang mengahadapi tantangan revolusi 4.0. Tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak hal yang harus dilakukan, salah satu di antaranya terus memotivasi untuk memperluas wawasan. Luasnya wawasan bisa dilakukan dengan membudayakan literasi yang sebenarnya. Hingga akhirnya murid bisa berdaya yang berwirausaha.

Literasi merupakan kemampuan menalar yang berkait dengan kemampuan analisa, sintesa, dan evaluasi informasi yang bisa ditumbuhkan dengan terintegrasi dalam pelajaran. Banyak miskonsepsi tentang literasi. Membaca buku 15 menit sebelum pembelajaran dimulai, merupakan kegiatan yang dianggap sebagai beban semata. Mengapa demikian? Sebagian besar masyarakat memaknai literasi adalah membaca. Kenyataannya bukan demikian, literasi berhubungan dengan banyak hal. Hingga akhirnya menumbuhkan kreativitas dan inovasi murid.

Manfaat literasi meliputi berbagai aspek perkembangan. Bukan hanya kognitif, namun mencakup juga sosial, bahasa, dan emosi. Literasi berkait dengan keterampilan belajar dan mengambil keputusan, juga penyesuaian diri dengan lingkungan. Salah satu ciri masyarakat di masa kini yang nantinya ada di masa depan adalah jumlah informasi yang sangat banyak, jenis pekerjaan yang menuntut penalaran tingkat tinggi, semua itu membutuhkan literasi.

Kesimpulan
Lengkaplah sudah jika generasi gemilang, berkarakter, serta luas wawasannya. Guru tinggal mengarahkan kemana murid mengembangkan wirausahanya. Baik di bidang tulis menulis maupun wira usaha lainnya. Berkaca dari Menteri Pendidikan Nadim Makarim, sebelum menjabat sebagai pengusaha Gojek yang sangat terkenal. Terobosan-terobosan yang dilakukan beliau sangat diacungi jempol. Itulah teladan bagi  murid di zaman milenial ini.
Untuk mewujudkan impian penulis telah menciptakan generasi gemilang yang berdaya, telah tersebut murid yang bernama Aisy Rahmadani. Dari kegemaran dia mengamati lingkungan, membaca buku, dan kegiatan yang lain, otomatis dia memiliki wawasan yang luas. Pantaslah dia berhasil menulis dua buku novel. Dan kini dia melanjutkan studinya ke negeri Cina. Tidak hanya Aisy, masih banyak murid-murid hebatku yang telah berinovasi dan berkreasi hingga berhasil di bidangnya.














Banjir Pujian di Hari Guru Nasional


Oleh Alfi Faridian

Semua media Sosial dimarakkan dengan postingan “Selamat Hari Guru”. Mulai dari Faceebook, Instagram, Line, sampai Status pribadi Whatsap isinya sama. Bermacam-macam kata indah yang tercantum pada postingan tersebut. Dalam bentuk video pun tak kalah menariknya. Aku sebagai guru bangga dibuatnya.

Guru merasa tersanjung di 25 November ini. Dunia maya seakan milik semua guru. Haru biru tak terkecuali yang kurasa saat itu. Ucapan, pujian, terus mengalir dari sahabat, demikian juga murid-muridku. Tak terkecuali doa dari mereka untuk kesuksesan, kesehatan terutama dipanjatkan untukku. Bak ratu sehari yang dibanjiri puji-pujian.

Hari itu terasa berbeda, ada yang istimewa. Semua berita mengabarkan sesuatu yang indah dan elegan bagi sang guru. Entah sihir apa yang menimpa masyarakat, hingga sanjungan, bukan umpatan yang diberikan kepada guru. Guru adalah insan cendekia, yang pantas menerima sanjungan tersebut. Sosok yang bisa mengubah dunia.

Wahai guru! Apa yang harus dilakukan setelah banjir sanjungan? Tak selamanya sanjungan diberikan oleh masyarakat. Saatnya kita harus berbenah. Jangan merasa aman pada zona nyaman. Berubahlah sebelum zaman menggerus kepiawaian seorang guru. Asah kompetensi hingga ilmu bisa dikuasai. Banyak yang harus dilakukan untuk menggapainya.

