Menjalin
Hubungan Sosial Lewat Kesantunan Berbahasa
Oleh,
Alfi Faridian, S.Pd.
Sebagai
mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang lain.
Dalam arti kata kita membutuhkan teman untuk saling berkomunikasi. Tujuan kita
berkomunikasi kepada lawan bicara itu sendiri adalah untuk menyampaikan pesan
dan menjalin hubungan sosial (social relationship).
Dalam
penyampian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan
atau tulis, atau nonverbal (bahasa isyarat) yang dipahami kedua belah
pihak; pembicara dan lawan bicara. Sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin
hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan beberapa strategi. Misalnya,
dengan menggunakan ungkapan kesopanan (politeness), ungkapan implisit (indirectness),
basa-basi (lipsservice) dan penghalusan istilah (eufemisme).Strategi
tersebut dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara agar proses komunikasi
berjalan baik dalam arti pesan tersampaikan dengan tanpa merusak hubungan
sosial diantara keduanya. Dengan demikian proses komunikasi selesai
antara pembicara dan lawan bicara mempunyai kesan yang mendalam, misalnya,
kesan simpatik, sopan, ramah, dan santun.
Akan
tetapi bukanlah hal mudah untuk mencapai dua tujuan komunikasi tersebut. Bahkan
seringkali prinsip-prinsip komunikasi sering berbenturan dengan prinsip-prinsip
kesopanan dalam berbahasa. Disatu sisi kita diharuskan untuk mematuhi prinsip
komunikasi agar tidak terjadi kesalahpahaman, tetapi disisi lain kita harus
melanggar prinsip-prinsip tersebut, dengan berbasa-basi, untuk menjaga hubungan
social. Dan yang lebih penting lagi kita harus menjaga kesantunan
berbahasa di dalam menjalin hubungan sosial antarmanusia.
Seperti
yang kita ketahui,masyarakat Indonesia sangat menjunjung kesantunan dalam
berbahasa. Maksud yang akan disampaikan tidak hanya berhubungan dengan
pemilihan kata, tetapi juga cara penyampaiannya. Sebagai contoh, pemilihan kata
yang tepat apabila disampaikan dengan cara kasar akan tetap dianggap kurang
santun.
Banyak
pendapat yang mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat itu akan tercermin dari
kesantunan yang diterapkannya, termasuk kesantunan dalam berbahasa. Apalagi
setiap masyarakat selalu ada hierarkhi sosial yang dikenakan pada
kelompok-kelompok anggota mereka. Hal ini terjadi karena mereka telah
menentukan penilaian tertentu, misalnya, antara tua – muda, majikan – buruh,
guru – murid, kaya – miskin, dan status lainnya, ada perbedaan dalam tata cara
berbahasa. Bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua
tentu akan berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika kita berbicara dengan
anak kecil. Selain itu, faktor konteks juga menyebabkan kesantunan perlu
diterapkan. Suasana formal atau resmi sangat menekankan kesantunan ini.
Penilaian
yang diberikan kepada hierarkhi sosial merupakan penilaian emotif yang diberikan
kepada seseorang individu atau kelompok. Penilaian sepeti ini merupakan tanda
hormat atau apresiasi kepada yang bersangkutan. Kalau diteliti lebih jauh,
fenomena ini sudah diterapkan oleh masyarakat kita sejak dulu. Apakah
masyarakat yang bahasanya mengenal tingkatan bebahasa (undha-usuk, Jawa) atau
tidak mengenalnya.
Kesantunan dalam Berbahasa
Kesantunan
adalah tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama
oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat
yang disepakati oleh perilaku sosial.
Dalam pergaulan sehari-hari
kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu:
Pertama, kesantunan
memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam
pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang
itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di
masyarakat tempat seseorang itu mengambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia
dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu
dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang,
memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang
ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.
Kedua,
kesantunan sangat kontekstual, yakni
berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu
berlaku bagi masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu
dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan
suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau
seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut
berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah
perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan
di rumah.
Ketiga,
kesantunan selalu bipolar, yaitu
memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang
yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara
pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.
Keempat,
kesantunan tercermin dalam cara
berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur
(berbahasa).
Jenis
Kesantunan
Berdasarkan penjelasan di atas,
kesantunan dapat dibagi tiga, yaitu
·
kesantunan berpakaian,
·
kesantunan berbuat, dan
·
kesantunan berbahasa.
Kecuali berpakaian, dua kesantunan
terakhir tidak mudah dirinci karena tidak ada norma baku yang dapat digunakan
untuk kedua jenis kesantunan itu.
Dalam
kesantunan berpakaian (berbusana, berdandan), ada dua hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, berpakaianlah yang sopan di tempat umum, Kedua,
berpakaianlah yang rapi dan sesuai dengan keadaan, yaitu berpakaian resmi pada
acara resmi, berpakaian santai pada situasi santai, berpakaian renang pada
waktu renang.
Kesantunan
perbuatan adalah tatacara bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu
atau dalam situasi tertentu.misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah
orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati, berjalan di
tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama di tempat umum, dan
sebagainya. Masing-masing situasi dan keadaan tersebut memerlukan tatacara yang
berbeda. Pada waktu makan bersama, misalnya, memerlukan kesantunan dalam cara
duduk, cara mengambil makanan, cara makan atau mengunyah, cara memakai sendok,
cara membersihkan mulut setelah makan, dan cara memakai tusuk gigi. Salah satu
contoh mengenai kesantunan dalam tindakan, misalnya sangat tidak
santun apabila kita berwajah murung ketika menerima tamu, duduk dengan kaki
diselonjorkan ketika mengikuti kuliah dosen, bertolak pinggang ketika berbicara
dengan orang tua, mendahului orang lain dengan bersenggolan badan atau ketika
berjalan di tempat umum tanpa sebab, nyelonong ke loket ketika yang lain sedang
antre menanti giliran, menguap selebar-lebarnya sambil mengeluarkan suara di
depan orang lain, dan mencungkil gigi tanpa menutup mulut ketika sedang makan
bersama di tempat umum.
Kesantunan
berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau
tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya,
tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa
harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup
dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara
berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan
mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh,
tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya.
Tatacara
berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan
komunikan) demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara
berbahasa ini harus mendapatkan perhatian, terutama dalam proses belajar
mengajar bahasa. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih
bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa
bertujuan mengatur serangkaian hal berikut.
1. Apa yang sebaiknya dikatakan pada
waktu dan keadaan tertentu.
2. Ragam bahasa apa yang sewajarnya
dipakai dalam situasi tertentu.
3. Kapan dan bagaimana giliran
berbicara dan pembicaraan sela diterapkan.
4. Bagaimana mengatur kenyaringan
suara ketika berbicara.
5. Bagaimana sikap dan gerak-gerik
keika berbicara.
6. Kapan harus diam dan mengakhiri
pembicaraan.
Suatu
kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang sangat berpengaruh
pada pola berbahasanya. Oleh sebab itu kita perlu mempelajari atau memahami
norma-norma budaya sebelum mempelajari bahasa. Sebab, tatacara berbahasa yang
mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa.
