Selasa, 09 Juli 2013

Menjalin Hubungan Sosial Lewat Kesantunan Berbahasa



Menjalin Hubungan Sosial Lewat Kesantunan Berbahasa

Oleh,
Alfi Faridian, S.Pd.


Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang lain. Dalam arti kata kita membutuhkan teman untuk saling berkomunikasi. Tujuan kita berkomunikasi kepada lawan bicara itu sendiri adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial (social relationship).
Dalam penyampian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan atau tulis, atau nonverbal (bahasa isyarat) yang dipahami kedua belah pihak; pembicara dan lawan bicara. Sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan kesopanan (politeness), ungkapan implisit (indirectness), basa-basi (lipsservice) dan penghalusan istilah (eufemisme).Strategi tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi berjalan baik dalam arti pesan tersampaikan dengan tanpa merusak hubungan sosial diantara keduanya. Dengan  demikian proses komunikasi selesai antara pembicara dan lawan bicara mempunyai kesan yang mendalam, misalnya, kesan simpatik, sopan, ramah, dan santun.
Akan tetapi bukanlah hal mudah untuk mencapai dua tujuan komunikasi tersebut. Bahkan seringkali prinsip-prinsip komunikasi sering berbenturan dengan prinsip-prinsip kesopanan dalam berbahasa. Disatu sisi kita diharuskan untuk mematuhi prinsip komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman, tetapi disisi lain kita harus melanggar prinsip-prinsip tersebut, dengan berbasa-basi, untuk menjaga hubungan social. Dan yang lebih penting lagi kita harus menjaga kesantunan  berbahasa di dalam menjalin hubungan sosial antarmanusia.
Seperti yang kita ketahui,masyarakat Indonesia sangat menjunjung kesantunan dalam berbahasa. Maksud yang akan disampaikan tidak hanya berhubungan dengan pemilihan kata, tetapi juga cara penyampaiannya. Sebagai contoh, pemilihan kata yang tepat apabila disampaikan dengan cara kasar akan tetap dianggap kurang santun.
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat itu akan tercermin dari kesantunan yang diterapkannya, termasuk kesantunan dalam berbahasa. Apalagi setiap masyarakat selalu ada hierarkhi sosial yang dikenakan pada kelompok-kelompok anggota mereka. Hal ini terjadi karena mereka telah menentukan penilaian tertentu, misalnya, antara tua – muda, majikan – buruh, guru – murid, kaya – miskin, dan status lainnya, ada perbedaan dalam tata cara berbahasa. Bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika kita berbicara dengan anak kecil. Selain itu, faktor konteks juga menyebabkan kesantunan perlu diterapkan. Suasana formal atau resmi sangat menekankan kesantunan ini.
Penilaian yang diberikan kepada hierarkhi sosial merupakan penilaian emotif yang diberikan kepada seseorang individu atau kelompok. Penilaian sepeti ini merupakan tanda hormat atau apresiasi kepada yang bersangkutan. Kalau diteliti lebih jauh, fenomena ini sudah diterapkan oleh masyarakat kita sejak dulu. Apakah masyarakat yang bahasanya mengenal tingkatan bebahasa (undha-usuk, Jawa) atau tidak mengenalnya.

 Kesantunan dalam  Berbahasa
Kesantunan adalah tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial.
Dalam pergaulan sehari-hari kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu:
 Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.
Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.
Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).
  Jenis Kesantunan
Berdasarkan penjelasan di atas, kesantunan dapat dibagi tiga, yaitu
·         kesantunan berpakaian,
·         kesantunan berbuat, dan
·         kesantunan berbahasa.
Kecuali berpakaian, dua kesantunan terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan untuk kedua jenis kesantunan itu.
Dalam kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, Kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai, berpakaian renang pada waktu renang.
Kesantunan perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam situasi tertentu.misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan sebagainya. Masing-masing situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang berbeda. Pada waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantunan dalam cara duduk, cara mengambil makanan, cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok, cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara memakai tusuk gigi. Salah satu contoh mengenai  kesantunan dalam  tindakan, misalnya sangat tidak santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan kaki diselonjorkan ketika mengikuti kuliah dosen, bertolak pinggang ketika berbicara dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika berjalan di tempat umum tanpa sebab, nyelonong ke loket ketika yang lain sedang antre menanti giliran, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan bersama di tempat umum.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut.
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik keika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan.
Suatu kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang sangat berpengaruh pada pola berbahasanya. Oleh sebab itu kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.

Pembentukan Kesantunan Berbahasa
Kesantunan dalam berbahasa akan menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa (menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.
Pertama, penerapan prinsip kesopanan (politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat, pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain dan  meminimalkan hal-hal tersebut pada diri sendiri.
Dalam berkomunikasi, di samping menerapkan prinsip kerja sama (cooperative principle) dengan keempat maksim (aturan) percakupannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam maksimnya, yaitu
(1) maksim kebijakan yang mengutamakan kearifan bahasa,
(2) maksim penerimaan yang mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri,
(3) maksim kemurahan yang mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada diri sendiri,
(4) maksim kerendahan hati yang mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri,
(5) maksim kecocokan yang mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan
(6) maksim kesimpatisan yang mengutakan rasa simpati pada orang lain.
Dengan demikian apabila kita menerapkan prinsip kesopanan dalam berbahasa, tidak akan lagi terdengar pembicaraan yang menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
Kedua, penghindaran pemakaian kata yang dianggap tabu. Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks, kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian, kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata “kotor” dan “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.
Ketiga, berkenaan dengan penghindaran kata tabu, kita dapat menggunaan gaya bahasa eufemisme sebagai ungkapan penghalus. Penggunaan eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif.
Keempat, penggunaan pilihan kata honorifik, yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan (undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Adapun tujuan utama dari kesantunan berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, pemakaian bahasa yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di masyarakat Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika penutur tidak bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya.

