Jumat, 06 Desember 2019

Empat Kata Ajaib Ubah Karakter Murid Lebih Baik




Oleh Alfi Faridian


Jam terakhir di kelas itu sangat tidak kondusif. Kelas bagai kapal pecah. Ada yang bernyanyi-nyanyi, mendengarkan musik, bahkan ada yang tidur lelap. Salamku saat memasuki kelas tersebut hanya beberapa murid yang membalasnya. Aku hampir tak bisa menahan emosi. Namun Aku segera kontrol diri, tarik napas panjang, teringat komitmenku bahwa aku tak boleh marah ke muridku. Empati harus tetap dimunculkan.

Sekali lagi kuucapkan salam dengan lebih lantang. Bergegas pandangan mata mereka tertuju padaku. Mereka saling menyalahkan, ada yang saling menertawakan, gegap gempita pun redah. Suara nada lagu pun senyap seketika. “Lho kok pada diam, kenapa?” ucapku dengan nada tenang. “Salam saya kedua kalinya kok tidak dijawab?” pintaku secara implisit. “Waalaikumsalaaaam” serentak tidak harus diberi aba-aba. Setelah itu mereka tertawa. Riuh lagi tanpa ada alasan. Di tengah riuhnya mereka ada satu siswa dengan sengaja melontarkan istilah “Cuk!”. Rupanya dia sudah terbiasa dengan kata-kata itu. Demikian juga kata-kata tersebut juga memancing emosiku.

“Siapa yang mengeluarkan kata-kata tersebut?” aku mulai beraksi untuk menenangkan keriuhan di kelas tersebut. Dengan tanggung jawab, salah satu siswa mengakui dan langsung minta maaf padaku. Dan segera kujelaskan kata-kata tersebut makna dan akibatnya. Sering kali fenomena seperti itu terjadi di lingkungan sekolah kita.

Saat aku mengikuti TPN, ada beberapa kelas pilihan yang harus diikuti. Ada kelas kemerdekaan, ada kelas kompetensi, ada kelas karier. Ketika saya masuk di kelas kemerdekaan, saya belajar tentang empat kata ajaib. Apa saja kata ajaib tersebut, “tolong, terima kasih, permisi, dan maaf”. Empat kata tersebut jarang kita dengarkan pada murid kita, ketika mereka bergaul dengan sesamanya. Yang sering muncul justru kata-kata negative, walau mereka terkadang hanya dalam gurauan.

Yang membuat naluriku terusik, ketika pemateri menjelaskan bahwa sebuah penelitian mengungkapkan tentang nasi dan kata negatif.  Bagaimana bentuk penelitiannya? Nasi sesendok dimasukkan pada dua wadah yang sama bentuk dan besarnya. Kemudian, pada wadah tersebut ditempel dengan kata yang berbeda. Wadah pertama diberi tulisan “Cinta”, dan nasi di wadah ke dua diberi tulisan negative. Sehari dua hari keadaan nasi dalam wadah tersebut mulai Nampak perubahan. Wadah yang ditempeli kata cinta Nampak nasi masih tetap putih. Sebaliknya, di wadah ke dua, nasi mulai ada beberapa bintik hitam. Hingga hari ke lima Nampak jelas perbedaan kedua nasi tersebut. Pada wadah bertuliskan kata cinta, masih tetap putih, sedangkan pada wadah yang bertuliskan kata negative, semakin jelas muncul jamur dan menghitam.

Bagaimana hubungan dengan murid kita? Kujelaskan hal tersebut pada mereka, dan mereka diam tak bergeming. Artinya jika murid kita sering mengeluarkan kata-kata kotor, kata-kata negative, maka akan terserap dalam otak mereka, dalam hati mereka. Jika sehari-hari banyak kata negative yang mereka dengarkan, tidak bisa dibayangkan bagaimana hati mereka, pikiran mereka? Oleh karena itu, kita harus menghentikan kata-kata negative tidak dipakai lagi di lingkungan murid kita. Masih banyak kata positif sebagai bahan gurauan maupun komunikasi.

Pada jam yang sama, masing-masing siswa kuminta untuk menuliskan kata-kata negative yang sering diucapkan di papan tulis. Secara bergantian mereka antusias menuliskannya. Mengalir tanpa henti. Ternyata di pikiran mereka cukup banyak juga kata-kata negative yang dia simpan. Terhitung sampai lima puluh istilah negative yang mereka ungkapkan di papan tulis. “Coba dibaca,” pintaku. Setelah mereka membaca, salah satu murid saya suruh menghapus, dengan catatan bahwa kata-kata negative sudah tidak ada lagi dalam pikiran kita, itu pesanku buat mereka. Dan mereka menyetujuinya. Setelah itu, secara bergantian mereka kuminta untuk menuliskan kata-kata positif. Tiba di urutan siswa ke lima belas, mereka berpikir, mereka kesulitan menemukan kata-kata positif. Hal tersebut bisa jadi alasan bahwa seringnya murid menggunakan istilah negative, bisa memendam istilah positif. Dengan demikian mereka jarang yang menggunakan istilah positif.

Kenyataan ini tidak bisa dibiarkan. Jika di hati dan pikiran murid kita dipenuhi dengan istilah-istilah negative, bisa merusak proses berpikirnya. Bahkan akan merusak karakter murid itu sendiri. Kalau karakter mereka rusak, maka kita akan kesulitan memperbaikinya. Bukankah pendidikan di Indonesia berbasis karakter? Sikap merupakan hal utama yang menjadi penilaian. Kemudian, apa yang bisa kita lakukan?

Sebagai pendidik, kita harus dan selalu memberikan teladan yang baik. Demikian juga kata-kata yang kita ungkapkan harus bebas dari istilah negative. Kadang kita juga tidak menyadari bahwa pernah juga mengutarakan sesuatu dengan diksi negative. Perkembangan murid dimulai dari gurunya sendiri. Jika hal tersebut sudah membudaya, maka akan tercipta lingkungan yang bebas polusi dari diksi negative.

Sebagai guru, kita biasakan menggunakan empat kata ajaib tersebut untuk berkomunikasi dengan murid. Jika kita memerintah siswa, hendaknya mengawali dengan kata ‘tolong”. Jika kita telah melakukan kesalahan, jangan enggan untuk mengungkapkan kata “maaf”. Jika kita melewati kerumunan di antara murid, sapalah mereka dengan memulai kata “permisi”. Dan jika kita menerima sesuatu dari murid, hendaknya kita ucapkan “terima kasih”. Empat kata sederhana yang ajaib. Jika kita budayakan, mampu mengubah karakter murid dengan baik.

Salam Guru Merdeka!

 "Panoptikum Tubuh Malam" Selasa, 3 Januari 2023 Jika saja aku Memakai satu kekuatan Dalam sekejap kau akan kuhapus Aku akan berte...