Pembentukan
Kesantunan Berbahasa
Kesantunan dalam berbahasa akan
menggambarkan kesantunan atau kesopansantunan penuturnya. Kesantunan berbahasa
(menurut Leech, 1986) pada hakikatnya harus memperhatikan empat prinsip.
Pertama, penerapan prinsip kesopanan
(politeness principle) dalam berbahasa. Prinsip ini ditandai dengan
memaksimalkan kesenangan/kearifan, keuntungan, rasa salut atau rasa hormat,
pujian, kecocokan, dan kesimpatikan kepada orang lain dan meminimalkan
hal-hal tersebut pada diri sendiri.
Dalam berkomunikasi, di samping
menerapkan prinsip kerja sama (cooperative principle) dengan keempat maksim
(aturan) percakupannya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim
relevansi, dan maksim cara; juga menerapkan prinsip kesopanan dengan keenam
maksimnya, yaitu
(1) maksim kebijakan yang mengutamakan
kearifan bahasa,
(2) maksim penerimaan yang
mengutamakan keuntungan untuk orang lain dan kerugian untuk diri sendiri,
(3) maksim kemurahan yang
mengutamakan kesalutan/rasa hormat pada orang lain dan rasa kurang hormat pada
diri sendiri,
(4) maksim kerendahan hati yang
mengutamakan pujian pada orang lain dan rasa rendah hati pada diri sendiri,
(5) maksim kecocokan yang
mengutamakan kecocokan pada orang lain, dan
(6) maksim kesimpatisan yang
mengutakan rasa simpati pada orang lain.
Dengan demikian apabila kita
menerapkan prinsip kesopanan dalam berbahasa, tidak akan lagi terdengar
pembicaraan yang menggunakan ungkapan-ungkapan yang merendahkan orang lain
sehingga komunikasi akan berjalan dalam situasi yang kondusif.
Kedua, penghindaran pemakaian kata yang
dianggap tabu. Pada kebanyakan masyarakat, kata-kata yang berbau seks,
kata-kata yang merujuk pada organ-organ tubuh yang lazim ditutupi pakaian,
kata-kata yang merujuk pada sesuatu benda yang menjijikkan, dan kata-kata
“kotor” dan “kasar” termasuk kata-kata tabu dan tidak lazim digunakan dalam
berkomunikasi sehari-hari, kecuali untuk tujuan-tujuan tertentu.
Ketiga, berkenaan dengan penghindaran kata tabu, kita dapat
menggunaan gaya bahasa eufemisme sebagai ungkapan penghalus. Penggunaan
eufemisme ini perlu diterapkan untuk menghindari kesan negatif.
Keempat,
penggunaan pilihan kata honorifik,
yaitu ungkapan hormat untuk berbicara dan menyapa orang lain. Penggunaan
kata-kata honorifik ini tidak hanya berlaku bagi bahasa yang mengenal tingkatan
(undha-usuk, Jawa) tetapi berlaku juga pada bahasa-bahasa yang tidak mengenal
tingkatan. Hanya saja, bagi bahasa yang mengenal tingkatan, penentuan kata-kata
honorifik sudah ditetapkan secara baku dan sistematis untuk pemakaian setiap
tingkatan. Misalnya, bahasa krama inggil (laras tinggi) dalam bahasa Jawa perlu
digunakan kepada orang yang tingkat sosial dan usianya lebih tinggi dari
pembicara; atau kepada orang yang dihormati oleh pembicara.
Adapun tujuan utama dari kesantunan
berbahasa adalah memperlancar komunikasi. Oleh karena itu, pemakaian bahasa
yang sengaja dibelit-belitkan, yang tidak tepat sasaran, atau yang tidak
menyatakan yang sebenarnya karena enggan kepada orang yang lebih tua juga
merupakan ketidaksantunan berbahasa. Kenyataan ini sering dijumpai di
masyarakat Indonesia karena terbawa oleh budaya “tidak terus terang” dan
menonjolkan perasaan. Dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi jika
penutur tidak bermaksud mengaburkan komunikasi sehingga orang yang diajak
berbicara tidak tahu apa yang dimaksudkannya.
Aspek-aspek
Non-linguistik yang Mempengaruhi Kesantunan Berbahasa
Karena tatacara berbahasa selalu
dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai sistem komunikasi,maka selain
unsur-unsur verbal, unsur-unsur nonverbal yang selalu terlibat dalam
berkomunikasi pun perlu diperhatikan. Unsur-unsur nonverbal yang dimaksud
adalah unsur-unsur paralinguistik, kinetik, dan proksemika. Pemerhatian
unsur-unsur ini juga dalam rangka pencapaian kesantunan berbahasa
Paralinguistik berkenaan dengan
viri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara
sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam
berbahasa. Penutur mesti memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika
berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika ada
seorang dosen sedang berbicara di depan kelas, apabila mahasiswa ingin
berbicara dengan teman di sebelahnya akan santun apabila dengan cara berbisik
agar tidak mengganggu mahasiswa yang lain. Suara keras yang menyertai unsur
verbal penutur ketika berkomunikasi dengan atasannya bisa dianggap kurang
sopan, tetapi hal itu dapat dimaklumi apabila penutur berbicara dengan orang
yang kurang pendengarannya
Gerak tangan, anggukan kepala,
gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti murung dan senyum
merupakan unsur kinesik (atau ada yang menyebut gesture, gerak isyarat) yang
juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan
dengan unsur verbal dalam berkomunikasi, fungsinya sebagai pemerjelas unsur
verbal. Sebenarnya banyak gerak isyarat (gesture) digunakan secara terpisah
dengan unsur verbal karena pertimbangan tertentu. Misalnya, karena ada makna
yang dirahasiakan, cukup dengan mengerdipkan mata kepada lawan komunikasi agar
orang di sekelilingnya tidak tahu maksud komunikasi tersebut.
Unsur nonlinguistik lain yang perlu
diperhatikan ketika berkomunikasi verbal adalah proksemika, yaitu sikap
penjagaan jarak antara penutur dan penerima tutur (atau antara komunikator dan
komunikan) sebelum atau ketika berkomunikasi berlangsung. Penerapan unsur ini
akan berdampak pada kesantunan atau ketidaksantunan berkomunikasi. Ketika
seseorang bertemu dengan teman lama, setelah beberapa lama berpisah, ia
langsung berjabat erat dan berangkulan; dilanjutkan dengan saling bercerita
sambil menepuk-nepuk bahu. Tetapi, ketika ia bertemu dengan mantan dosennya,
walaupun sudah lama berpisah, ia langsung menundukkan kepala sambil berjabat
tangan dengan kedua tangannya. Si mantan dosen, sambil mengulurkan tangan kanannya,
tangan kirinya menepuk bahu mahasiswa yang bersangkuan.
Pada contoh kedua peristiwa itu,
terlihat ada perbedaan jarak antara pemberi tanda dan penerima tanda. Apabila
penjagaan jarak kedua peristiwa itu dipertukarkan,maka akan terlihat janggal,
bahkan dinilai tidak sopan. Penjagaan jarak yang sesuai antara peserta
komunikasi akan memperlihatkan keserasian, keharmonisan, dan tatacara
berbahasa.
