Oleh Alfi Faridian
Jam terakhir di kelas itu sangat tidak kondusif. Kelas bagai
kapal pecah. Ada yang bernyanyi-nyanyi, mendengarkan musik, bahkan ada yang
tidur lelap. Salamku saat memasuki kelas tersebut hanya beberapa murid yang
membalasnya. Aku hampir tak bisa menahan emosi. Namun Aku segera kontrol diri, tarik
napas panjang, teringat komitmenku bahwa aku tak boleh marah ke muridku. Empati
harus tetap dimunculkan.
Sekali lagi kuucapkan salam dengan lebih lantang. Bergegas pandangan
mata mereka tertuju padaku. Mereka saling menyalahkan, ada yang saling menertawakan,
gegap gempita pun redah. Suara nada lagu pun senyap seketika. “Lho kok pada
diam, kenapa?” ucapku dengan nada tenang. “Salam saya kedua kalinya kok tidak
dijawab?” pintaku secara implisit. “Waalaikumsalaaaam” serentak tidak harus
diberi aba-aba. Setelah itu mereka tertawa. Riuh lagi tanpa ada alasan. Di tengah
riuhnya mereka ada satu siswa dengan sengaja melontarkan istilah “Cuk!”. Rupanya
dia sudah terbiasa dengan kata-kata itu. Demikian juga kata-kata tersebut juga
memancing emosiku.
“Siapa yang mengeluarkan kata-kata tersebut?” aku mulai
beraksi untuk menenangkan keriuhan di kelas tersebut. Dengan tanggung jawab,
salah satu siswa mengakui dan langsung minta maaf padaku. Dan segera kujelaskan
kata-kata tersebut makna dan akibatnya. Sering kali fenomena seperti itu
terjadi di lingkungan sekolah kita.
Saat aku mengikuti TPN, ada beberapa kelas pilihan yang
harus diikuti. Ada kelas kemerdekaan, ada kelas kompetensi, ada kelas karier. Ketika
saya masuk di kelas kemerdekaan, saya belajar tentang empat kata ajaib. Apa saja
kata ajaib tersebut, “tolong, terima
kasih, permisi, dan maaf”. Empat kata tersebut jarang kita dengarkan pada
murid kita, ketika mereka bergaul dengan sesamanya. Yang sering muncul justru
kata-kata negative, walau mereka terkadang hanya dalam gurauan.
Yang membuat naluriku terusik, ketika pemateri menjelaskan
bahwa sebuah penelitian mengungkapkan tentang nasi dan kata negatif. Bagaimana bentuk penelitiannya? Nasi sesendok dimasukkan
pada dua wadah yang sama bentuk dan besarnya. Kemudian, pada wadah tersebut
ditempel dengan kata yang berbeda. Wadah pertama diberi tulisan “Cinta”, dan
nasi di wadah ke dua diberi tulisan negative. Sehari dua hari keadaan nasi
dalam wadah tersebut mulai Nampak perubahan. Wadah yang ditempeli kata cinta Nampak
nasi masih tetap putih. Sebaliknya, di wadah ke dua, nasi mulai ada beberapa
bintik hitam. Hingga hari ke lima Nampak jelas perbedaan kedua nasi tersebut. Pada
wadah bertuliskan kata cinta, masih tetap putih, sedangkan pada wadah yang
bertuliskan kata negative, semakin jelas muncul jamur dan menghitam.
Bagaimana hubungan dengan murid kita? Kujelaskan hal
tersebut pada mereka, dan mereka diam tak bergeming. Artinya jika murid kita
sering mengeluarkan kata-kata kotor, kata-kata negative, maka akan terserap
dalam otak mereka, dalam hati mereka. Jika sehari-hari banyak kata negative yang
mereka dengarkan, tidak bisa dibayangkan bagaimana hati mereka, pikiran mereka?
Oleh karena itu, kita harus menghentikan kata-kata negative tidak dipakai lagi
di lingkungan murid kita. Masih banyak kata positif sebagai bahan gurauan
maupun komunikasi.
Pada jam yang sama, masing-masing siswa kuminta untuk
menuliskan kata-kata negative yang sering diucapkan di papan tulis. Secara bergantian
mereka antusias menuliskannya. Mengalir tanpa henti. Ternyata di pikiran mereka
cukup banyak juga kata-kata negative yang dia simpan. Terhitung sampai lima
puluh istilah negative yang mereka ungkapkan di papan tulis. “Coba dibaca,”
pintaku. Setelah mereka membaca, salah satu murid saya suruh menghapus, dengan
catatan bahwa kata-kata negative sudah tidak ada lagi dalam pikiran kita, itu
pesanku buat mereka. Dan mereka menyetujuinya. Setelah itu, secara bergantian
mereka kuminta untuk menuliskan kata-kata positif. Tiba di urutan siswa ke lima
belas, mereka berpikir, mereka kesulitan menemukan kata-kata positif. Hal tersebut
bisa jadi alasan bahwa seringnya murid menggunakan istilah negative, bisa
memendam istilah positif. Dengan demikian mereka jarang yang menggunakan
istilah positif.
Kenyataan ini tidak bisa dibiarkan. Jika di hati dan pikiran
murid kita dipenuhi dengan istilah-istilah negative, bisa merusak proses
berpikirnya. Bahkan akan merusak karakter murid itu sendiri. Kalau karakter
mereka rusak, maka kita akan kesulitan memperbaikinya. Bukankah pendidikan di
Indonesia berbasis karakter? Sikap merupakan hal utama yang menjadi penilaian. Kemudian,
apa yang bisa kita lakukan?
Sebagai pendidik, kita harus dan selalu memberikan teladan
yang baik. Demikian juga kata-kata yang kita ungkapkan harus bebas dari istilah
negative. Kadang kita juga tidak menyadari bahwa pernah juga mengutarakan
sesuatu dengan diksi negative. Perkembangan murid dimulai dari gurunya sendiri.
Jika hal tersebut sudah membudaya, maka akan tercipta lingkungan yang bebas
polusi dari diksi negative.
Sebagai guru, kita biasakan menggunakan empat kata ajaib
tersebut untuk berkomunikasi dengan murid. Jika kita memerintah siswa,
hendaknya mengawali dengan kata ‘tolong”. Jika kita telah melakukan kesalahan,
jangan enggan untuk mengungkapkan kata “maaf”. Jika kita melewati kerumunan di
antara murid, sapalah mereka dengan memulai kata “permisi”. Dan jika kita
menerima sesuatu dari murid, hendaknya kita ucapkan “terima kasih”. Empat kata
sederhana yang ajaib. Jika kita budayakan, mampu mengubah karakter murid dengan
baik.
Salam Guru Merdeka!