  Aspek-aspek Non-linguistik yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa
Karena tatacara berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai sistem komunikasi,maka selain unsur-unsur verbal, unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat dalam berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud adalah unsur-unsur paralinguistik, kinetik, dan proksemika. Pemerhatian unsur-unsur ini juga dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa
Paralinguistik berkenaan dengan viri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa. Penutur mesti memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada seorang dosen sedang berbicara di depan kelas, apabila mahasiswa ingin berbicara dengan teman di sebelahnya akan santun apabila dengan cara berbisik agar tidak mengganggu mahasiswa yang lain. Suara keras yang menyertai unsur verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang sopan, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang yang kurang pendengarannya
Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti murung dan senyum merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut gesture, gerak isyarat) yang juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur verbal. Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah dengan unsur verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna yang dirahasiakan, cukup dengan mengerdipkan mata kepada lawan komunikasi agar orang di sekelilingnya tidak tahu maksud komunikasi tersebut.
Unsur nonlinguistik lain yang perlu diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah proksemika, yaitu sikap penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini akan berdampak pada kesantunan atau ketidaksantunan berkomunikasi. Ketika seseorang bertemu dengan teman lama, setelah beberapa lama berpisah, ia langsung berjabat erat dan berangkulan; dilanjutkan dengan saling bercerita sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya, walaupun sudah lama berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil berjabat tangan dengan kedua tangannya. Si mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kanannya, tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang bersangkuan.
Pada contoh kedua peristiwa itu, terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan penerima tanda. Apabila penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipertukarkan,maka akan terlihat janggal, bahkan dinilai tidak sopan. Penjagaan jarak yang sesuai antara peserta komunikasi akan memperlihatkan keserasian, keharmonisan, dan tatacara berbahasa.
Selain ketiga unsur di atas, hal lain yang perlu diusahakan adalah penjagaan suasana atau situasi komunikasi oleh peserta yang terlibat. Misalnya, sewaktu ada acara yang memerlukan pembahasan bersama secara serius, tidaklah sopan menggunakan telepon genggam (handphone) atau menerima telepon dari luar, apalagi dengan suara keras. Kalau terpaksa menggunakan atau menerima telepon, sebaiknya menjauh dari acara tersebut atau suara diperkecil.
Kecenderungan mendominasi pembicaraan, berbincang-bincang dengan teman sebelah ketika ada pertmuan dalam forum resmi, melihat ke arah lain dengan gaya melecehkan pembicara, tertawa kecil atau sinis merupakan sebagian cara yang tidak menjaga suasana komunikasi yang kondusif, tenteram, dan mengenakkan, yang bisa berakibat mengganggu tujuan komunikasi.
 Strategi Komunikasi yang Dapat Dikembangkan oleh Pembicara dan Lawan Bicara
a. Komunikasi sebagai Penyampai Pesan
Dalam proses komunikasi ada beberapa prinsip yang harus dipahami oleh pembicara dan lawan bicara.Prinsip-prinsip tersebut harus dipatuhi oleh kedua pihak (pembicara dan lawan bicara), agar pesan yang disampaikan oleh pembicara dimengerti oleh lawan bicara atau sebaliknya. Dengan mematuhi prinsip-prinsip tersebut, diharapkan kesalahpahaman terhadap pesan yang disampaikan dapat dikurangi, jika tidak bisa ditiadakan sama sekali. Grice (1975) menyatakan ada 4 ‘maxim’ dalam komunikasi yang disebut ‘co-operative principle’, yang harus dipahami antara pembicara dan lawan bicara. ‘Co-operative principle’ ini adalah semacam ‘general agreemen’t (persetujuan umum) yang dipatuhi bersama antara
pembicara dan lawan bicara. Keempat ‘maxim’ tersebut adalah:
Quantity (kuantitas)
1. Make your contribution as informative as is required (for the current purposes of the exchange), maksudnya dalam proses komunikasi baik pembicara maupun lawan bicara harus memberikan kontribusi (pembicakapn) yang memadai, artinya baik pembicara maupun lawan bicara tidak boleh mendominasi percakapan, kedua pihak harus mendapat porsi pembbicaraan yang sepadan.
2. Do not make your contribution more informative than is required. Artinya baik lawan pembicara maupun lawan bicara tidak boleh memberi informasi (berbicara) melebihi yang diperlukan. Jika pembicara terlalu banyak
memberikan informasi yang tidak dibutuhkan, maka dia akan dianggap membual, demikian juga sebaliknya.
Quality (kualitas)
1. Do not say what you believe to be false, Artinya baik pembicara maupun lawan bicara tidak boleh berbohong. Kedua pihak harus percaya akan apa yang dikatakan oleh pembicara, demikian sebaliknya.
2. Do not say for which you lack adequate evidence. Artinya pembicara dan lawan bicara tidak boleh berbicara jika tidak punya bukti yang cukup.
Relation (hubungan)
1. Be relevant. Artinya apa yang dikatakan harus relevan (sesuai)
Manner (cara)
1.      Be perspicuous. Artinya apa yang dikatakan harus jelas.
Grice membagi maxim ke empat ini menjadi 4 sub bagian ;
(1) Avoid obscurity (hindari ketidakjelasan);
 (2) Avoid ambiguity (hindari kerancuan makna);
(3) Be brief(singkat); dan
 (4) Be orderly (runtut)
Dalam berkomunikasi baik pembicara maupun lawan bicara harus mematuhi ke empat ‘maxim’ ini.Misalnya, diantara mereka harus saling ada kepercayaan bahwa apa yang dikatakan pembicara itu benar, demikian juga sebaliknya. Suatu contoh jika kita berjanji kepada seseorang untuk bertemu di stasiun jam 7 pagi, maka kita harus datang tepat jam 7 pagi di stasiun, demikian juga lawan bicara kita juga harus percaya bahwa pembicara akan datang jam 7 pagi di stasiun. Jika kepercayaan itu terbangun maka kedua pihak (pembicara dan lawan bicara sudah saling mematuhi ‘cooperative principle’ (maxim Quality no (1)). Disamping itu ungkapan harus disampaikan dengan jelas, tidak berbelilt-belit, tidak berlebihan dan tidak menimbulkan kerancuan makna, singkat dan runtut. Jika ‘cooperativeprinciple’ ini dipenuhi oleh kedua pihak (pembicara dan lawan bicara) kemungkinan kesalahpahaman dapat dihindari, sehingga tujuan komunikasi berhasil.
b. Komunikasi untuk Menjalin Hubungan Sosial
Tujuan lain komunikasi adalah untuk menjalin hubungan sosial (social relationship)antara pembicara dan lawan bicara. Dalam hal menjalin hubungan sosial ini tujuan komunikasi menjadi sangat kompleks. Kompleksitas ini disebabkan tidak hanyaoleh faktor-faktor linguistik (linguistic factors) yang harus dipertimbangkan olehpembicara dan lawan bicara, namun faktor-faktor non linguistik (non-linguistic factors) juga memegang peranan penting. Seorang pembicara tidak cukup memilih formulasi gramatikal dan pilihan kata yang tepat untuk berbicara, tetapi aspek sosiokultural juga harus menjadi pertimbangan. Hudson (1980) menyebutkan bahwa faktor peran dan hubungan (role relationship), usia (age), dan stratifikasi sosial(social stratification) juga sangat berperan dalam mencapai tujuan komunikasi.