Selain ketiga unsur di atas, hal
lain yang perlu diusahakan adalah penjagaan suasana atau situasi komunikasi
oleh peserta yang terlibat. Misalnya, sewaktu ada acara yang memerlukan
pembahasan bersama secara serius, tidaklah sopan menggunakan telepon genggam
(handphone) atau menerima telepon dari luar, apalagi dengan suara keras. Kalau
terpaksa menggunakan atau menerima telepon, sebaiknya menjauh dari acara
tersebut atau suara diperkecil.
Kecenderungan mendominasi
pembicaraan, berbincang-bincang dengan teman sebelah ketika ada pertmuan dalam
forum resmi, melihat ke arah lain dengan gaya melecehkan pembicara, tertawa
kecil atau sinis merupakan sebagian cara yang tidak menjaga suasana komunikasi
yang kondusif, tenteram, dan mengenakkan, yang bisa berakibat mengganggu tujuan
komunikasi.
Strategi
Komunikasi yang Dapat Dikembangkan oleh Pembicara dan Lawan Bicara
a. Komunikasi sebagai Penyampai Pesan
Dalam proses komunikasi ada beberapa
prinsip yang harus dipahami oleh pembicara dan lawan bicara.Prinsip-prinsip
tersebut harus dipatuhi oleh kedua pihak (pembicara dan lawan bicara), agar
pesan yang disampaikan oleh pembicara dimengerti oleh lawan bicara atau
sebaliknya. Dengan mematuhi prinsip-prinsip tersebut, diharapkan kesalahpahaman
terhadap pesan yang disampaikan dapat dikurangi, jika tidak bisa ditiadakan
sama sekali. Grice (1975) menyatakan ada 4 ‘maxim’ dalam komunikasi yang
disebut ‘co-operative principle’, yang harus dipahami antara pembicara dan
lawan bicara. ‘Co-operative principle’ ini adalah semacam ‘general agreemen’t
(persetujuan umum) yang dipatuhi bersama antara
pembicara dan lawan bicara. Keempat
‘maxim’ tersebut adalah:
Quantity (kuantitas)
1. Make your contribution
as informative as is required (for the current purposes of the exchange),
maksudnya dalam proses komunikasi baik pembicara maupun lawan bicara harus
memberikan kontribusi (pembicakapn) yang memadai, artinya baik pembicara maupun
lawan bicara tidak boleh mendominasi percakapan, kedua pihak harus mendapat
porsi pembbicaraan yang sepadan.
2. Do not make your contribution more informative than is
required. Artinya baik lawan pembicara
maupun lawan bicara tidak boleh memberi informasi (berbicara) melebihi yang
diperlukan. Jika pembicara terlalu banyak
memberikan informasi yang tidak
dibutuhkan, maka dia akan dianggap membual, demikian juga sebaliknya.
Quality (kualitas)
1. Do not say what you
believe to be false, Artinya baik pembicara maupun lawan bicara
tidak boleh berbohong. Kedua pihak harus percaya akan apa yang dikatakan
oleh pembicara, demikian sebaliknya.
2. Do not say for which
you lack adequate evidence. Artinya pembicara dan lawan bicara tidak boleh
berbicara jika tidak punya bukti yang cukup.
Relation (hubungan)
1. Be relevant.
Artinya apa yang dikatakan harus relevan (sesuai)
Manner (cara)
1.
Be
perspicuous. Artinya apa yang dikatakan harus
jelas.
Grice
membagi maxim ke empat ini menjadi 4 sub bagian ;
(1) Avoid obscurity (hindari
ketidakjelasan);
(2) Avoid ambiguity (hindari kerancuan
makna);
(3) Be brief(singkat); dan
(4) Be orderly (runtut)
Dalam
berkomunikasi baik pembicara maupun lawan bicara harus mematuhi ke empat
‘maxim’ ini.Misalnya, diantara mereka harus saling ada kepercayaan bahwa apa
yang dikatakan pembicara itu benar, demikian juga sebaliknya. Suatu contoh jika
kita berjanji kepada seseorang untuk bertemu di stasiun jam 7 pagi, maka kita harus
datang tepat jam 7 pagi di stasiun, demikian juga lawan bicara kita juga harus
percaya bahwa pembicara akan datang jam 7 pagi di stasiun. Jika kepercayaan itu
terbangun maka kedua pihak (pembicara dan lawan bicara sudah saling mematuhi
‘cooperative principle’ (maxim Quality no (1)). Disamping itu ungkapan
harus disampaikan dengan jelas, tidak berbelilt-belit, tidak berlebihan dan
tidak menimbulkan kerancuan makna, singkat dan runtut. Jika
‘cooperativeprinciple’ ini dipenuhi oleh kedua pihak (pembicara dan lawan
bicara) kemungkinan kesalahpahaman dapat dihindari, sehingga tujuan komunikasi
berhasil.
b. Komunikasi untuk Menjalin Hubungan Sosial
Tujuan
lain komunikasi adalah untuk menjalin hubungan sosial (social relationship)antara
pembicara dan lawan bicara. Dalam hal menjalin hubungan sosial ini tujuan
komunikasi menjadi sangat kompleks. Kompleksitas ini disebabkan tidak hanyaoleh
faktor-faktor linguistik (linguistic factors) yang harus dipertimbangkan
olehpembicara dan lawan bicara, namun faktor-faktor non linguistik (non-linguistic
factors) juga memegang peranan penting. Seorang pembicara tidak cukup
memilih formulasi gramatikal dan pilihan kata yang tepat untuk berbicara,
tetapi aspek sosiokultural juga harus menjadi pertimbangan. Hudson (1980)
menyebutkan bahwa faktor peran dan hubungan (role relationship), usia (age),
dan stratifikasi sosial(social stratification) juga sangat berperan
dalam mencapai tujuan komunikasi.
Untuk
menjalin hubungan sosial. Faktor peran dan hubungan (role relationship)
antara pembicara dan lawan bicara menjadi pertimbangan penting dalam proses
komunikasi. Misalnya, komunikasi antara seorang bawahan pada atasan, seorang
anak pada bapak, sesama teman akrab, semua ini menuntut strategi komunikasi
yang berbeda. Jika seorang bawahan berbicara pada atasan, dia akan memilih
ungkapan yang sesuai dengan peran dia dan atasannya. Bahkan pemilihan kata saja
tidak cukup, seringkali ucapan seorang bawahan tersebut disertai dengan body
language (bahasa tubuh) yang merepresentasikan penghormatan dia pada
atasan, misalnya dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
Sikap
hormat ini merupakan salah satu sikap hidup orang Jawa De Jong(1984), terutama
sikap hormat bagi pangkat atau derajat danbagi orang yang mempunyai kedudukan
tinggi atau seorang pemimpin. Bahkan rasa hormat bagi orang Jawa itu sering
sedemikian kuat, sehingga seseorang dinilai menurut kedudukannya.Faktor usia (age)
juga menjadi pertimbangan penting dalam proseskomunikasi. Seorang anak harus
memilih kata yang tepat untuk berbicara dengan orang tuanya atau orang yang dia
anggap lebih tua dari dia.