Guru adalah manusia biasa. Terkadang juga mempunyai kesalahan. Tetapi sebagai insan biasa juga memiliki perasaan. Ketika dihujat, dimusuhi, bahkan sampai ada yang meregang nyawa saat menaruhkan harga diri, kami tetap manusia biasa yang memiliki rasa. Bagaikan nila setitik, rusaklah susu sebelanga, itulah biasanya yang sering terjadi. Kesalahan yang secuil bisa menghapuskan kebaikan yang kita perbuat.

Dengan adanya hari guru, saya lebih percaya diri. Beban untuk mengantarkan murid ke gerbang kesuksesan terasa ringan. Hal ini dikarenakan semua sanjungan menumbuhkan energi positif bagi guru. Guru perlu belajar, untuk menjadi guru yang kekinian. Bagaimana guru kekinian? Guru yang terus mau belajar. Guru yang terus berkreasi dan berinovasi.

Minggu, 24 November 2019

Putih Berkata Merah

Jika hujan tak mau turun bukan berarti panas terus menggantung
Pun... jiwa putih berkata pedih
Kapan mau berkasih, sementara awan terus menghadang.

Jika putih salju tak menabur bumi, bukan berarti dingin rindu tak terganti peluh.
Memang masihkah tersisa ruang...
Sedang benih sawi tetap tersemat di dalam hati.

Di mana nama itu aku putuskan
Jika balut rindu kian mncercah
Akan rasa kehilangan jejak
Rentang meradang jiwa kotor
Oleh serpihan mutiara berkelok rupa
Tetap saja membekas lara

Tak pernah pudar berkerlip mata
Jelaskan pada mimpi dalam kenangan
Alihkan mata berpencar rasa
Tepisnya ragu kian merekat
Usap merebah balutan jingga
Resah kalbu entah kenapa

Remah kelopak dahlia senyum merekah
Ajak kumbang tebarkan kelana
Hiasi pipi ranum merah mudah
Angkuh melunak tekan imaji
Riuh gemuruh dada bergejolak
Jangan singkirkan semua rasa
Anggap saja putih berkata merah.

Jumat, 15 November 2019

Sebuah Nama 2



Maret 2018

Tiba-tiba gawaiku berbunyi. Malam itu sunyi tanpa angin. Panas hawa menyusuri rumahku yang hanya berukuran 5 meter kebelakang 15 meter. Bisa dibayangkan dua petak kamar berukuran sedang melengkapi ruangan rumahku. Tempat istirahat, tempat melepas penat, yang seharian waktuku habis di sekolah untuk mengamalkan ilmu yang kupunya.

Kusapu dari atas ke bawah gawai putihku. Satu-satunya alat untuk menjalin komunikasi dengan murid-muridku. Serta sahabat-sahabatku. Demikian juga dengan rekan kerjaku. Warna hijau muncul dengan nomor yang tak kukenal. Kubuka tertulis salam sebagai pembuka dari orang di seberang sana. Entah perhatianku tak focus pada tulisan itu. Lalu kuulang lagi dengan memperhatikan nomor yang baru masuk dalam deretan kontak WhatsApp-ku. Astaghfirullah… kuperhatikan foto DP yang muncul di nomor asing itu. Debar jantungku seketika berdetak kencang. Sekencang karapan sapi di Madura, bahkan lebih kencang. Aku ulang lagi salamnya…. Ku ulang lagi. Hampir tak percaya. Jemariku tak mampu menulis kata-kata untuk membalasnya. Namun pikirku ingin segera menjawab salam itu. Aku seperti dihipnotis dengan nomor iru. Betapa kuatnya sihir yang dilewatkan pada nomor asing itu. Apalagi setelah kulihat gambar yang tertera.

Gemeretak jantungku mengiringi jemari menulis jawaban itu. Tak terasa aku teteskan air mata entah apa makna buliran itu. Senang, ragu, sedih, haru, bangga, entah apa namanya tak bisa melukiskan perasaanku saat itu.