Untuk menjalin hubungan sosial. Faktor peran dan hubungan (role relationship) antara pembicara dan lawan bicara menjadi pertimbangan penting dalam proses komunikasi. Misalnya, komunikasi antara seorang bawahan pada atasan, seorang anak pada bapak, sesama teman akrab, semua ini menuntut strategi komunikasi yang berbeda. Jika seorang bawahan berbicara pada atasan, dia akan memilih ungkapan yang sesuai dengan peran dia dan atasannya. Bahkan pemilihan kata saja tidak cukup, seringkali ucapan seorang bawahan tersebut disertai dengan body language (bahasa tubuh) yang merepresentasikan penghormatan dia pada atasan, misalnya dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
Sikap hormat ini merupakan salah satu sikap hidup orang Jawa De Jong(1984), terutama sikap hormat bagi pangkat atau derajat danbagi orang yang mempunyai kedudukan tinggi atau seorang pemimpin. Bahkan rasa hormat bagi orang Jawa itu sering sedemikian kuat, sehingga seseorang dinilai menurut kedudukannya.Faktor usia (age) juga menjadi pertimbangan penting dalam proseskomunikasi. Seorang anak harus memilih kata yang tepat untuk berbicara dengan orang tuanya atau orang yang dia anggap lebih tua dari dia. 
Perbedaan diksi kata ini sangat jelas, misalnya dalam bahasa Jawa. Kata mangan, dhahar, nedha pada prinsipnya mempunyai makna semantis sama, yaitu memasukkan makanankedalam mulut. Namun ketiga kata itu tidak dapat digunakan sembarangan.Misalnya, seorang anak menyuruh bapaknya makan dengan ekspresi “Wis pakmangan-mangano segone ning meja”. Pemakaian kata mangan dalam ekspresimangano sama dengan kata nedha dan dhahar secara semantis. Demikian juga secara gramatikal ungkapan itu tidak salah, namun secara pragmatis ungkapan itu kurang tepat. Ketidak tepatan pemakaian ungkapan itu karena peran dan hubungan antarkeduanya, yaitu sebagi seorang anak dan orangtua. Usia seorang anak lebih muda dibanding dengan usia ayahnya. Karena perbedaan peran dan usia ini mengharuskan seorang anak menggunakan ungkapan yang tepat misalnya dhahar (krama inggil).
Dalam bahasa Jawa dikenal tiga stratifikasi bahasa yang menunjukkan status sosial dan usia, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko Geertz (1977).Ketiga tingkatan bahasa tersebut harus tepat cara penggunaannya, dan kekurangtepatan dalam penggunaannya akan dianggap anak yang tidak tahu tatakrama (sopan-santun). Jadi standar yang dipakai bukan salah benar tetapi tepat atau tidak tepat cara pemakaian ungkapan tersebut .Faktor stratifikasi sosial juga sangat berperan dalam proses komunikasi untuk tujuan menjalin hubungan sosial. Dalam tradisi Jawa dikenal tiga stratifikasi sosial yaitu kalangan bangsawan, kalangan menengah, dan kalangan bawah.Masing-masing stratifikasi ini mempunyai style (gaya bahasa) yang berbeda satu sama lain. Masing-masing style disepakati bersama cara pemakaiannya dalam konvensi dan norma sosial yang berlaku. Dalam bahasa Perancis, misalnya dikenald engan pemakain kata ganti orang (pronoun) Tu dan Vous. Wardaugh(1987). Tu digunakan untuk menyebut you (kamu) pada orang yang lebih tua, misalnya seorang anak pada bapaknya. Sedangkan Vous, digunakan untuk sebutan you( kamu) untuk orang yang lebih tua pada orang lebih muda. 
c. Kesopanan dalam Berkomunikasi (Politeness)
Disamping faktor-faktor non linguistik yang telah disebutkan diatas sebagai strategi komunikasi, ada faktor lain yang juga sangat penting dalam proses komunikasi,yaitu kesopanan (politeness). Faktor kesopanan ini lebih banyak terkait dengan aspek sosiokultural pemakai bahasa dari pada dengan aspek kebahasaan. Dalam proses komunikasi, pembicara dan lawan bicara tidak hanya dituntut taat pada cooperative principle saja, tetapi bahkan keduanya dituntut untuk saling memahami, bahkan mengerti maksud yang diinginkan tanpa harus mengucapkannya secara eksplisit. 
Seperti halnya coo-perative principle dalam proses komunikasi, faktor kesopanan dalam berbicara juga ada prinsip-prinsipnya. Lakoff (dalam Cook, 1989) merumuskan tiga prinsip kesopanan dalam berkomunikasi; Don’t impose (jangan memaksa), Give option (berikan pilihan), dan Make your receiver feel good (buatlah lawan bicara anda merasa senang). Ketiga prinsip kesopanan ini harus dipakai dalam berkomunikasi dengan lawan bicara jika pembicara ingin menjalin hubungan sosial dengan lawan bicara. 
Dalam kehidupan sehari-hari sering seseorang memerintah orang lain untuk melakukan sesuatu dengan perintah eksplisit, misalnya, “Jangan merokok diruang ini”,  “Dilarang membuang sampah disini”. Kedua contoh ungkapan perintah tersebut terasa sekali unsur perintahnya, sehingga jika perintah itu diberikan kepada lawan bicara yang berstatus dan berkedudukan sama mungkin akan menimbulkan ketidaksenangan orang yang diperintah, apalagi orang yang memerintah itu tidak dalam posisi sebagai atasan atau orang yang berhak memerintah.Namun demikian perintah itu akan terkesan lebih halus, lebih sopan,dan tidak menimbulkan sosial distance (gap sosial) antara pembicara dan lawan bicara jika diungkapkan dengan “Terima kasih anda tidak merokok di ruang ini”,“Terima kasih anda tidak membuang sampah disini” Kedua ungkapan tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu menjaga agar ruangan tidak berbau asap rokok, dan ruangan tidak penuh dengan sampah. Namun kedua ungkapan ini akan terkesan lebih sopan dan tidak terkesan menyuruh atau memerintah seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan; yaitu tidak merokok dan tidak membuang sampah sembarangan.
Contoh ungkapan perintah yang halus seperti itu juga ada dalam bahasa-bahasa lain, misalnya dalam bahasa Inggris. Cook(1989) memberikan beberapa contoh ungkapan request (permintaan) dengan ungkapan yang halus dan sopan seperti “Would you mind…?, “ May I ask you to…? atau “Could you possibly..?”. Dalam bahasa Indonesia banyak kita jumpai ungkapan penghalusan perintah atau kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seseorang. Misalnya, sering kita jumpai spanduk bertulikan “Batas akhir pembayaran PBB sampai 28 Oktober 2009”. Ungkapan ini dapat diinterpretasikan sebagai ungkapan perintah dan peringatan untuk membayar pajak bagi yang belum membayar, dan sekaligus berupa peringatan bagi yang mungkin lupa bahwa melewati batas tanggal pembayaran tersebut akan dikenakan sanksi. 
Namun demikian ada perintah tertentu yang dalam kondisi tertentu perintah tersebut harus tegas dan jelas sebagai perintah. Misalnya, bila kita berada di dalam gedung bioskop yang kebetulan sedang terbakar, maka para petugas pemadam atau satpam akan membentak-membentak dan menyuruh semua orang untuk keluar, tidak perduli apakah orang yang sedang menonton tersebut adalah atasannya, bupati atau petinggi daerah lainnya. Ungkapan penghalusan perintah tidak lagi efektif teriakan “keluar!, keluar!, cepat!, cepat!” dalam hal ini akan lebih efektif. Demikian halnya ditempat yang berbahaya seperti pompa bensin ungkapan larangan harus ditulis dengan tegas “DILARANG MEROKOK” bahkan larangan tersebut ditulis dengan cat merah, yang sebenarnya dalam tatatulis cat merah menunjukkan perasaan marah. Dari uraian ini jelas bahwa ungkapan penghalusan dapat dipakai dalam konteks dan kondisi tertentu, demkian halnya ungkapan langsung (tanpa harus diperhalus) juga dapat dipakai pada kondisi dan konteks tertentu.
d. Ungkapan Tidak Langsung (Indirectness)
Salah satu strategi yang dilakukan oleh pembicara untuk menjaga hubungan social dengan lawan bicara agar tetap baik adalah dengan menggunakan ungkapanindirectness (ketidaklangsungan). Agar hubungan sosial antara pembicara danlawan bicara terjalin baik maka kedua pihak harus menghindari hal-hal yang dapat merusak hubungan tersebut, misalnya, penggunaan ungkapan yang kasar, tidak sopan dan menyakitkan atau mempermalukan pembicara atau lawan bicara di depan umum dengan ungkapan tertentu.
