Jumat, 08 November 2019

Ubah Emosi Menjadi Empati Wujudkan Generasi Berprestasi


Sebut saja Hasan dan Lintang. Murid kelas XII di sekolah tempatku mengajar. Mereka anak istimewa. Saya katakan istimewa karena mereka tergolong murid yang hiperaktif. Selalu membuat gaduh hingga murid yang lain bersorak riuh. Itulah yang selalu mereka lakukan sehari-hari, hingga terkadang membuat saya terpancing untuk marah.
Suatu hari saya menyampaikan materi tentang menganalisis teks editorial. Sebelum melakukan kegiatan, siswa berkelompok sesuai dengan arahan saya. Seperti yang saya dapatkan dari KGB, pembentukan kelompok dengan cara menyenangkan. Alhasil terbentuklah kelompok di kelas tersebut. Perkelompok 4 siswa. Masing-masing anggota mendapatkan tugas sesuai dengan potensi mereka. ada yang bertugas sebagai juru bicara, ada yang bertugas sebagai notulis, dan distributor, dan tentunya ada yang memimpin.
Bagaimana dengan Hasan dan Lintang? Saat pembagian kelompok mereka izin meninggalkan kelas karena ada hajat ke kamar mandi. Mereka berkelompok beranggotakan Hasan dan Lintang. Ya hanya berdua. Saya ingin mereka lebih bertanggungjawab dengan apa yang dia lakukan. Mereka sempat protes mengapa teman-teman yang lain berkelompok dengan jumlah anggota empat murid sedangkan mereka hanya berdua.
Menganalisis teks editorial memang membutuhkan konsentrasi tinggi. Struktur dan kebahasaan dari tiga bentuk teks diidentifikasi lalu dianalisis. Kegiatan tersebut membutuhkan kerja sama dan dalam waktu yang tidak sebentar. Murid yang lain begitu serius mengerjakan lembar tugas, sementara Hasan dan Lintang meninggalkan kelas tanpa izin. Sebuah bentuk ketidakpuasan perilaku dari saya. Mereka menganggap ada ketidakadilan yang mereka  terima dengan rasa terpaksa. Begitulah yang dia rasakan.
Pada pertemuan kedua, mereka menemui saya untuk memohon bisa bergabung dengan kelompok lain. Saya tetap menjawab tidak. Jawaban tersebut merupakan terapi bagi mereka agar tidak mengulangi kebiasaan melepas tanggung jawab. Kemudian apa yang dia lakukan? Tanpa minta izin, mereka keluar ruangan sambil membanting pintu. Astaghfirullah saya hanya melihat pemandangan tersebut. Dengan banyak pertimbangan saya tidak harus menuruti emosi, karena dengan emosi bukan cara memecahkan persoalan. Itu yang saya dapatkan setelah bergabung dengan Kampus Guru Cikal dan Komunitas Guru Belajar.
Mereka berdua saya panggil. Saya ajak berbicara dengan kepala dingin. Tanpa emosi, mereka akhirnya memahami apa yang saya lakukan. Dengan hati tulus saya dampingi mereka untuk mengerjakan lembar kerjanya. Mereka bersemangat menyelesaikannya. Dengan teliti dan ketekunan mereka berhasil menuntaskan masing-masing lembar tugas. Dan akhirnya mereka bisa mengerjakan Lembar tugas yang saya berikan.
Nah! Apa yang bisa kita ambil dari peristiwa tersebut? Sebagai guru tidak harus mendahulukan emosi untuk menyelesaikan sebuah persoalan. Rasa empati harus dimunculkan untuk mendekati murid. Guru harus peka terhadap masalah yang dihadapi murid. Bukan malah menambah masalah baru bagi siswa. Tetapi kita harus bisa membantu menyelesaikan masalah yang dialami murid.
Murid di masa SMA masih tergolong labil. Pada umumnya mereka masih ingin menemukan jati dirinya. Dengan berproses diharapkan mereka bisa berpikir dewasa. Di mana tempat berprosesnya? Tentu salah satunya di sekolah. Sekolah yang di dalamnya ada guru dan tenaga pendidik, diharapkan tercipta lingkungan sehat bagi murid. Oleh karena itu peran guru sangat mendukung bagi perkembangan pribadi seorang murid.
Kecanggihan teknologi sangat membantu murid untuk mendapatkan informasi. Apapun yang mereka butuhkan tinggal klik langsung tersedia. Tidak harus repot-repot mencari kesana dan kemari. Oleh karena itu bisa dikatakan mereka dimanjakan oleh kecanggihan teknologi tersebut. Sering terjadi murid mengeluh jika mendapatkan tantangan dari guru. Siswa enggan dan bermalas-malasan ketika guru memberikan materi yang agak rumit. Inginnya instan, ingin yang mudah, dengan mencapai hasil yang bagus tanpa ada perjuangan. Bagaimana sikap kita sebagai guru?
Tak henti-hentinya memberi motivasi, ujar guru X. Sering juga saya panggil, jika tidak ada perubahan saya minta murid membuat surat pernyataan, Imbuhnya. Dengan nada tinggi, seolah-olah apa yang dilakukan adalah benar. Begitu antusiasnya guru menceritakan muridnya yang selalu membuatnya naik darah. Lalu setelah menulis surat pernyataan, apakah ada perubahan sikap pada murid? Ada perubahan memang tapi beberapa waktu kemudian kembali dengan sikap yang semula. Empati! Ya, rasa empati selama ini tidak dimunculkan oleh guru X.
Pentingnya rasa empati seorang guru terhadap murid. Berawal dari peristiwa Hasan dan Lintang tersebut di atas. Empatilah yang mengubah amarahnya. Sebagai guru harus bisa mengolah hati dan emosi. Kita harus bisa mengubah emosi menjadi empati, walau tidak mudah. Selain itu kita berikan sentuhan fisik dan sentuhan batin. Kita ajak berbicara dengan hati, murid akan dengan mudah kita arahkan. Bisa dibayangkan jika kita menuruti emosi yang berbicara, apa yang akan terjadi? Hanya membuat kita kecewa dan sakit, dan siswa pun tetap pada egonya. Karena emosi bukan jembatan untuk menyelesaikan masalah di antara murid dan guru, malah memunculkan masalah baru.
Setelah proses pendekatan menggunakan empati, Hasan dan Lintang dengan semangat mengerjakan tugas yang saya berikan. Begitulah murid milenial. Orang berkata mereka anak zaman now. Pandai-pandainya seorang guru bersikap. Sedikit salah sentuhan fatal akibatnya. Bak Kristal asli bukan KW, jika sudah jatuh, remuk, sulit untuk diutuhkan. Demikian pula tidak akan mengeluarkan sinar gemerlapnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 "Panoptikum Tubuh Malam" Selasa, 3 Januari 2023 Jika saja aku Memakai satu kekuatan Dalam sekejap kau akan kuhapus Aku akan berte...