Seperempat abad lebih dia muncul secara tiba-tiba. Entah angin apa yang membawa ke dalam gawaiku. Anugerah yang luar biasa bisa melihat wajahnya, serta berkomunikasi dengannya. Nama yang sering kusebut lewat doa muncul seketika. Apakah ini sebuah jawaban dari semua doa-doaku selama ini. aku hanya percaya bahwa Allah-lah yang membawa nama itu dalam keseharianku. Hampir tak kupercaya, nama yang sekian lama hilang kini muncul dengan karakter yang sama.
Ketika aku hanya berilusi nama itu hadir dalam pelukanku. Tiba-tiba hadir dalam kenyataan. Tapi sebentar dan kini hilang lagi.

Ketika dia hadir, banyak sekali yang dia berikan dalam bagian hidupku. Hanya aku dan dia yang tahu. Bahwa kami sempat mengulang masa-masa itu. Masa tiga puluh tahun yang lalu. Kami sempat melepas rindu masing-masing. Saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Dan saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kami sama-sama ingin masa itu. Kami ingin bercinta lagi, kami ingin saling memiliki lagi, kami ingin segalanya kan terwujud lagi. Tapi tak mungkin.

Andai waktu bisa diputar ke masa lalu, itulah ungkapan kami. Kami saling menyayangi, kami saling merindui, kami saling maratapi, kami saling berbagi kasih, kami  berkhayal saling memiliki, kami saling takut kehilangan kembali.
Jika rindu sudah membuncah, kami bertemu. Tiada yang tahu. Bercerita, bercanda, bergelak tawa bersama, cukup membuat hati kami terobati.
Namun semua itu seperti mimpi…. Tiada angin…tiada hujan kamu pergi…….

Belajar Menulis Cerpen Ala Milenial


Oleh Alfi Faridian
Menulis merupakan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh murid. Kegiatan menulis merupakan kegiatan menuangkan ide dalam bahasa tulis. Keterampilan yang memerlukan latihan terus menerus ini tidak semua murid menyukai. Namun tak jarang juga murid-murid yang memilih menjadi hobi utamanya.

Jangan salah memaknai kata menulis. Menulis bukan menyalin. Banyak orang beranggapan bahwa menulis adalah kegiatan yang monoton. Dikarenakan, menulis dilakukan dengan cara duduk di belakang meja, dan terus duduk sampai kita menyelesaikan tuangannya. Hal itulah terkadang murid menjadi tidak menyukai kegiatan ini.

Saat saya mengajarkan bagaimana murid memahami teks Cerpen, sempat kebingungan. Mengapa demikian? Pada materi Bahasa Indonesia yang dipelajari adalah macam-macam teks yang diidentifikasi dan dianalisis. Dan pada akhirnya murid harus bisa memproduksi teks tersebut. Saya harus memutar otak lagi, bagaimana cara menyajikan materi ini dengan menyenangkan, tentunya tidak mengulang  metode yang sama seperti materi teks sebelumnya. Ibarat menyajikan menu ke pelanggan, seorang koki harus bisa menampilkan bentuk dan model yang beda walaupun menu yang disajikan hampir sama.

Sebagai guru dituntut untuk kreatif dan selalu inovatif. Jika murid dituntut untuk bisa bersaing dengan negara lain, bagaimana dengan gurunya? Guru harus lebih bisa dari murid, walaupun guru bukan satu-satunya sumber belajar. Di tangan gurulah murid akan bisa menghadapi tantangan di zaman yang serba canggih ini. Dengan demikian, guru juga harus terus belajar untuk mengembangkan ilmu dan kompetensinya.

Ketika saya berusaha menyiapkan menu materi untuk disajikan kepada siswa, teringat permainan ular tangga yang dikolaborasikan dengan barcode. Sebuah perpaduan yang menarik antara jenis permainan masa lalu dengan barcode yang bisa diunduh melalui gawai. Dengan harapan murid akan menerima materi penuh semangat dan muda memahaminya.

