Budaya Literasi
Surga itu seperti perpustakaan. Kalimat bijak inilah
yang paling pantas untuk menggambarkan tentang buku sebagai jendela ilmu
pengetahuan. Dari buku kita mampu meyelam keribuan kilometer kedalaman laut.
Mengarungi tujuh samudera dunia. Mengangkasa di semesta yang tak pernah
terjangkau oleh nalar. Buku-buku layaknya sebuah surga yang menghadirkan begitu
banyak celah-celah dunia yang bisa kita intip.
Buku adalah sebuah
jalan keabadian. Buku mengekalkan penulis hingga beribu tahun. Pada bukulah
kita mampu melihat masa lalu. Melihat sejarah peradaban dan menjadi lebih bijak
di masa depan.
Budaya
literasi menjadi satu-satunya jalan untuk mampu menjelajahi ruang dan waktu
semesta. Satu-satunya jalan untuk bisa melihat sejarah masa lalu. namun, ketika
budaya tak lagi dilestarikan sanggupkah manusia bisa mengintip lagi melalu
celah-celah itu.
Dewasa
ini, tradisi membaca menjadi suatu hal yang sangat ekslusif. Tempatnya kini
telah tergeser oleh media-media elektronik. Konsumsi membaca masyarakat telah
tergantikan oleh berbagai hiburan televisi. Durasi televisi on-air 24
jam menyita waktu masyarakat. Menurut penelitian waktu membaca tiap rata-rata
masyarakat sekarang hanya sekitar empat jam/minggu.
Budaya
literasi sudah seharusnya dikembangkan sejak dini. Hal inilah yang mungkin
kemudian di tilik pada pameran Kompas Gramedia BNI Tapenas Fair yang diadakan
di Balai prajurit Jend M. Yusuf. Pameran besar-besaran yang pertama kali
digelar di Makassar ini dikemas secara apik. Mengedepankan budaya lokal
Makassar serta turut melibatkan para pelajar usia sekolah.
Antusiasme
warga terlihat dengan jumlah pengunjung yang mencapai 7000 orang. Dari
mahasiswa, karyawan swasta, hingga masyarakat umum. Anak taman kanak-kanak,
siswa sekolah dasar hingga tingkat lanjutan. Semua tumpah ruah di bangunan yang
lebih dikenal dengan namanya yang terdahulu, Manunggal.
Tak
hanya buku-buku Kompas Gramedia yang memenuhi tiap rak-rak pameran. Surat kabar
dan tabloid yang berada di bawah naungan Kompas Gramedia Pustaka juga turut
andil dalam pameran ini. kesempatan ini pun dijadikan ajang oleh
sekolah-sekolah di Makassar untuk mengaktualisasikan diri. Serta pengenalan
buku dan perpustakaan bagi usia taman kanak-kanak.
Di
Makassar sendiri, upaya melestarikan budaya literasi ini telah diprogramkan sejak
dua tahun lalu. Dengan tema “gerakan Masyarakat Gemar Membaca” (GMGM)
pemerintah mengharapkan budaya literasi tumbuh di tengah masyarakat. hingga
kini telah didirikan 14 taman baca di 14 kecamatan yang terletak di Makassar.
Diantaranya
taman baca di kecamatan mariso, mamajang, Makassar, ujung pandang, Bontoala,
Wajo, unjung tanah, Tallo, Rappocini, tamalate, panakukang, manggala, Tamalate,
dan Biringkanaya. Dari data yang ada, koleksi buku hanya sekitar 600-an judul
buku di tiap taman baca yang idealnya 1000 judul buku. Dompet buku sebagai
salah satu program GMGM merupakan upaya untuk menambah berbagai koleksi buku.
Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk menyumbang buku agar menambah
koleksi buku di tiap taman baca.
Meskipun
telah didirikan di 14 kecamatan di Makassar, anggota taman baca hanya terdiri
dari puluhan orang (data 31 des 2006) saja. Hal ini tidak berimbang dengan
jumlah masyarakat yang lebih dari 1000 jiwa per kecamatan.
Penumbuhan
budaya literasi ini tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun juga,
tanggung jawab bersama masyarakat. upaya sosialisasi secara serius dan kontinyu
harus terus digalakkan dengan upaya dari berbagai pihak. Upaya pengenalan buku
di usia kanak-kanak menjadi salah satu solusi. Selain itu lingkungan yang
literate pun mampu memberi sugesti bagi anggotanya untuk membudayakan gerakan
membaca.
Mari
kita jadikan membaca seperti udara. Tak mampu bernapas tanpanya.
Alhamdulillah....
BalasHapus