            Pada prinsipnya bagaimana komunikasi yang disampaikan dapat mencapai tujuan yang diinginkan tanpa harus dikatakan.Gumperz (1982a) memberi istilah rapport dan defensiveness. Rapport artinya pembicara atau lawan bicara akan merasa senang ucapannya dapat dimengerti tanpa harus menjelaskan secara detail, demikian halnya dengan lawan bicara. Sedangkan defensiveness artinya kepentingan untuk menyelamatkan muka (tosave someone’s face). Semua ini dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara semata-mata untuk menjaga kesetiakawanan atau persahabatan (maintaincamaraderie) dan menjalin hubungan sosial yang lebih baik.
            Pemakaian ungkapan tidak langsung ini sering dijumpai dalam kenyataan sehari-hari. Misalnya, ketika malam mulai larut seorang suami masih menulis diruang keluarga, kemudian istrinya bilang “ Pak sudah malam”. Ungkapan ini bisa diinterpretasikan bermacam-macam, mungkin sang istri ingin agar suaminya mengecek pintu dan jendela yang belum terkunci, mematikan lampu yang tidak diperlukan, memeriksa kunci pengaman kendaraan supaya tidak dicuri orang, atau bahkan mungkin berupa ajakan sang istri untuk “tidur”, karena hari sudah larut malam agar besok tidak mengantuk sewaktu bekerja. Ungkapan “Pak sudah malam” dalam konteks yang disebutkan tadi dapat dikaitkan dengan beberapa aspek non linguistik untuk membangun interpretasi yang akurat. Kata malam dapat dikaitkan dengan jendela, kunci, pintu, lampu, tidur dan mengantuk.
Ullman (1972) menyebutnya ada keterkaitan antara name dan sense, yaitu satu sebutan dapat mengacu pada beberapa makna. Untuk dapat menginterpretasi dengan akurat ungkapan yang tidak langsung ini diperlukan pemahaman yang mendalam. Lawan bicara harus dapat mengaitkan ungkapan dengan konteks percakapan tidak hanya pada level surface structure(struktur gramatikal) dimana ungkapan tersebut digunakan, tetapi juga deepstructure (makna dibalik ungkapan) yang digunakan. Lyons(1981). Oleh karena itu baik pembicara atau lawan bicara harus dapat melakukan conversational inference.
Gumperz(1982b), Karena interpretatasi percakapan tidak bisa dipisahkan dengan situasi atau konteks (context bound process of interpretation). Baik pembicara maupun lawan bicara harus mampu mengaitkan struktur kalimat sebelum dansesudahnya atau dengan contextualization cues dalam istilah Gumperz (1982b).Dengan kata lain pemahaman dengan pendekatan semantik saja tidak cukup untuk memahami makna yang tersurat (makna implisit), pendekatan pragmatik juga harus digunakan. Dalam pendekatan pragmatik aspek socio kultural, peran konteks kalimat menjadi sangat penting untuk mendapatkan interpretasi yang akurat.
Ungkapan tidak langsung (indirectness) juga banyak dijumpai dalam bahasa Indonesia. Ungkapan ini tercermin dalam beberapa terminologi seperti, basa-basi,dan eufemisme (penghalusan istilah).
e. Basa-Basi (Lips Service)
Ungkapan basa-basi ini merupakan bagian dari budaya orang Indonesia, khususnya Jawa. Ungkapan ini dapat kita jumpai setiap hari. Misalnya, jika ada seorang teman lewat didepan rumah, kita selalu menawarinya “nggak mampir dulu“, ketika teman datang kerumah kita, kita menawarinya “mari makan”, padahal sebenarnya tawaran mampir dan makan tersebut tidak serius, artinya kita hanya berbasa-basi. Bahkan bila tetangga kita lewat didepan rumah sering kita bertanya“mau pergi kemana?”, walaupun kenyataannya kita sebenarnya tidak ingin tahu mau pergi kemana tetangga tersebut. Ungkapan basa-basi ini menjadi bagian percakapan yang penting dalam budaya kita. Ungkapan basa-basi ini sekedar untuk mejalin hubungan sosial antarapembicara dan lawan bicara. Dalam contoh diatas yang tercermin adalah rasa perduli, ramah dan memperhatikan orang lain. Tidak ada fungsi khusus dalam proses komunikasi.
            Pemakaian ungkapan basa-basi ini sebenarnya bertentangan dengan coopertiveprinciple. Jika dalam berkomunikasi kita diharapkan untuk mematuhi semua maxim dalam co-operative principle, misalnya, tidak boleh bohong, maka dalam ungkapan basa basi ini justru orang cenderung “melanggar kesepakatan”tersebut (flouting co-operative principle). Pembicara tahu bahwa tetangganya sedang lewat, maka dia mengucapkan “Nggak singgah dulu?”, sebagai tanda bahwa “saya tetangga anda” atau “saya kenal anda”. Ungkapan semacam ini Cook(1989) menyebutnya sebagai “the phatic function of language“. Menyadari bahwa ungkapan pembicara hanya sekedar basi-basi, maka lawan bicara juga menerapkan strategi yang sama, yaitu flouting co-operative principle (mengingkari kesepakatan), misalnya dengan menjawab “Oh terima kasih saya sedang terburu-buruu”, walaupun sebenarnya tidak ada acara yang penting atau tidak sibuk. Dengan menggunakan strategi yang demikian mereka sama-sama sampai pada interpretasi yang tepat.Untuk memahami ungkapan basa-basi ini tidak cukup dengan memahami makna leksikal atau struktur gramatikal sebuah ungkapan. Namun pemahaman sosiokultural antar keduanya (pembicara dan lawan bicara) menjadi sangat penting.
Gumperz (1982a). Bagi orang Indonesia ketika bertemu teman, kita sering menyapa “Mau kemana?” atau “Where are you going?” dalam bahasa Inggris,sedangkan bagi orang Eropa atau Amerika, ungkapan ini dianggap telah mencampuri urusan orang lain. Dalam hati mereka akan bilang “Saya mau pergi kemana saja bukan urusan anda” atau “It’s none of your business”, sementara dalam budaya Indonesia sapaan tersebut merupakan bagian dari strategi untuk mencairkan suasana(breaking the ice), sehingga proses komunikasi selanjutnya menjadi lebih santai dan tidak tegang.
Banyak ungkapan-ungkapan lain sebagai pembuka komunikasi dalam budaya kita, atau hanya sekedar mengetahui keadaan lawan bicara. Misalnya, ketika seseorang bertemu dengan sahabat lama yang ditanyakan pertama adalah “Gimana kabarnya? apa sudah menikah?”, “Berapa putranya?”, atau “Hai kok gemuk sekali sekarang”. Pertanyaan dan sapaan semacam ini kelihatan sepele jika ditujukan pada sesama orang Indonesia. Tetapi pertanyaan dan sapaan tersebut akan menyinggung perasaan lawan bicara jikaditujukan pada orang Eropa, Amerika atau orang dari benua lain yang mempunyailatar belakangn sosio kultural berbeda dengan orang Indonesia. Bagi orang Eropa, Amerika atau orang dari benua lain pertanyaan dan ungkapan diatas merupakan pertanyaan sensitif (sensitive questions), demikian halnya dengan ungkapan “Hai kok gemuk sekali sekarang”. Bagi orang-orang barat gemuk merupakan penderitaan, oleh karena itu ungkakan “Hai kok gemuk sekali”, merupakan ungkapan yang manyakitkan perasaan. Oleh karena itu pertanyaan dan ungkapan tersebut harus dihindari jika kita ingin proses komunikasi berlangsung dengan baik.
f. Eufemisme
Bentuk strategi komunikasi lain yang sering kita jumpai adalah pemakaian ungkapan eufemisme (penghalusan istilah). Misalnya, jika kita mengurus surat dan ternyata surat tersebut belum selesai, maka petugas yang bertanggung jawab tidak akan mengatakan belum selesai, melainkan suratnya “masih dalam proses”. Masih banyak contoh-contoh lain ungkapan yang serupa, misalnya keputusannya“masih dipertimbangkan” (artinya belum jelas), “salah pembukuan” (korupsi),“diamankan” (ditahan), “lembaga pemasyarakatan” (penjara), “negara berkembang” (negara miskin), “hutang” (bantuan).