Setelah mengalami uji coba media Ular Tangga Barcode siap digunakan oleh murid. Jika Anda saat masa kecil gemar bermain ular tangga tidak mengalami kesulitan. Hanya saya bedakan di setiap kotak tertempel barcode yang berisi pertanyaan. Media ini untuk memudahkan murid belajar mengidentifikasi dan menganalisis teks cerpen.
Secara bergantian masing-masing kelompok memainkan dadunya, dan mendapatkan angka berapa, lalu harus melangkah sesuai nomor yang muncul pada dadu. Setelah di-Scane, kelompok akan mendapatkan pertanyaan sesuai dengan cerpen yang sebelumnya dibagikan oleh guru. Masing-masing kelompok mendiskusikannya dan menetapkan jawaban yang betul. Jika berhasil menjawab betul mendapatkan 100 point

Keseruan media ini juga didapatkan dari permainannya. Jika saat melempar dadu lalu angka yang muncul sampai pada ular maka harus turun dan wajib bayar pajak 10 point, sedangkan jika sampai pada tangga maka ada bonus 25 point. Akhirnya masing-masing kelompok tertantang untuk mendapatkan point sebanyak-banyaknya. Begitu seterusnya hingga permainan berakhir.

Setelah murid memahami teks cerpen, saatnya berlatih bagaimana menulis cerpen dengan indah. Agar semakin keren guru terus berinovasi. Baik media maupun metode pembelajarannya. Bagaimana murid bisa menulis dengan senang dan gembira?
Di pertemuan kedua, murid di kelas yang sama saya kelompokkan menjadi tiga. Kelompok pertama golongan yang tidak suka menulis, kelompok kedua sedang-sedang saja, sedangkan kelompok ke tiga mereka yang memiliki hobi menulis. Ternyata di kelas tersebut didominasi oleh murid-murid yang tidak suka menulis. Setelah saya tanya alasan mengapa mereka tidak suka menulis, jawabnya “malas”, “lebih suka berbicara”, “tidak ada mood”, “capek” dan seterusnya. Sedangkan yang sedang-sedang saja, mereka menjawab “ketika sedang menulis, tiba-tiba buntu”. Ketika pertanyaan yang sama yang ungkapkan kepada murid-murid yang memiliki hobi menulis, rata-rata mereka sudah membiasakan diri menulis jika ada permasalahan. Ada yang punya buku harian dan sebagainya.

Bagaimana membangkitkan murid yang sudah tidak memiliki kesukaan pada menulis? Mereka menganggap menulis adalah kegiatan yang membosankan, membuat ngantuk, dll. Dan itu terjadi pada hampir separuh jumlah murid di setiap kelas. Ini adalah tantangan seorang guru. Guru harus selalu memotivasi murid untuk melakukan inovasi-inovasi positif, termasuk menulis.

Setelah mengetahui keadaan murid di kelas tersebut, maka saya harus melakukan sesuatu. Mereka saya ajak mengungkapkan pendapatnya tentang “menulis itu tidak ada kata terlambat”di kertas yang sudah saya sediakan. Setelah mereka mengungkapkan opininya, tulisan tersebut ditempel di dinding kelas, dan masing-masing murid harus membacanya. Jika mereka menyukai salah satu opini temannya, wajib memberikan pendapat. Setelah saya perhatikan opini mereka luar biasa, dan bagus-bagus. Kemudian dengan langkah yang sama, mereka harus memberikan opini tentang “menulis itu tidak harus dari bakat” dengan kegiatan yang sama, ternyata ide-ide mereka sangat cemerlang. Nah, di sinilah saatnya saya membangun kepercayaan dalam diri murid, bahwa mereka bisa menulis. Ternyata menulis itu bisa dimulai kapan saja. Ternyata menulis itu tidak harus sesuai bakat. Kegiatan menulis bisa dilakukan karena ada kemauan.

Kegiatan terakhir, mereka saya ajak menulis satu paragraf dengan cara menyambung kalimat. Orang pertama menuliskan satu kalimat, kemudian diberikan kepada orang kedua, dan orang kedua meneruskan kalimat kedua, begitu seterusnya sampai orang ke lima. Setelah menjadi satu paragraf, tulisan dikembalikan ke pemiliknya. Mereka tertawa bahagia, tidak disangka bahwa tulisan tersebut menjadi sebuah paragraf yang baik dan indah.