Perbedaan
diksi kata ini sangat jelas, misalnya dalam bahasa Jawa. Kata mangan,
dhahar, nedha pada prinsipnya mempunyai makna semantis sama, yaitu memasukkan
makanankedalam mulut. Namun ketiga kata itu tidak dapat digunakan
sembarangan.Misalnya, seorang anak menyuruh bapaknya makan dengan ekspresi “Wis
pakmangan-mangano segone ning meja”. Pemakaian kata mangan dalam
ekspresimangano sama dengan kata nedha dan dhahar secara
semantis. Demikian juga secara gramatikal ungkapan itu tidak salah, namun
secara pragmatis ungkapan itu kurang tepat. Ketidak tepatan pemakaian ungkapan
itu karena peran dan hubungan antarkeduanya, yaitu sebagi seorang anak dan
orangtua. Usia seorang anak lebih muda dibanding dengan usia ayahnya. Karena
perbedaan peran dan usia ini mengharuskan seorang anak menggunakan ungkapan
yang tepat misalnya dhahar (krama inggil).
Dalam
bahasa Jawa dikenal tiga stratifikasi bahasa yang menunjukkan status sosial dan
usia, yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko Geertz (1977).Ketiga
tingkatan bahasa tersebut harus tepat cara penggunaannya, dan kekurangtepatan
dalam penggunaannya akan dianggap anak yang tidak tahu tatakrama
(sopan-santun). Jadi standar yang dipakai bukan salah benar tetapi tepat atau
tidak tepat cara pemakaian ungkapan tersebut .Faktor stratifikasi sosial juga
sangat berperan dalam proses komunikasi untuk tujuan menjalin hubungan sosial.
Dalam tradisi Jawa dikenal tiga stratifikasi sosial yaitu kalangan bangsawan,
kalangan menengah, dan kalangan bawah.Masing-masing stratifikasi
ini mempunyai style (gaya bahasa) yang berbeda satu sama lain.
Masing-masing style disepakati bersama cara pemakaiannya dalam konvensi
dan norma sosial yang berlaku. Dalam bahasa Perancis, misalnya dikenald engan
pemakain kata ganti orang (pronoun) Tu dan Vous. Wardaugh(1987). Tu
digunakan untuk menyebut you (kamu) pada orang yang lebih tua, misalnya
seorang anak pada bapaknya. Sedangkan Vous, digunakan untuk sebutan you(
kamu) untuk orang yang lebih tua pada orang lebih muda.
c. Kesopanan dalam Berkomunikasi (Politeness)
Disamping
faktor-faktor non linguistik yang telah disebutkan diatas sebagai strategi
komunikasi, ada faktor lain yang juga sangat penting dalam proses
komunikasi,yaitu kesopanan (politeness). Faktor kesopanan ini lebih
banyak terkait dengan aspek sosiokultural pemakai bahasa dari pada dengan aspek
kebahasaan. Dalam proses komunikasi, pembicara dan lawan bicara tidak hanya dituntut
taat pada cooperative principle saja, tetapi bahkan keduanya dituntut
untuk saling memahami, bahkan mengerti maksud yang diinginkan tanpa harus
mengucapkannya secara eksplisit.
Seperti
halnya coo-perative principle dalam proses komunikasi, faktor kesopanan
dalam berbicara juga ada prinsip-prinsipnya. Lakoff (dalam Cook, 1989)
merumuskan tiga prinsip kesopanan dalam berkomunikasi; Don’t impose (jangan
memaksa), Give option (berikan pilihan), dan Make your receiver feel
good (buatlah lawan bicara anda merasa senang). Ketiga prinsip kesopanan
ini harus dipakai dalam berkomunikasi dengan lawan bicara jika pembicara ingin
menjalin hubungan sosial dengan lawan bicara.
Dalam
kehidupan sehari-hari sering seseorang memerintah orang lain untuk melakukan
sesuatu dengan perintah eksplisit, misalnya, “Jangan merokok diruang ini”,
“Dilarang membuang sampah disini”. Kedua contoh ungkapan perintah
tersebut terasa sekali unsur perintahnya, sehingga jika perintah itu diberikan
kepada lawan bicara yang berstatus dan berkedudukan sama mungkin akan
menimbulkan ketidaksenangan orang yang diperintah, apalagi orang yang
memerintah itu tidak dalam posisi sebagai atasan atau orang yang berhak
memerintah.Namun demikian perintah itu akan terkesan lebih halus, lebih
sopan,dan tidak menimbulkan sosial distance (gap sosial) antara
pembicara dan lawan bicara jika diungkapkan dengan “Terima kasih anda tidak
merokok di ruang ini”,“Terima kasih anda tidak membuang sampah
disini” Kedua ungkapan tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu menjaga
agar ruangan tidak berbau asap rokok, dan ruangan tidak penuh dengan sampah.
Namun kedua ungkapan ini akan terkesan lebih sopan dan tidak terkesan menyuruh
atau memerintah seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan; yaitu tidak
merokok dan tidak membuang sampah sembarangan.
Contoh
ungkapan perintah yang halus seperti itu juga ada dalam bahasa-bahasa lain,
misalnya dalam bahasa Inggris. Cook(1989) memberikan beberapa contoh ungkapan request
(permintaan) dengan ungkapan yang halus dan sopan seperti “Would you mind…?,
“ May I ask you to…? atau “Could you possibly..?”. Dalam bahasa
Indonesia banyak kita jumpai ungkapan penghalusan perintah atau kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh seseorang. Misalnya, sering kita jumpai spanduk
bertulikan “Batas akhir pembayaran PBB sampai 28 Oktober 2009”. Ungkapan
ini dapat diinterpretasikan sebagai ungkapan perintah dan peringatan untuk
membayar pajak bagi yang belum membayar, dan sekaligus berupa peringatan bagi
yang mungkin lupa bahwa melewati batas tanggal pembayaran tersebut akan
dikenakan sanksi.
Namun
demikian ada perintah tertentu yang dalam kondisi tertentu perintah tersebut
harus tegas dan jelas sebagai perintah. Misalnya, bila kita berada di dalam
gedung bioskop yang kebetulan sedang terbakar, maka para petugas pemadam atau
satpam akan membentak-membentak dan menyuruh semua orang untuk keluar, tidak
perduli apakah orang yang sedang menonton tersebut adalah atasannya, bupati
atau petinggi daerah lainnya. Ungkapan penghalusan perintah tidak lagi efektif
teriakan “keluar!, keluar!, cepat!, cepat!” dalam hal ini akan lebih efektif.
Demikian halnya ditempat yang berbahaya seperti pompa bensin ungkapan larangan
harus ditulis dengan tegas “DILARANG MEROKOK” bahkan larangan tersebut ditulis
dengan cat merah, yang sebenarnya dalam tatatulis cat merah menunjukkan
perasaan marah. Dari uraian ini jelas bahwa ungkapan penghalusan dapat dipakai
dalam konteks dan kondisi tertentu, demkian halnya ungkapan langsung (tanpa
harus diperhalus) juga dapat dipakai pada kondisi dan konteks tertentu.
d. Ungkapan Tidak Langsung (Indirectness)
Salah satu
strategi yang dilakukan oleh pembicara untuk menjaga hubungan social dengan
lawan bicara agar tetap baik adalah dengan menggunakan ungkapanindirectness (ketidaklangsungan).