Pemakaian ungkapan eufemisme dalam komunikasi sehari-hari mengakibatkan perubahan makna kata (semantic change) yang signifikan. Bahkan Kleiden (1987) menyebutnya telah terjadi degradasi makna kata. Orang Indonesia merasa malu dikategorikan sebagai negara yang suka ngutang ke negara lain, oleh karena itu dicari ungkapan yang lebih halus bantuan, sedangkan sebutan Negara miskin dirubah menjadi negara berkembang, kata pelacur diganti dengan wanita tuna susila atau pekerja seks komersial (PSK). Kata pinjam berbeda dengan bantuan, ungkapan pinjam bararti harus mengembalikan sedangkan kata bantuan berarti pemberian, sehingga tidak ada kewajiban untuk mengembalikan. Demikian juga halnya dengan kata aman dalam ungkapan diamankan. Kata aman berarti tidak ada masalah, sedangkan diamankan artinya ditahan karena seseorang telah dianggap berbuat yang melanggar hukum atau bermasalah.
Pemakaian eufemisme tidak akan mengubah hakikat dari subjek yang menyandangnya. Pemakaian istilah wanita tuna susila (wts) sebagai ganti pelacur tidak akan merubah status dan profesi wanita tersebut, misalnya berubah menjadi wanita yang lebih baik, yang tidak lagi melacur. Justru pemakaian eufemisme ini malah menimbulkan kesan tidak ada beban moral dan psikologis pada orang yangmenyandangnya. Dengan menggunakan kata bantuan sebagai bentuk penghalusan istilah hutang, secara psikologis  pemerintah Indonesia tidak pernah merasa terbebani untuk mengembalikan, walaupun pada kenyataan semua hutang harus dikembalikan, sehingga hutang-hutang pemerintah harus “di jadwal ulang” alias diperpanjang masa pengembaliannya, sehingga ketika utang sudah semakin menumpuk pemerintah mengajukan permohonan kepada debitur agar utanng-utangnya di write off atau dikemplang alias tidak dibayar.Demikian halnya dengan ungkapan salah pembukuan sebagai ganti kata korupsi. Misalnya, “Si A telah membuat kesalahan pembukuan keuangan negara”.Ungkapan ini seolah tidak ada beban psikologis yang melekat, karena kesalahan pembukuan dapat terjadi pada siapapun, termasuk si A, sehingga ada kemungkinan si A tidak jera untuk mengulangi perbuatan yang kurang baik tersebut.
Oleh karena itu, pemakain eufemisme ini seharusnya dibatasi. Misalnya,hanya dipergunakan untuk predikat orang yang belum tentu bersalah. Hal ini untuk menghindari efek psikologis negatif yang diakibatkan oleh makna yang melekat dalam ungkapan tersebut, atau bahkan untuk menghindari character assassination (penghancuran atau pembunuhan karakter seseorang). Sedangkan untuk orang yang memang benar-benar telah melanggar norma-norma kesusilaan dan hukum, maka tidak ada salahnya jika digunakan ungkapan yang mempunyai efek psikologis, misalnya, kata koruptor harus digunakan untuk menyebut orang yang telah memanipulasi uang negara untuk kepentingan pribadi. Dengan sebutan tersebut diharapkan pelakunya akan menanggung beban psikologis negatif, dan jera untuk mengulangi perbuatannya lagi.
g. Etika Berbicara
Berbicara adalah kebutuhan kita sebagai manusia. Berbicara merupakan salah satu cara yang efektif bagi kita untuk berkomunikasi. Dengan berbicara kita bisa menyampaikan maksud dan tujuan serta buah pikiran kita dengan cepat. Akan sangat bijaksana  jika kita memperhatikan cara berbicara maupun isi dan materi yang kita bicarakan. Jangan sampai ungkapan “banyak bicara banyak berdosa” sampai menjangkiti kita. Ada banyak etika, adab dan sopan santun dalam berbicara yang diketahui dan dianut oleh masyarakat. Salah satu acuan yang dapat kita jadikan pedoman adalah adab berbicara di Minang Kabau Sumatera Barat yang dikenal dengan “Kato nan Ampek” yaitu adab berbicara dibedakan atas empat (ampek) jenis audience atau lawan komunikasi kita, sebagai berikut:
1. Kato Mandaki
Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau dituakan dan lebih dihormati karena jabatan dan kedudukannya.
2. Kato Mandata
Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan teman sebaya atau rekan kerja.
3. Kato Malereng
Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita dan keluarga seperti ipar, besan, sumando, mamak rumah.
4. Kato Manurun
Kata dan adab yang digunakan bila kita berkomunikasi dengan orang yang lebih muda ataupun kepada bawahan.
Selain adab dan pemilihan kata dalam berkomunikasi, perhatikan juga materi atau isi pembicaraan kita. Berikut ini ada beberapa materi yang suka dijadikan topik dalam pembicaraan dan dikhawatirkan dapat menjerumuskan kita pada pembicaraan yang berpotensi dosa.
Membicarakan kelebihan diri sendiri
Pembicaraan jenis ini disatu sisi diyakini bisa meningkatkan rasa percaya diri/self esteem. Dan baik juga untuk meningkatkan citra positif yang bisa memacu semangat dalam beraktifitas. Namun harus diwaspadai jika pembicaraan ini terlalu berlebihan bisa menimbulkan kesombongan. 
Membicarakan kekurangan diri sendiri
Pembicaraan jenis ini berguna untuk introspeksi diri sehingga dengan menyadari kekurangan kita bisa mengupayakan perbaikan diri untuk meningkatkan kualitas hidup selanjutnya. Namun jika berlebihan dan sampai pada penyesalan-penyesalan yang keterlaluan apalagi meratapi nasib akan berakibat buruk terhadap tingkat percaya diri yang bisa membuat kehilangan semagat hidup.
Membicarakan kelebihan orang lain
Kelebihan orang lain dapat memotivasi kita untuk berbuat hal yang sama jika kita dan lingkungan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan layak ditiru. Tapi jika terlalu berlebihan dan sampai mengidolakan apalagi sampai mengkultuskan seseorang akan berakibat tidak sehat untuk jiwa.
Membicarakan kekurangan orang lain
Topik ini merupakan yang paling senang dibicarakan orang dimana. Infotainment yang memuat berbagai skandal dan kebobrokan moral sangat digemari dan mempunyai rating yang tinggi. Pembicaraan ini yang lebih populer disebut gosip, gunjing atau ghibah sering menjadi topik sehari-hari dan sebagian dari kita sangat senang dan bahkan menikmati pembicaraan ini. Alangkah bijaksananya jika kita menyikapi fenomena ini sebagai ajang introspeksi bukannya malah menu utama untuk dijadikan pembicaraan hangat setiap harinya.
Banyak sekali pepatah dan ungkapan bijak yang mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati dalam bertutur kata agar kita tidak terlibat dalam pembicaraan yang mengandung dosa. Jika tidak terlalu penting “Silent is Gold” sangat bijak diterapkan. Ataupun kalau harus ada kata-kata yang hendak disampaikan pilihlah kata-kata yang tepat, jangan sampai menyakiti perasaan orang lain yang mendengarnya karena “Kata-kata bisa lebih tajam dari pedang”. Komunikasikanlah sesuatu dengan kata-kata yang tepat dan dengan cara yang baik jangan sampai menjadi bumerang bagi diri sendiri sebagaimana ungkapan “Mulutmu harimaumu akan menerkam kepalamu”. Apalagi kalau kata-kata yang diucapkan merupakan ucapan yang tidak benar atau berupa kebohongan dan sampai menimbulkan fitnah karena “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Alangkah besar dampak suatu kebohongan yang dituduhkan pada orang lain bahkan lebih buruk dari menghilangkan nyawa sekalipun. Jadi, walau “lidah tak bertulang” tapi pengaruhnya sangat besar pada keharmonisan hubungan antar sesama manusia. Jagalah lisan, perhatikan etika ketika berbicara, semoga kita semua menjadi lebih bijaksana karenanya.
Etika Berbicara yang Baik Menurut Agama
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam berbicara menurut agama Islam:
1. Berbicara harus jelas dan benar, sebagaimana dalam hadits Aisyah ra: “Bahwasanya perkataan Rasulullah SAW itu selalu jelas sehingga bisa difahami oleh semua yang mendengar.” (HR Abu Daud).
2. Semua pembicaraan harus kebaikan, (QS 4/114, dan QS 23/3), dalam hadits Nabi SAW disebutkan: “Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam.” (HR Bukhari Muslim).

