Jumat, 15 November 2019

Sebuah Nama 2



Maret 2018

Tiba-tiba gawaiku berbunyi. Malam itu sunyi tanpa angin. Panas hawa menyusuri rumahku yang hanya berukuran 5 meter kebelakang 15 meter. Bisa dibayangkan dua petak kamar berukuran sedang melengkapi ruangan rumahku. Tempat istirahat, tempat melepas penat, yang seharian waktuku habis di sekolah untuk mengamalkan ilmu yang kupunya.

Kusapu dari atas ke bawah gawai putihku. Satu-satunya alat untuk menjalin komunikasi dengan murid-muridku. Serta sahabat-sahabatku. Demikian juga dengan rekan kerjaku. Warna hijau muncul dengan nomor yang tak kukenal. Kubuka tertulis salam sebagai pembuka dari orang di seberang sana. Entah perhatianku tak focus pada tulisan itu. Lalu kuulang lagi dengan memperhatikan nomor yang baru masuk dalam deretan kontak WhatsApp-ku. Astaghfirullah… kuperhatikan foto DP yang muncul di nomor asing itu. Debar jantungku seketika berdetak kencang. Sekencang karapan sapi di Madura, bahkan lebih kencang. Aku ulang lagi salamnya…. Ku ulang lagi. Hampir tak percaya. Jemariku tak mampu menulis kata-kata untuk membalasnya. Namun pikirku ingin segera menjawab salam itu. Aku seperti dihipnotis dengan nomor iru. Betapa kuatnya sihir yang dilewatkan pada nomor asing itu. Apalagi setelah kulihat gambar yang tertera.

Gemeretak jantungku mengiringi jemari menulis jawaban itu. Tak terasa aku teteskan air mata entah apa makna buliran itu. Senang, ragu, sedih, haru, bangga, entah apa namanya tak bisa melukiskan perasaanku saat itu.

Seperempat abad lebih dia muncul secara tiba-tiba. Entah angin apa yang membawa ke dalam gawaiku. Anugerah yang luar biasa bisa melihat wajahnya, serta berkomunikasi dengannya. Nama yang sering kusebut lewat doa muncul seketika. Apakah ini sebuah jawaban dari semua doa-doaku selama ini. aku hanya percaya bahwa Allah-lah yang membawa nama itu dalam keseharianku. Hampir tak kupercaya, nama yang sekian lama hilang kini muncul dengan karakter yang sama.
Ketika aku hanya berilusi nama itu hadir dalam pelukanku. Tiba-tiba hadir dalam kenyataan. Tapi sebentar dan kini hilang lagi.

Ketika dia hadir, banyak sekali yang dia berikan dalam bagian hidupku. Hanya aku dan dia yang tahu. Bahwa kami sempat mengulang masa-masa itu. Masa tiga puluh tahun yang lalu. Kami sempat melepas rindu masing-masing. Saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Dan saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Kami sama-sama ingin masa itu. Kami ingin bercinta lagi, kami ingin saling memiliki lagi, kami ingin segalanya kan terwujud lagi. Tapi tak mungkin.

Andai waktu bisa diputar ke masa lalu, itulah ungkapan kami. Kami saling menyayangi, kami saling merindui, kami saling maratapi, kami saling berbagi kasih, kami  berkhayal saling memiliki, kami saling takut kehilangan kembali.
Jika rindu sudah membuncah, kami bertemu. Tiada yang tahu. Bercerita, bercanda, bergelak tawa bersama, cukup membuat hati kami terobati.
Namun semua itu seperti mimpi…. Tiada angin…tiada hujan kamu pergi…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 "Panoptikum Tubuh Malam" Selasa, 3 Januari 2023 Jika saja aku Memakai satu kekuatan Dalam sekejap kau akan kuhapus Aku akan berte...