Agar hubungan sosial antara pembicara danlawan bicara terjalin baik maka kedua
pihak harus menghindari hal-hal yang dapat merusak hubungan tersebut, misalnya,
penggunaan ungkapan yang kasar, tidak sopan dan menyakitkan atau mempermalukan
pembicara atau lawan bicara di depan umum dengan ungkapan tertentu.
Pada prinsipnya bagaimana komunikasi yang disampaikan
dapat mencapai tujuan yang diinginkan tanpa harus dikatakan.Gumperz (1982a)
memberi istilah rapport dan defensiveness. Rapport artinya
pembicara atau lawan bicara akan merasa senang ucapannya dapat dimengerti tanpa
harus menjelaskan secara detail, demikian halnya dengan lawan bicara. Sedangkan
defensiveness artinya kepentingan untuk menyelamatkan muka (tosave
someone’s face). Semua ini dilakukan oleh pembicara dan lawan bicara
semata-mata untuk menjaga kesetiakawanan atau persahabatan (maintaincamaraderie)
dan menjalin hubungan sosial yang lebih baik.
Pemakaian ungkapan tidak langsung ini sering dijumpai
dalam kenyataan sehari-hari. Misalnya, ketika malam mulai larut seorang suami
masih menulis diruang keluarga, kemudian istrinya bilang “ Pak sudah malam”.
Ungkapan ini bisa diinterpretasikan bermacam-macam, mungkin sang istri ingin
agar suaminya mengecek pintu dan jendela yang belum terkunci, mematikan lampu
yang tidak diperlukan, memeriksa kunci pengaman kendaraan supaya tidak dicuri
orang, atau bahkan mungkin berupa ajakan sang istri untuk “tidur”, karena hari
sudah larut malam agar besok tidak mengantuk sewaktu bekerja. Ungkapan “Pak
sudah malam” dalam konteks yang disebutkan tadi dapat dikaitkan dengan
beberapa aspek non linguistik untuk membangun interpretasi yang akurat. Kata malam
dapat dikaitkan dengan jendela, kunci, pintu, lampu, tidur dan mengantuk.
Ullman
(1972) menyebutnya ada keterkaitan antara name dan sense, yaitu
satu sebutan dapat mengacu pada beberapa makna. Untuk dapat menginterpretasi
dengan akurat ungkapan yang tidak langsung ini diperlukan pemahaman yang
mendalam. Lawan bicara harus dapat mengaitkan ungkapan dengan konteks
percakapan tidak hanya pada level surface structure(struktur gramatikal)
dimana ungkapan tersebut digunakan, tetapi juga deepstructure (makna
dibalik ungkapan) yang digunakan. Lyons(1981). Oleh karena itu baik pembicara
atau lawan bicara harus dapat melakukan conversational inference.
Gumperz(1982b),
Karena interpretatasi percakapan tidak bisa dipisahkan dengan situasi atau
konteks (context bound process of interpretation). Baik pembicara maupun
lawan bicara harus mampu mengaitkan struktur kalimat sebelum dansesudahnya atau
dengan contextualization cues dalam istilah Gumperz (1982b).Dengan kata
lain pemahaman dengan pendekatan semantik saja tidak cukup untuk memahami makna
yang tersurat (makna implisit), pendekatan pragmatik juga harus digunakan.
Dalam pendekatan pragmatik aspek socio kultural, peran konteks kalimat menjadi
sangat penting untuk mendapatkan interpretasi yang akurat.
Ungkapan
tidak langsung (indirectness) juga banyak dijumpai dalam bahasa
Indonesia. Ungkapan ini tercermin dalam beberapa terminologi seperti,
basa-basi,dan eufemisme (penghalusan istilah).
e. Basa-Basi (Lips Service)
Ungkapan
basa-basi ini merupakan bagian dari budaya orang Indonesia, khususnya Jawa.
Ungkapan ini dapat kita jumpai setiap hari. Misalnya, jika ada seorang teman
lewat didepan rumah, kita selalu menawarinya “nggak mampir dulu“, ketika
teman datang kerumah kita, kita menawarinya “mari makan”, padahal
sebenarnya tawaran mampir dan makan tersebut tidak serius, artinya kita hanya
berbasa-basi. Bahkan bila tetangga kita lewat didepan rumah sering kita
bertanya“mau pergi kemana?”, walaupun kenyataannya kita sebenarnya tidak
ingin tahu mau pergi kemana tetangga tersebut. Ungkapan basa-basi ini menjadi
bagian percakapan yang penting dalam budaya kita. Ungkapan basa-basi ini
sekedar untuk mejalin hubungan sosial antarapembicara dan lawan bicara. Dalam
contoh diatas yang tercermin adalah rasa perduli, ramah dan memperhatikan orang
lain. Tidak ada fungsi khusus dalam proses komunikasi.
Pemakaian ungkapan basa-basi ini sebenarnya bertentangan
dengan coopertiveprinciple. Jika dalam berkomunikasi kita diharapkan
untuk mematuhi semua maxim dalam co-operative principle, misalnya, tidak
boleh bohong, maka dalam ungkapan basa basi ini justru orang cenderung “melanggar
kesepakatan”tersebut (flouting co-operative principle). Pembicara
tahu bahwa tetangganya sedang lewat, maka dia mengucapkan “Nggak singgah
dulu?”, sebagai tanda bahwa “saya tetangga anda” atau “saya kenal
anda”. Ungkapan semacam ini Cook(1989) menyebutnya sebagai “the phatic
function of language“. Menyadari bahwa ungkapan pembicara hanya sekedar
basi-basi, maka lawan bicara juga menerapkan strategi yang sama, yaitu flouting
co-operative principle (mengingkari kesepakatan), misalnya dengan menjawab
“Oh terima kasih saya sedang terburu-buruu”, walaupun sebenarnya tidak
ada acara yang penting atau tidak sibuk. Dengan menggunakan strategi yang
demikian mereka sama-sama sampai pada interpretasi yang tepat.Untuk memahami
ungkapan basa-basi ini tidak cukup dengan memahami makna leksikal atau struktur
gramatikal sebuah ungkapan. Namun pemahaman sosiokultural antar keduanya
(pembicara dan lawan bicara) menjadi sangat penting.
Gumperz
(1982a). Bagi orang Indonesia ketika bertemu teman, kita sering menyapa “Mau
kemana?” atau “Where are you going?” dalam bahasa Inggris,sedangkan
bagi orang Eropa atau Amerika, ungkapan ini dianggap telah mencampuri urusan
orang lain. Dalam hati mereka akan bilang “Saya mau pergi kemana saja bukan
urusan anda” atau “It’s none of your business”, sementara dalam
budaya Indonesia sapaan tersebut merupakan bagian dari strategi untuk
mencairkan suasana(breaking the ice), sehingga proses komunikasi
selanjutnya menjadi lebih santai dan tidak tegang.