3. Seimbang dan menjauhi bertele-tele, berdasarkan sabda Nabi SAW:  “Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku nanti di hari Kiamat ialah orang yang banyak omong dan berlagak dalam berbicara.” Maka dikatakan: Wahai Rasulullah kami telah mengetahui arti ats-tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa makna al-mutafayhiqun? Maka jawab Nabi SAW: “Orang2 yang sombong.” (HR Tirmidzi dan dihasankannya).

4. Menghindari banyak berbicara, karena kuatir membosankan yang mendengar, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Wa’il: Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari kami setiap hari Kamis, maka berkata seorang lelaki: Wahai abu AbduRRAHMAN (gelar Ibnu Mas’ud)! Seandainya anda mau mengajari kami setiap hari? Maka jawab Ibnu Mas’ud : Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku memenuhi keinginanmu, hanya aku kuatir membosankan kalian, karena akupun pernah meminta yang demikian pada Nabi SAW dan beliau menjawab kuatir membosankan kami (HR Muttafaq ‘alaih).

5. Mengulangi kata-kata yang penting jika dibutuhkan, dari Anas ra bahwa adalah Nabi SAW jika berbicara maka beliau SAW mengulanginya 3 kali sehingga semua yang mendengarkannya menjadi faham, dan apabila beliau SAW mendatangi rumah seseorang maka beliau SAW pun mengucapkan salam 3 kali. (HR Bukhari).