Sebelum pembelajaran berakhir, saya berikan tips-tips bagaimana menulis itu muda dilakukan. Jika tidak ada mood apa yang harus dilakukan? Kita bisa membaca karya orang lain untuk menambah dan memperkaya ide agar bisa meneruskan menulis lagi. Akhirnya mereka merasa bahwa menulis itu menyenangkan. Dengan semangat mereka  menulis cerpen. Karena pada dasarnya keterampilan menulis bisa dilakukan oleh siapa saja, asalkan terus diasah dan ada kemauan.

Alhamdulillah, setelah berhasil mengubah mind side murid-murid, bahwa menulis itu menyenangkan, mereka ada kemauan menulis cerpen sebagai tagihan akhir proses pembelajaran. Tidak satu pun siswa yang malas melakukannya. Tagihan itu dia selesaikan dengan gembira dan penuh rasa percaya diri. Satu keberhasilan yang sangat memuaskan bahwa yang kita lakukan bisa diterima murid-murid. Bukan tidak mudah tetapi melalui proses berinovasi dan berkreasi. Ternyata membelajarkan murid agar berhasil mencapai kompentensi harus dilakukan dengan aksi bukan sekadar tradisi.

Jumat, 08 November 2019

Ubah Emosi Menjadi Empati Wujudkan Generasi Berprestasi


Sebut saja Hasan dan Lintang. Murid kelas XII di sekolah tempatku mengajar. Mereka anak istimewa. Saya katakan istimewa karena mereka tergolong murid yang hiperaktif. Selalu membuat gaduh hingga murid yang lain bersorak riuh. Itulah yang selalu mereka lakukan sehari-hari, hingga terkadang membuat saya terpancing untuk marah.
Suatu hari saya menyampaikan materi tentang menganalisis teks editorial. Sebelum melakukan kegiatan, siswa berkelompok sesuai dengan arahan saya. Seperti yang saya dapatkan dari KGB, pembentukan kelompok dengan cara menyenangkan. Alhasil terbentuklah kelompok di kelas tersebut. Perkelompok 4 siswa. Masing-masing anggota mendapatkan tugas sesuai dengan potensi mereka. ada yang bertugas sebagai juru bicara, ada yang bertugas sebagai notulis, dan distributor, dan tentunya ada yang memimpin.
Bagaimana dengan Hasan dan Lintang? Saat pembagian kelompok mereka izin meninggalkan kelas karena ada hajat ke kamar mandi. Mereka berkelompok beranggotakan Hasan dan Lintang. Ya hanya berdua. Saya ingin mereka lebih bertanggungjawab dengan apa yang dia lakukan. Mereka sempat protes mengapa teman-teman yang lain berkelompok dengan jumlah anggota empat murid sedangkan mereka hanya berdua.
Menganalisis teks editorial memang membutuhkan konsentrasi tinggi. Struktur dan kebahasaan dari tiga bentuk teks diidentifikasi lalu dianalisis. Kegiatan tersebut membutuhkan kerja sama dan dalam waktu yang tidak sebentar. Murid yang lain begitu serius mengerjakan lembar tugas, sementara Hasan dan Lintang meninggalkan kelas tanpa izin. Sebuah bentuk ketidakpuasan perilaku dari saya. Mereka menganggap ada ketidakadilan yang mereka  terima dengan rasa terpaksa. Begitulah yang dia rasakan.
Pada pertemuan kedua, mereka menemui saya untuk memohon bisa bergabung dengan kelompok lain. Saya tetap menjawab tidak. Jawaban tersebut merupakan terapi bagi mereka agar tidak mengulangi kebiasaan melepas tanggung jawab. Kemudian apa yang dia lakukan? Tanpa minta izin, mereka keluar ruangan sambil membanting pintu. Astaghfirullah saya hanya melihat pemandangan tersebut. Dengan banyak pertimbangan saya tidak harus menuruti emosi, karena dengan emosi bukan cara memecahkan persoalan. Itu yang saya dapatkan setelah bergabung dengan Kampus Guru Cikal dan Komunitas Guru Belajar.