Banyak
ungkapan-ungkapan lain sebagai pembuka komunikasi dalam budaya kita, atau hanya
sekedar mengetahui keadaan lawan bicara. Misalnya, ketika seseorang bertemu
dengan sahabat lama yang ditanyakan pertama adalah “Gimana kabarnya? apa
sudah menikah?”, “Berapa putranya?”, atau “Hai kok gemuk sekali
sekarang”. Pertanyaan dan sapaan semacam ini kelihatan sepele jika
ditujukan pada sesama orang Indonesia. Tetapi pertanyaan dan sapaan tersebut
akan menyinggung perasaan lawan bicara jikaditujukan pada orang Eropa, Amerika
atau orang dari benua lain yang mempunyailatar belakangn sosio kultural berbeda
dengan orang Indonesia. Bagi orang Eropa, Amerika atau orang dari benua lain
pertanyaan dan ungkapan diatas merupakan pertanyaan sensitif (sensitive
questions), demikian halnya dengan ungkapan “Hai kok gemuk sekali
sekarang”. Bagi orang-orang barat gemuk merupakan penderitaan, oleh karena
itu ungkakan “Hai kok gemuk sekali”, merupakan ungkapan yang manyakitkan
perasaan. Oleh karena itu pertanyaan dan ungkapan tersebut harus dihindari jika
kita ingin proses komunikasi berlangsung dengan baik.
f. Eufemisme
Bentuk
strategi komunikasi lain yang sering kita jumpai adalah pemakaian ungkapan
eufemisme (penghalusan istilah). Misalnya, jika kita mengurus
surat dan ternyata surat tersebut belum selesai, maka petugas yang bertanggung
jawab tidak akan mengatakan belum selesai, melainkan suratnya “masih dalam
proses”. Masih banyak contoh-contoh lain ungkapan yang serupa, misalnya
keputusannya“masih dipertimbangkan” (artinya belum jelas), “salah
pembukuan” (korupsi),“diamankan” (ditahan), “lembaga
pemasyarakatan” (penjara), “negara berkembang” (negara miskin), “hutang”
(bantuan).
Pemakaian
ungkapan eufemisme dalam komunikasi sehari-hari mengakibatkan perubahan makna
kata (semantic change) yang signifikan. Bahkan Kleiden (1987)
menyebutnya telah terjadi degradasi makna kata. Orang Indonesia merasa
malu dikategorikan sebagai negara yang suka ngutang ke negara lain, oleh
karena itu dicari ungkapan yang lebih halus bantuan, sedangkan sebutan
Negara miskin dirubah menjadi negara berkembang, kata pelacur diganti
dengan wanita tuna susila atau pekerja seks komersial (PSK). Kata
pinjam berbeda dengan bantuan, ungkapan pinjam bararti harus
mengembalikan sedangkan kata bantuan berarti pemberian, sehingga tidak ada
kewajiban untuk mengembalikan. Demikian juga halnya dengan kata aman dalam
ungkapan diamankan. Kata aman berarti tidak ada masalah,
sedangkan diamankan artinya ditahan karena seseorang telah dianggap
berbuat yang melanggar hukum atau bermasalah.
Pemakaian eufemisme
tidak akan mengubah hakikat dari subjek yang menyandangnya. Pemakaian
istilah wanita tuna susila (wts) sebagai ganti pelacur tidak akan
merubah status dan profesi wanita tersebut, misalnya berubah menjadi wanita
yang lebih baik, yang tidak lagi melacur. Justru pemakaian eufemisme ini
malah menimbulkan kesan tidak ada beban moral dan psikologis pada orang
yangmenyandangnya. Dengan menggunakan kata bantuan sebagai bentuk
penghalusan istilah hutang, secara psikologis pemerintah Indonesia
tidak pernah merasa terbebani untuk mengembalikan, walaupun pada kenyataan
semua hutang harus dikembalikan, sehingga hutang-hutang pemerintah harus “di
jadwal ulang” alias diperpanjang masa pengembaliannya, sehingga ketika
utang sudah semakin menumpuk pemerintah mengajukan permohonan kepada debitur agar
utanng-utangnya di write off atau dikemplang alias tidak
dibayar.Demikian halnya dengan ungkapan salah pembukuan sebagai ganti
kata korupsi. Misalnya, “Si A telah membuat kesalahan pembukuan keuangan
negara”.Ungkapan ini seolah tidak ada beban psikologis yang melekat, karena
kesalahan pembukuan dapat terjadi pada siapapun, termasuk si A, sehingga
ada kemungkinan si A tidak jera untuk mengulangi perbuatan yang kurang baik
tersebut.
Oleh
karena itu, pemakain eufemisme ini seharusnya dibatasi. Misalnya,hanya
dipergunakan untuk predikat orang yang belum tentu bersalah. Hal ini untuk menghindari
efek psikologis negatif yang diakibatkan oleh makna yang melekat dalam ungkapan
tersebut, atau bahkan untuk menghindari character assassination (penghancuran
atau pembunuhan karakter seseorang). Sedangkan untuk orang yang memang
benar-benar telah melanggar norma-norma kesusilaan dan hukum, maka tidak ada
salahnya jika digunakan ungkapan yang mempunyai efek psikologis, misalnya, kata
koruptor harus digunakan untuk menyebut orang yang telah memanipulasi
uang negara untuk kepentingan pribadi. Dengan sebutan tersebut diharapkan
pelakunya akan menanggung beban psikologis negatif, dan jera untuk mengulangi
perbuatannya lagi.
g. Etika Berbicara
Berbicara adalah kebutuhan kita sebagai
manusia. Berbicara merupakan salah satu cara yang efektif bagi kita untuk
berkomunikasi. Dengan berbicara kita bisa menyampaikan maksud dan tujuan serta
buah pikiran kita dengan cepat. Akan sangat bijaksana jika kita
memperhatikan cara berbicara maupun isi dan materi yang kita bicarakan. Jangan
sampai ungkapan “banyak bicara banyak berdosa” sampai menjangkiti kita. Ada
banyak etika, adab dan sopan santun dalam berbicara yang diketahui dan dianut
oleh masyarakat. Salah satu acuan yang dapat kita jadikan pedoman adalah adab
berbicara di Minang Kabau Sumatera Barat yang dikenal dengan “Kato nan Ampek”
yaitu adab berbicara dibedakan atas empat (ampek) jenis audience atau
lawan komunikasi kita, sebagai berikut:
1. Kato Mandaki
Kata dan adab yang digunakan bila
kita berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau dituakan dan lebih
dihormati karena jabatan dan kedudukannya.
2. Kato Mandata
Kata dan adab yang digunakan bila
kita berkomunikasi dengan teman sebaya atau rekan kerja.
3. Kato Malereng
Kata dan adab yang digunakan bila
kita berkomunikasi dengan orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita
dan keluarga seperti ipar, besan, sumando, mamak rumah.
4. Kato Manurun
Kata dan adab yang digunakan bila
kita berkomunikasi dengan orang yang lebih muda ataupun kepada bawahan.