6. Menghindari mengucapkan yang bathil, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kata yang diridhai Allah SWT yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan demikian sehingga dicatat oleh Allah SWT keridhoan-NYA bagi orang tersebut sampai nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah SWT yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah SWT mencatatnya yang demikian itu sampai hari Kiamat.” (HR Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah).

7. Menjauhi perdebatan sengit, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan hidayah untuk mereka, melainkan karena terlalu banyak berdebat.” (HR Ahmad dan Tirmidzi)Dan dalam hadits lain disebutkan sabda Nabi SAW: “Aku jamin rumah didasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin rumah ditengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaqnya.” (HR Abu Daud).

8. Menjauhi kata-kata keji, mencela, melaknat, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Bukanlah seorang mu’min jika suka mencela, mela’nat dan berkata-kata keji.” (HR Tirmidzi dengan sanad shahih).

9. Menghindari banyak canda, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Sesungguhnya seburuk-buruk orang disisi Allah SWT di hari Kiamat kelak ialah orang yang suka membuat manusia tertawa.” (HR Bukhari).

10. Menghindari menceritakan aib orang dan saling memanggil dengan gelar yang buruk, berdasarkan QS 49/11, juga dalam hadits Nabi SAW: “Jika seorang menceritakan suatu hal padamu lalu ia pergi, maka ceritanya itu menjadi amanah bagimu untuk menjaganya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi dan ia menghasankannya).
11. Menghindari dusta, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Tanda-tanda munafik itu ada 3, jika ia bicara berdusta, jika ia berjanji mengingkari dan jika diberi amanah ia khianat.” (HR Bukhari).