Mereka berdua saya panggil. Saya ajak berbicara dengan kepala dingin. Tanpa emosi, mereka akhirnya memahami apa yang saya lakukan. Dengan hati tulus saya dampingi mereka untuk mengerjakan lembar kerjanya. Mereka bersemangat menyelesaikannya. Dengan teliti dan ketekunan mereka berhasil menuntaskan masing-masing lembar tugas. Dan akhirnya mereka bisa mengerjakan Lembar tugas yang saya berikan.
Nah! Apa yang bisa kita ambil dari peristiwa tersebut? Sebagai guru tidak harus mendahulukan emosi untuk menyelesaikan sebuah persoalan. Rasa empati harus dimunculkan untuk mendekati murid. Guru harus peka terhadap masalah yang dihadapi murid. Bukan malah menambah masalah baru bagi siswa. Tetapi kita harus bisa membantu menyelesaikan masalah yang dialami murid.
Murid di masa SMA masih tergolong labil. Pada umumnya mereka masih ingin menemukan jati dirinya. Dengan berproses diharapkan mereka bisa berpikir dewasa. Di mana tempat berprosesnya? Tentu salah satunya di sekolah. Sekolah yang di dalamnya ada guru dan tenaga pendidik, diharapkan tercipta lingkungan sehat bagi murid. Oleh karena itu peran guru sangat mendukung bagi perkembangan pribadi seorang murid.
Kecanggihan teknologi sangat membantu murid untuk mendapatkan informasi. Apapun yang mereka butuhkan tinggal klik langsung tersedia. Tidak harus repot-repot mencari kesana dan kemari. Oleh karena itu bisa dikatakan mereka dimanjakan oleh kecanggihan teknologi tersebut. Sering terjadi murid mengeluh jika mendapatkan tantangan dari guru. Siswa enggan dan bermalas-malasan ketika guru memberikan materi yang agak rumit. Inginnya instan, ingin yang mudah, dengan mencapai hasil yang bagus tanpa ada perjuangan. Bagaimana sikap kita sebagai guru?
Tak henti-hentinya memberi motivasi, ujar guru X. Sering juga saya panggil, jika tidak ada perubahan saya minta murid membuat surat pernyataan, Imbuhnya. Dengan nada tinggi, seolah-olah apa yang dilakukan adalah benar. Begitu antusiasnya guru menceritakan muridnya yang selalu membuatnya naik darah. Lalu setelah menulis surat pernyataan, apakah ada perubahan sikap pada murid? Ada perubahan memang tapi beberapa waktu kemudian kembali dengan sikap yang semula. Empati! Ya, rasa empati selama ini tidak dimunculkan oleh guru X.
Pentingnya rasa empati seorang guru terhadap murid. Berawal dari peristiwa Hasan dan Lintang tersebut di atas. Empatilah yang mengubah amarahnya. Sebagai guru harus bisa mengolah hati dan emosi. Kita harus bisa mengubah emosi menjadi empati, walau tidak mudah. Selain itu kita berikan sentuhan fisik dan sentuhan batin. Kita ajak berbicara dengan hati, murid akan dengan mudah kita arahkan. Bisa dibayangkan jika kita menuruti emosi yang berbicara, apa yang akan terjadi? Hanya membuat kita kecewa dan sakit, dan siswa pun tetap pada egonya. Karena emosi bukan jembatan untuk menyelesaikan masalah di antara murid dan guru, malah memunculkan masalah baru.
Setelah proses pendekatan menggunakan empati, Hasan dan Lintang dengan semangat mengerjakan tugas yang saya berikan. Begitulah murid milenial. Orang berkata mereka anak zaman now. Pandai-pandainya seorang guru bersikap. Sedikit salah sentuhan fatal akibatnya. Bak Kristal asli bukan KW, jika sudah jatuh, remuk, sulit untuk diutuhkan. Demikian pula tidak akan mengeluarkan sinar gemerlapnya.


 "Panoptikum Tubuh Malam" Selasa, 3 Januari 2023 Jika saja aku Memakai satu kekuatan Dalam sekejap kau akan kuhapus Aku akan berte...