Selain adab dan pemilihan kata dalam
berkomunikasi, perhatikan juga materi atau isi pembicaraan kita. Berikut ini
ada beberapa materi yang suka dijadikan topik dalam pembicaraan dan
dikhawatirkan dapat menjerumuskan kita pada pembicaraan yang berpotensi dosa.
Membicarakan kelebihan diri sendiri
Pembicaraan jenis ini disatu sisi
diyakini bisa meningkatkan rasa percaya diri/self esteem. Dan baik juga untuk
meningkatkan citra positif yang bisa memacu semangat dalam beraktifitas. Namun
harus diwaspadai jika pembicaraan ini terlalu berlebihan bisa menimbulkan
kesombongan.
Membicarakan kekurangan diri sendiri
Pembicaraan jenis ini berguna untuk
introspeksi diri sehingga dengan menyadari kekurangan kita bisa mengupayakan
perbaikan diri untuk meningkatkan kualitas hidup selanjutnya. Namun jika
berlebihan dan sampai pada penyesalan-penyesalan yang keterlaluan apalagi
meratapi nasib akan berakibat buruk terhadap tingkat percaya diri yang bisa
membuat kehilangan semagat hidup.
Membicarakan kelebihan orang lain
Kelebihan orang lain dapat
memotivasi kita untuk berbuat hal yang sama jika kita dan lingkungan
menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan layak ditiru. Tapi jika terlalu
berlebihan dan sampai mengidolakan apalagi sampai mengkultuskan seseorang akan
berakibat tidak sehat untuk jiwa.
Membicarakan kekurangan orang lain
Topik ini merupakan yang paling
senang dibicarakan orang dimana. Infotainment yang memuat berbagai skandal dan
kebobrokan moral sangat digemari dan mempunyai rating yang tinggi. Pembicaraan
ini yang lebih populer disebut gosip, gunjing atau ghibah sering menjadi topik
sehari-hari dan sebagian dari kita sangat senang dan bahkan menikmati
pembicaraan ini. Alangkah bijaksananya jika kita menyikapi fenomena ini sebagai
ajang introspeksi bukannya malah menu utama untuk dijadikan pembicaraan hangat
setiap harinya.
Banyak sekali pepatah dan ungkapan
bijak yang mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati dalam bertutur kata agar
kita tidak terlibat dalam pembicaraan yang mengandung dosa. Jika tidak terlalu
penting “Silent is Gold” sangat bijak diterapkan. Ataupun kalau harus
ada kata-kata yang hendak disampaikan pilihlah kata-kata yang tepat, jangan
sampai menyakiti perasaan orang lain yang mendengarnya karena “Kata-kata
bisa lebih tajam dari pedang”. Komunikasikanlah sesuatu dengan kata-kata
yang tepat dan dengan cara yang baik jangan sampai menjadi bumerang bagi diri
sendiri sebagaimana ungkapan “Mulutmu harimaumu akan menerkam kepalamu”.
Apalagi kalau kata-kata yang diucapkan merupakan ucapan yang tidak benar atau
berupa kebohongan dan sampai menimbulkan fitnah karena “Fitnah lebih kejam
dari pembunuhan”. Alangkah besar dampak suatu kebohongan yang dituduhkan
pada orang lain bahkan lebih buruk dari menghilangkan nyawa sekalipun. Jadi,
walau “lidah tak bertulang” tapi pengaruhnya sangat besar pada
keharmonisan hubungan antar sesama manusia. Jagalah lisan, perhatikan etika
ketika berbicara, semoga kita semua menjadi lebih bijaksana karenanya.
Etika Berbicara yang Baik Menurut Agama
Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam berbicara menurut agama Islam:
1. Berbicara harus jelas dan benar,
sebagaimana dalam hadits Aisyah ra: “Bahwasanya perkataan Rasulullah SAW itu
selalu jelas sehingga bisa difahami oleh semua yang mendengar.” (HR Abu Daud).
2. Semua pembicaraan harus kebaikan,
(QS 4/114, dan QS 23/3), dalam hadits Nabi SAW disebutkan: “Barangsiapa yang
beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik
diam.” (HR Bukhari Muslim).
3. Seimbang dan menjauhi
bertele-tele, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya orang yang paling
aku benci dan paling jauh dariku nanti di hari Kiamat ialah orang yang banyak
omong dan berlagak dalam berbicara.” Maka dikatakan: Wahai Rasulullah kami
telah mengetahui arti ats-tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa makna
al-mutafayhiqun? Maka jawab Nabi SAW: “Orang2 yang sombong.” (HR Tirmidzi dan
dihasankannya).
4. Menghindari banyak berbicara,
karena kuatir membosankan yang mendengar, sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Wa’il: Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari kami
setiap hari Kamis, maka berkata seorang lelaki: Wahai abu AbduRRAHMAN (gelar
Ibnu Mas’ud)! Seandainya anda mau mengajari kami setiap hari? Maka jawab Ibnu
Mas’ud : Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku memenuhi keinginanmu, hanya
aku kuatir membosankan kalian, karena akupun pernah meminta yang demikian pada
Nabi SAW dan beliau menjawab kuatir membosankan kami (HR Muttafaq ‘alaih).
5. Mengulangi kata-kata yang penting
jika dibutuhkan, dari Anas ra bahwa adalah Nabi SAW jika berbicara maka beliau
SAW mengulanginya 3 kali sehingga semua yang mendengarkannya menjadi faham, dan
apabila beliau SAW mendatangi rumah seseorang maka beliau SAW pun mengucapkan
salam 3 kali. (HR Bukhari).
6. Menghindari mengucapkan yang
bathil, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan
satu kata yang diridhai Allah SWT yang ia tidak mengira yang akan mendapatkan
demikian sehingga dicatat oleh Allah SWT keridhoan-NYA bagi orang tersebut sampai
nanti hari Kiamat. Dan seorang lelaki mengucapkan satu kata yang dimurkai Allah
SWT yang tidak dikiranya akan demikian, maka Allah SWT mencatatnya yang
demikian itu sampai hari Kiamat.” (HR Tirmidzi dan ia berkata hadits hasan
shahih; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
7. Menjauhi perdebatan sengit,
berdasarkan hadits Nabi SAW: “Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapatkan
hidayah untuk mereka, melainkan karena terlalu banyak berdebat.” (HR Ahmad dan
Tirmidzi)Dan dalam hadits lain disebutkan sabda Nabi SAW: “Aku jamin rumah
didasar surga bagi yang menghindari berdebat sekalipun ia benar, dan aku jamin
rumah ditengah surga bagi yang menghindari dusta walaupun dalam bercanda, dan
aku jamin rumah di puncak surga bagi yang baik akhlaqnya.” (HR Abu Daud).
8. Menjauhi kata-kata keji, mencela,
melaknat, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Bukanlah seorang mu’min jika suka
mencela, mela’nat dan berkata-kata keji.” (HR Tirmidzi dengan sanad shahih).
9. Menghindari banyak canda,
berdasarkan hadits Nabi SAW: “Sesungguhnya seburuk-buruk orang disisi Allah SWT
di hari Kiamat kelak ialah orang yang suka membuat manusia tertawa.” (HR
Bukhari).