12. Menghindari ghibah dan mengadu domba, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Janganlah kalian saling mendengki, dan janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata keji, dan janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling meng-ghibbah satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR Muttafaq ‘alaih).

13. Berhati-hati dan adil dalam memuji, berdasarkan hadits Nabi SAW dari Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari bapaknya berkata: Ada seorang yang memuji orang lain di depan orang tersebut, maka kata Nabi SAW: “Celaka kamu, kamu telah mencelakakan saudaramu! Kamu telah mencelakakan saudaramu!” (2 kali), lalu kata beliau SAW: “Jika ada seseorang ingin memuji orang lain di depannya maka katakanlah: Cukuplah si fulan, semoga Allah mencukupkannya, kami tidak mensucikan seorangpun disisi Allah, lalu barulah katakan sesuai kenyataannya.” (HR Muttafaq ‘alaih dan ini adalah lafzh Muslim) Dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata: Berdiri seseorang memuji seorang pejabat di depan Miqdad bin Aswad secara berlebih-lebihan, maka Miqdad mengambil pasir dan menaburkannya di wajah orang itu, lalu berkata: Nabi SAW memerintahkan kami untuk menaburkan pasir di wajah orang yang gemar memuji. (HR Muslim).

Etika Dalam Berbahasa(Komunikasi)
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap kita tidak dapat menghindarkan diri dari kegiatan berkomunikasi dengan anggota masyarakat lainnya. Setiap saat, kita selalu menggunakan bahasa untuk berbicara dengan teman, orang tua, kakak, ataupun adik. Pada saat berkomunikasi itu, kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Namun, dalam menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, setiap penutur sebaiknya berupaya untuk menggunakan bahasa secara baik dan benar. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara orang-orang yang berkomunikasi.
Untuk memahami hubungan antara etika berkomunikasi dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar, terlebih dahulu dikemukakan definisi komunikasi. Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi antarindividu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum. Berdasarkan definisi yang dikemukakan tadi, kita akan mendapatkan tiga komponen yang harus ada dalam setiap proses komunikasi, yaitu (1) pihak yang berkomunikasi, yakni si pengirim dan si penerima informasi, (2) informasi yang sampaikan, dan (3) alat yang digunakan dalam komunikasi itu.
Etika berkomunikasi dalam suatu interaksi komunikasi erat kaitannya dengan pemilihan bahasa, norma-norma sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Para ahli bahasa menyebut lima etika yang harus dikuasai oleh seorang pembicara ketika dia berkomunikasi. Apa saja etika itu?
Dalam menciptakan suasana komunikasi yang baik, terlebih dahulu penutur perlu menguasai dan mengetahui etika dan tatanan berkomunikasi yang akan kita lakukan. Etika pada saat kita berbicara dengan orang lain itu antara lain:
Pertama, seorang pembicara harus mengetahui apa yang akan dikatakannya, pada waktu dan keadaan tertentu kepada lawan bicaranya berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam masyarakat itu;
 Kedua, jenis bahasa apa yang paling wajar kita gunakan yang disesuaikan dengan budaya di tempat kita berbicara;
Ketiga, kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan orang lain;
 Keempat, kapan kita harus diam; dan
Kelima, bagaimana kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara itu.
Butir-butir aturan dalam etika berkomunikasi tadi bukanlah merupakan hal yang terpisah satu sama lainnya. Kelima etika itu merupakan bagian-bagian yang menyatu di dalam tindak berbahasa. Butir (1) dan (2) menjelaskan aturan sosial berbahasa yang terdiri atas: siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, tentang apa, kapan, di mana, dan dengan tujuan apa. Sebagai contoh, kita hendak menyapa seseorang, maka harus kita mengetahui terlebih dahulu siapa orang itu, di mana, kapan, dan dalam situasi bagaimana.
Butir (3) dan (4) yang juga merupakan aturan dalam etika berbahasa perlu pula dipahami agar kita bisa disebut sebagai anggota orang yang dapat berbahasa. Kita tidak dapat seenaknya menyela atau memotong pembicaraan seseorang; untuk menyela kita harus memperhatikan waktunya yang tepat dan tentunya juga dengan memberikan isyarat terlebih dahulu.
Butir (e) dalam etika berkomunikasi menyangkut masalah kualitas suara dan gerak-gerik anggota tubuh ketika berbicara. Kualitas suara berkenaan dengan volume dan nada suara. Setiap budaya mempunyai aturan yang berbeda dalam mengatur volume dan nada suara. Masyarakat Sultra dalam berbahasa daerah ataupun berbahasa Indonesia cenderung menggunakan volume suara yang lebih tinggi dibandingkan dengan para penutur bahasa Sunda dan bahasa Jawa.
Selain lima butir etika berkomunikasi yang dikemukakan di atas, gerak-gerik fisik dalam bertutur juga menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam etika berkomunikasi. Gerak-gerik fisik dalam etika bertutur menyangkut dua hal, yakni yang disebut kinesik dan proksimik. Kinesik ini menyangkut gerakan mata, perubahan ekspresi wajah, perubahan posisi kaki, antara tangan, bahu, kepala, dan sebagainya. Berbeda dengan kinesik, proksimik merupakan jarak tubuh di dalam berkomunikasi atau bercakap-cakap. Jauh-dekatnya jarak tubuh ketika berkomunikasi dengan seseorang bergantung pada apa yang sedang dibicarakan. Jika yang dibicarakan adalah hal yang menyangkut rahasia, maka jarak antarpembicara biasanya dekat, sedangkan untuk pembicaraan yang bersifat umum dapat dilakukan dengan jarak empat atau lima kaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 "Panoptikum Tubuh Malam" Selasa, 3 Januari 2023 Jika saja aku Memakai satu kekuatan Dalam sekejap kau akan kuhapus Aku akan berte...