10. Menghindari menceritakan aib
orang dan saling memanggil dengan gelar yang buruk, berdasarkan QS 49/11, juga
dalam hadits Nabi SAW: “Jika seorang menceritakan suatu hal padamu lalu ia
pergi, maka ceritanya itu menjadi amanah bagimu untuk menjaganya.” (HR Abu Daud
dan Tirmidzi dan ia menghasankannya).
11. Menghindari dusta, berdasarkan
hadits Nabi SAW: “Tanda-tanda munafik itu ada 3, jika ia bicara berdusta, jika
ia berjanji mengingkari dan jika diberi amanah ia khianat.” (HR Bukhari).
12. Menghindari ghibah dan mengadu
domba, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Janganlah kalian saling mendengki, dan
janganlah kalian saling membenci, dan janganlah kalian saling berkata-kata
keji, dan janganlah kalian saling menghindari, dan janganlah kalian saling
meng-ghibbah satu dengan yang lain, dan jadilah hamba-hamba Allah yang
bersaudara.” (HR Muttafaq ‘alaih).
13. Berhati-hati dan adil dalam
memuji, berdasarkan hadits Nabi SAW dari Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari
bapaknya berkata: Ada seorang yang memuji orang lain di depan orang tersebut,
maka kata Nabi SAW: “Celaka kamu, kamu telah mencelakakan saudaramu! Kamu telah
mencelakakan saudaramu!” (2 kali), lalu kata beliau SAW: “Jika ada seseorang
ingin memuji orang lain di depannya maka katakanlah: Cukuplah si fulan, semoga
Allah mencukupkannya, kami tidak mensucikan seorangpun disisi Allah, lalu
barulah katakan sesuai kenyataannya.” (HR Muttafaq ‘alaih dan ini adalah lafzh
Muslim) Dan dari Mujahid dari Abu Ma’mar berkata: Berdiri seseorang memuji
seorang pejabat di depan Miqdad bin Aswad secara berlebih-lebihan, maka Miqdad
mengambil pasir dan menaburkannya di wajah orang itu, lalu berkata: Nabi SAW
memerintahkan kami untuk menaburkan pasir di wajah orang yang gemar memuji. (HR
Muslim).
Etika Dalam Berbahasa(Komunikasi)
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap
kita tidak dapat menghindarkan diri dari kegiatan berkomunikasi dengan anggota masyarakat
lainnya. Setiap saat, kita selalu menggunakan bahasa untuk berbicara dengan
teman, orang tua, kakak, ataupun adik. Pada saat berkomunikasi itu, kita
menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Namun, dalam menggunakan bahasa
untuk berkomunikasi, setiap penutur sebaiknya berupaya untuk menggunakan bahasa
secara baik dan benar. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya
kesalahpahaman antara orang-orang yang berkomunikasi.
Untuk memahami hubungan antara etika
berkomunikasi dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar,
terlebih dahulu dikemukakan definisi komunikasi. Komunikasi merupakan proses
pertukaran informasi antarindividu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah
laku yang umum. Berdasarkan definisi yang dikemukakan tadi, kita akan
mendapatkan tiga komponen yang harus ada dalam setiap proses komunikasi, yaitu
(1) pihak yang berkomunikasi, yakni si pengirim dan si penerima informasi, (2)
informasi yang sampaikan, dan (3) alat yang digunakan dalam komunikasi itu.
Etika berkomunikasi dalam suatu
interaksi komunikasi erat kaitannya dengan pemilihan bahasa, norma-norma
sosial, dan sistem budaya yang berlaku dalam suatu masyarakat. Para ahli bahasa
menyebut lima etika yang harus dikuasai oleh seorang pembicara ketika dia
berkomunikasi. Apa saja etika itu?
Dalam menciptakan suasana komunikasi
yang baik, terlebih dahulu penutur perlu menguasai dan mengetahui etika dan
tatanan berkomunikasi yang akan kita lakukan. Etika pada saat kita berbicara
dengan orang lain itu antara lain:
Pertama, seorang
pembicara harus mengetahui apa yang akan dikatakannya, pada waktu dan keadaan
tertentu kepada lawan bicaranya berkenaan dengan status sosial dan budaya dalam
masyarakat itu;
Kedua, jenis bahasa apa yang paling
wajar kita gunakan yang disesuaikan dengan budaya di tempat kita berbicara;
Ketiga, kapan
dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita, dan menyela pembicaraan
orang lain;
Keempat, kapan kita harus diam; dan
Kelima, bagaimana
kualitas suara dan sikap fisik kita di dalam berbicara itu.
Butir-butir aturan dalam etika
berkomunikasi tadi bukanlah merupakan hal yang terpisah satu sama lainnya.
Kelima etika itu merupakan bagian-bagian yang menyatu di dalam tindak
berbahasa. Butir (1) dan (2) menjelaskan aturan sosial berbahasa yang terdiri
atas: siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, tentang apa,
kapan, di mana, dan dengan tujuan apa. Sebagai contoh, kita hendak menyapa
seseorang, maka harus kita mengetahui terlebih dahulu siapa orang itu, di mana,
kapan, dan dalam situasi bagaimana.
Butir (3) dan (4) yang juga
merupakan aturan dalam etika berbahasa perlu pula dipahami agar kita bisa
disebut sebagai anggota orang yang dapat berbahasa. Kita tidak dapat seenaknya
menyela atau memotong pembicaraan seseorang; untuk menyela kita harus
memperhatikan waktunya yang tepat dan tentunya juga dengan memberikan isyarat
terlebih dahulu.
Butir (e) dalam etika berkomunikasi
menyangkut masalah kualitas suara dan gerak-gerik anggota tubuh ketika
berbicara. Kualitas suara berkenaan dengan volume dan nada suara. Setiap budaya
mempunyai aturan yang berbeda dalam mengatur volume dan nada suara. Masyarakat
Sultra dalam berbahasa daerah ataupun berbahasa Indonesia cenderung menggunakan
volume suara yang lebih tinggi dibandingkan dengan para penutur bahasa Sunda
dan bahasa Jawa.
Selain lima butir etika
berkomunikasi yang dikemukakan di atas, gerak-gerik fisik dalam bertutur juga
menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam etika berkomunikasi. Gerak-gerik
fisik dalam etika bertutur menyangkut dua hal, yakni yang disebut kinesik dan
proksimik. Kinesik ini menyangkut gerakan mata, perubahan ekspresi
wajah, perubahan posisi kaki, antara tangan, bahu, kepala, dan sebagainya.
Berbeda dengan kinesik, proksimik merupakan jarak tubuh di dalam berkomunikasi
atau bercakap-cakap. Jauh-dekatnya jarak tubuh ketika berkomunikasi dengan
seseorang bergantung pada apa yang sedang dibicarakan. Jika yang dibicarakan
adalah hal yang menyangkut rahasia, maka jarak antarpembicara biasanya dekat,
sedangkan untuk pembicaraan yang bersifat umum dapat dilakukan dengan jarak
empat atau lima kaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar